DIMAS
Raut muka gadis itu sangat masam. Aku tak mengerti mengapa sahabatku ini tiba-tiba tak seceria biasanya.Â
"Nape muka lo kayak baju kusut gitu, Ren?"aku mencoba memecah keheningan cafe, karena hanya Reni dan aku yang datang sepagi itu.
Reni tak segera menjawab. Aku meliriknya. Mulutnya yang mungil itu terlihat sangat lucu bila mengerucut. Kudekati Reni dan aku berbisik, "Ada dhawuh apa, tuan Puteri meminta saya datang sepagi ini ke kedai?"
"Dim...coba bilang padaku, apa yang harus aku perbuat? Aku sudah bikin proposal sedemikian bagusnya. Dana sudah aku susun rapi, semua. Eh ternyata sama Ryu disuruh revisi lagi. Hhhhh, emang gampang? Dasar ketua suka maen perintah!!"
Aku hanya mendengarkan ia berkata-kata. Anehnya semua itu seperti alunan syair merdu yang kunantikan setiap waktu. Aku menyukainya saat ia marah. Seperti saat ini. Jarang kudengarkan semua kata-katanya. Aku lebih memilih melihat wajah manisnya.
Wajah manis yang selalu menghiasi setiap mimpiku, setiap anganku, dan wajah manis yang tak pernah mengerti bila aku selama ini menyukainya.
"Dimas....denger ga sih semua? Kenapa malah diem gitu sih. Ngomong apa kek, tanggepin apa kek...," teriak Reni dengan mata yang dilebarkan.
Sungguh suatu raut muka yang sebenarnya sangat lucu. Ingin rasanya aku menciumnya. Bibir mungil itu selalu memindahkan anganku kemana saja.Â
Tiba-tiba, pandangannya segera beralih pada dinding cafe yang sengaja hanya dihias beberapa lukisan etnik Bali. Dan ia sudah sering melihat dinding itu.
Dan entah mengapa, sebentar ia melirikku, kemudian mengalihkan pandangan pada sepatunya.