BARA DAN BADAI
BANGSA, CITA DAN CINTA
Kelana Senja (J Wicaksono)
EPILOG
‘Tuiiiii ............... Tuiiiii!’
“Awas ...... !”
“Duar ..... Tet .. tet .. tet !”
“Bapak Badai ..... !” wanita berbaju putih itu mencoba menahan Badai yang ingin berlari maju ke depan, dengan ikat kepala bertuliskan REFORMASI, lengkap dengan jas almamaternya dia terus berupaya menerjang, berusaha menembus barikade polisi yang tidak pernah ada didepannya.
Rossa hanya mampu memandang, seperti kemarin, esok, dan entah hingga kapan. Pemandangan di depan matanya begitu memilukan, seorang Badai yang perkasa sekarang terpuruk di Rumah Sakit Khusus Jiwa.
Kalender di dinding ruangan rekreasi itu menunjuk tahun 2009
PROLOG BUKU PERTAMA
Semangat reformasi adalah buah dari sebuah penantian panjang,
Dari anak-anak bangsa yang telah teramat luka,
Derita berkepanjang, mengharap perubahan yang bagai mimpi,
Mimpi, karena Kerajaan yang ada begitu kokoh,
Tiada tempat bagi mereka yang bekerja tidak untuk mereka,
Mei 1998 adalah catatan emas bagi mereka,
Anak-anak bangsa yang saat itu berdiri bersama,
Berusaha meraih cita yang beberapa bulan sebelumnya bagai mimpi,
Kepada para pejuang reformasi,
kupersembahkan buku ini,
Apa, bagaimana dan dimana Pun berada sekarang,
Semoga saudara-saudara semua tetap menjaga jiwa kita,
Tiada niatan memberi noda pada-nya,
PROSA PERTAMA
TUNAS YANG TUMBUH
1
Ibu kota negara, JANUARI 1998
“Sayuuur ... sayuurrr!”
“Dinnnn, ambilin Emak Andukkkk!”
“Bremmm ... Bremmmm!”
“Hoi Minggir!”
“Tuin .. Tuin !”
“Bang, ada kacang panjang!”
“Tong! jaman gua jadi pejuang, kagak ada yang model ente, jam segini masih molor!”
-
Pagi cerah di bantaran Kali Ciliwung. Suasana hiruk menjadi pertanda bahwa hari baru di awal pekan telah dimulai. Kaum pekerja dan pelajar telah sejak subuh berangkat (Alasannya si, kalau berangkat siang sedikit pasti kena macet yang ujung-ujungnya terlambat sampai tujuan), para ibu yang kebetulan memilih untuk bekerja dirumah memulai hari dengan aktifitas rutin, mencuci, membersihkan rumah, mengantar anak ke sekolah, belanja, masak dan lainnya.
Berada di tengah belantara Ibu Kota Negara, kawasan itu dikenal sebagai salah satu kawasan terpadat di dunia. Rumah-rumah mungil secara ukuran. Yang terluas yang ada, ukurannya hanya sekitar 6 x 12 meter persegi. Rumah dengan ukuran seperti ini, biasanya memiliki ruangan yang lengkap terdiri dari 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga/ruang makan, 3 buah kamar tidur, dapur serta kamar mandi dengan penghuni antara 6 sampai 10 anggota keluarga.
Rumah yang dominan di kawasan itu adalah “Rumah Petak”. Rumah-rumah berukuran rata-rata 3 x 6 meter dan disewakan oleh pemiliknya untuk mereka yang membutuhkan tempat berteduh yang terjangkau kocek (kantong). Rumah petak biasanya memiliki sebuah ruang tamu, sebuah kamar dan sisanya dapur plus kamar mandi.
Kebanyakan penghuni lawas kawasan ini bekerja di sektor informal. Disebut lawas, karena apabila disebut penduduk asli, azasinya rata-rata mereka bukan Suku Betawi sebagai pewaris Ibu Kota, namun mereka para penduduk lawas, sudah berpuluh tahun tinggal disana dan beranak pianak, meski latar belakang sukunya berbeda.
Secara umum, penghuni lawas ini adalah golongan menengah ke bawah. Orang seperti mereka, rata-rata mengandalkan otot sebagai modal utama untuk bekerja. Mulai dari pedagang kaki lima, tukang batu, kuli panggul, dan segala macam pekerjaan informal lainnya.
Duduk santai di kursi-kursi empuk dalam ruangan sejuk adalah mimpi bagi mereka. Bagi kelompok ini, Senin, Selasa, hingga Minggu tiada beda. Hari adalah pagi, tanda mulai bekerja, panas terik saat bekerja dan pulang begitu mega mulai berarak.
Kegiatan mereka setiba di rumah, membersihkan diri, makan, berbincang dengan tetangga di depan rumah sambil menikmati kopi serta sebatang rokok hingga mata terkantuk. Istirahat dengan tidak lupa memastikan seluruh rumah terkunci dengan baik (Maklum, banyak orang tidak bertanggung jawab yang suka iseng malam-malam menyatroni barang milik orang lain). Esoknya, bangun dipagi hari, tanda mulai bekerja kembali. Begitu seterusnya selama 7 hari, berulang bulan hingga bertahun.
Mereka adalah penduduk yang tidak sempat memikirkan siapa yang akan jadi pemimpin, presiden,atau hutang luar negeri melimpah. Tenaga mereka sudah cukup terkuras oleh aktifitas harian mereka yang melelahkan.
“Siapa aja yang jadi pemimpin. Kagak (Tidak) ade pengaruhnye buat kite (Untuk kita semua). Tetep aje (Tetap saja) beras mahal!” bagi mereka, uang sepuluh ribu rupiah adalah kemewahan untuk satu hari. Di tahun 1998, harga komuditi pokok memang tengah naik turun secara ekstrem. Hal ini dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar (Amerika) yang terus melemah. Dari sebelumnya dikisaran Rp 2.000 ,- melonjak hingga menembus Rp 15.000 ,-.
Negara mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang era Orde Baru. Hal ini terjadi sebagai dampak dari Badai krisis ekonomi yang melanda Kawasan Asia sejak setahun silam dan berlanjut hingga saat itu. Masuk tahun 1998, dimana negara-negara Asia mulai membenahi diri untuk lepas dari krisis, situasi di negeri ini justru sebaliknya. Rupiah terus melemah, masyarakat kehilangan pekerjaan dan Pemerintah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyatnya.
Badai ini juga menerpa mereka, penghuni bantaran sungai itu. meskipun terus-terang efeknya tidak terlalu besar. Karena toh mereka sesungguhnya sudah terbiasa hidup dalam serba kurang. Krisis ini justru menerpa pemuda-pemuda mereka yang telah selesai sekolah. Sekolah dianggap selesai adalah hingga tingkat sekolah menengah atas. Maaf, bagi mereka lulus Sekolah Menengah Atas adalah keistimewaan. Ijazah memang dimiliki, tetapi di jaman itu kerja formal bagaimanakah yang setara dengannya? Mencoba melamar pekerjaan, banyak pengusaha justru merumahkan pegawainya. Mencoba usaha mandiri, terkendala modal. Muaranya, banyak ditemui pengangguran baru di sana.
-
Sementara kelompok lain yang tinggal disana adalah kaum pendatang. Rata-rata berusia dewasa muda, yang bekerja di berbagai sektor mulai kelas karyawan hingga pekerja lepas bahkan serabutan. Disebut pendatang karena mereka berdatangan dari penjuru negeri untuk mengadu nasib di Ibu Kota, yang memilih untuk mengontrak atau kost di kawasan itu. Kawasan dengan buget rendah dan pas di kantung mereka.
Kelompok selanjutnya, masih dari kaum pendatang, dengan rata-rata usia sedikit lebih muda dari kelompok pendatang sebelumnya, kebanyakan mulai beraktivitas pukul 7 pagi hari. Terdiri dari dua golongan besar. Pertama adalah mbakyu-mbakyu (gadis-gadis) dan mas-mas (perjaka) yang selalu berdan dan berpakaian rapih. Yang wanita nampak cantik. Berpakaian seragam dengan rok-rok span, sedikit di atas lutut yang wanita menggunakan seragam, kemeja lengkap dengan sepatu mengkilap. Rata-rata mereka bekerja di pusat-pusat perbelanjaan yang tersebar di seantero kota.
Golongan kedua, keluar dari tempat tinggal dengan gaya lebih casual dimana kaum wanitanya, rata-rata memakai t-shirt atau kemeja lengan pendek dan celana jeans bersepatu kets. Yang laki-laki memakai pakaian yang tidak jauh berbeda bahkan cenderung semaunya. Banyak mereka yang membiarkan rambutnya tumbuh panjang sebagai salah satu trend anak muda kala itu. Merekalah kaum Mahasiswa, yang menuntut ilmu di berbagai universitas yang ada di Ibu Kota Negara.
-
“Assalamu ‘alaikum warahmatullah .... Assalamu ‘alaikum,” di tengah suasana hingar bingar pagi, sesosok pemuda santun, duduk menunaikan ibadah kepada Sang Kuasa.
Apabila kuliah pagi tidak ada, dia terbiasa mengerjakan ibadah di waktu pagi hari, waktu yang sering dikenal sebagai waktu Du’ha. Pemuda ini bernama Bara.
Bara. Berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah juru atur irigasi di desa. Ibunya, pedagang nasi bungkus di pasar desa. Bara adalah anak ke-2, memiliki seorang kakak dan 2 orang adik. Kakaknya, seorang wanita, telah menikah. Sementara, kedua orang adiknya masih duduk di sekolah menengah pertama dan dasar.
Sejak kecil Bara bercita-cita menjadi seorang insinyur atau sarjana teknik. Dia belajar keras untuk mencapainya. Saat ini menjadi mahasiswa semester 7 di Fakultas Teknik Universitas Harapan Bangsa, Universitas Negeri terkemuka di Ibu Kota yang terkenal dengan sebutan Yellow Jacket-nya. Secara akademik nilainya lumayan, Tiga Koma lebih, meski belum masuk kategori Cum Laude. Dan Bara, merupakan ketua Senat Mahasiswa Fakultas Teknik.
Pemuda santun ini bersahabat dengan tokoh kita ..... !
-
Badai, seorang mahasiswa semester 7 Fakultas Sastra, universitas yang sama dengan Bara. Berdiri menatapi pecahan kaca cermin yang disisipkan disela papan kayu kamar sederhananya.
Waktu masih menunjuk pukul 7.30 pagi. Kuliah hari ini dimulai pukul 10, itu pun jika kampus tidak ditutup lagi oleh Demonstrasi Mahasiswa-nya. Masih cukup banyak waktu tersedia, karena kampus hanya beberapa ratus meter dari kamar. Tetapi, hari itu bukan kuliah tujuannya. Selain baru saja selesai Ujian Akhir Semester, sebagai seorang aktivis mahasiswa, Badai yang menjabat Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) telah berencana untuk melanjutkan aksi untuk menyuarakan kesulitan rakyat negeri ini.
-
Badai berasal dari sebuah keluarga yang berlatar belakang tidak jauh berbeda dengan Bara. Ayahnya adalah petani yang cukup beruntung karena mengelola sawahnya sendiri. Ibunya adalah seorang guru kontrak di Sekolah Dasar didesanya. Dia adalah anak tunggal. Kedua orang tuanya, selalu berusaha memanjakannya sejak dini dengan kadar yang sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini yang membuat Badai memiliki karakter yang keras, selalu berusaha mendapatkan setiap keinginan.
Sebagai anak tunggal, dia diharapkan akan mengangkat martabat keluarga kelak. Demi cita-cita itu, orang tuanya mengirim Badai ke ibukota untuk memperoleh ilmu yang terbaik dari negeri ini. Kehidupan mahasiswa membuat Badai tumbuh menjadi seorang orator ulung seiring dengan tapak dirinya sejak awal hingga menjadi ketua BEM Kampus.
Seorang orator ulung, berwatak keras, tegas dan berwibawa. Itulah yang membuat dirinya sekarang menjadi pemimpin aksi mahasiswa di kampus kebanggaan negeri ini.
“Kawan, ayo kita jalan,” sejenak Badai melongok ke kamar Badai, keduanya mengontrak di rumah yang sama.
“Iya, insya Allah aku nyusul,” Bara yang juga telah siap berangkat menyahut.
2
Pak Kusen sebenarnya sudah berniat untuk melewati hari panjang di belakang pos keamanan Kampus. Semalam, seperti biasanya. Beliau disibukkan dengan tayangan langsung sepak bola dari benua biru favoritnya. Tayangan yang setiap hari Minggu malam berakhir pukul 03.30 Senin, dini hari. Apa lacur, pagi-pagi sekali, DR. Hariawan Sang Pembantu Rektor (Purek) III telah mewanti-wanti agar Pak Kusen, yang kebetulan kepala Satuan Pengamanan (Satpam) kampus, bersiaga penuh.
Gelombang aksi kepedulian terhadap krisis ekonomi telah melanda Kampus mereka. Subuh, tiga buah truk milik Kepolisian Republik telah parkir di depan gerbang utama, lengkap dengan personilnya, sekitar 1 SSK (Satuan Setingkat Kompi). Wartawan, banyak yang memilih untuk menginap di sekitar kampus, agar dapat terus mengakses segala kemungkinan perkembangan situasi serta informasi.
Hari-hari itu, eskalasi aksi mahasiswa semakin meningkat. Dollar secara cepat menembus angka Rp 14.000,-.Hal ini mengguncang ekonomi negeri yang hidup dari hutang luar negeri yang setiap transaksinya menggunakan Dollar. Dapat dibayangkan, betapa berlipatnya beban hutang yang muncul dalam hitungan bulan.
Secara makro perekonomian negara terguncang, secara mikro, harga barang kebutuhan menjadi melambung, meninggalkan kemampuan beli masyarakat. Seolah tidak peduli dengan kondisi ini, para wakil rakyat di gedung perwakilan rakyat, secara aklamasi tetap memilih beliau sebagai presiden selaku pemegang mandataris. Negara mengalami dead lock kepemimpinan. Susunan kabinet yang kemudian munculpun tetap menggunakan gaya yang sama.
Hal-hal ini menyebabkan ketidakpercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Mahasiswa, sebagai generasi idealis energik pun bergerak. mereka bergolak, berawal dari halaman kampus, di kota masing-masing, terus tereskalasi menembus rambu-rambu yang selama ini dengan teguh dipegang oleh penguasa.
Menjelang pukul 8 pagi, Badai pun masuk melalui pintu samping kampus, segera menuju ke Ruang BEM Universitas.
-
“Kak, boleh aku bergabung?”
Langkahnya terhenti, suara merdu membuat dirinya berhenti dan memalingkan wajah pada si empunya suara. Rossa, seorang mahasiswi semester 5, satu fakultas dengannya.
“Kamu?”
“Iya kak. Saya boleh ikut bergabung dengan aksi kakak?”
Sejenak Badai terdiam. Rossa dikenal sebagai salah satu mahasiswi tercantik di kampus itu dan anak dari seorang pejabat eselon I dari Pulau Andalas.
“Maaf, nama kamu Rossa kan?”
“Iya kak”.
“Kamu ingin turut bergabung?”
“Iya kak”.
“Maaf, Seingat saya orang tuamu seorang pejabat eselon atas”.
“Iya kak, tapi aku ingin turut bergabung”, mendapat jawaban demikian Badai terdiam tak menjawab.
“Ini keinginan saya Kak, tidak ada hubungannya dengan orang tua saya”, ujar Rossa menegaskan. Berbeda dengan masa sekarang dimana pejabat wilayah dipilih langsung oleh rakyat, dimasa itu para pemimpin wilayah ditunjuk oleh penguasa. Dengan posisinya, otomatis orang tua Rossa adalah bagian langsung pemerintah yang sekarang tengah coba di goyang oleh aksi mahasiswa yang mulai merebak ke seantero negeri.
Setelah sesaat termenung sejenak, akhirnya Badai mengajak Rossa untuk berjalan bersama menuju ruangan BEM,“OK kalo begitu, kita sama-sama ke ruangan BEM ya.”
“Iya kak”, beriringan keduanya berjalan
-
Tiba di pelataran ruangan BEM, suasana hiruk pikuk mahasiswa sudah nampak. Aktifitas mereka beragam akibat ekalasi aksi yang mulai memanas, banyak dari mereka bahkan sampai melewati malam di sana dengan menginap. Di dalam hiruk pikuk ini, para pemimpin sibuk dengan tugas serta tim masing-masing. Togar, bersama tim perlengkapan sibuk menyiapkan perangkat pengeras suara yang sebentar lagi digunakan pada aksi mereka hari itu. Puspita, beserta rekan-rekan mahasiswi sibuk menyiapkan pita-pita putih yang akan disematkan di lengan sebagai tanda peserta maupun simpatisan aksi. Bram, memimpin satuan tugas mahasiswa yang dipercaya untuk membuat tulisan-tulisan di spanduk, karton, serta benda lain yang dapat menampung aspirasi rekan-rekannya dan aktifitas lainnya.
“Selamat pagi Kawan, baru datang? Wah sekarang sudah mulai kenal dunia rupanya!” kedatangan Badai di sambut sapaan khas Togar dengan logat Karo-nya yang kental, komentar yang muncul melihat Badai datang bersama seorang gadis tercantik di kampus mereka.
“Bukan begitu kawan, ibu kita yang satu ini adalah perwakilan dari mahasiswi sastra yang sengaja aku undang bergabung dengan gerakan kita. Sebagai undangan khusus, wajar jika aku menemaninya ke markas kita ini”
“Hahahahaha,” pernyataan Badai di sambung tawa keduanya, sementara Rossa hanya menunduk sedikit seraya menyahut,”Kak Togar bisa aja”.
“Bah, tahu juga rupanya adik jelita ini nama abang. Hebat, hebat, tak sangka, ternyata aku ini lumayan beken, hahahahaha,” Khas Togar yang selalu riang dan gembira.
“Kak Badai terlalu melebih-lebihkan, saya kebetulan tadi bertemu dengan Kak Badai, ketika saya menuju ruangan ini. Saya ingin bergabung dengan kakak-kakak di sini”, lanjutnya.
“Oke, oke, Kawan cukup intermezo pagi ini! bisa kau kumpulkan teman-teman para pimpinan di dalam? Rossa, sebagai tugas pertamamu, tolong gantikan kakakmu Puspita dulu?” Badai, selaku Ketua BEM, meminta Togar mengumpulkan rekan-rekan pemimpin mahasiswa seraya memberikan tugas pertama untuk Rossa.
“Oke Bos! Hebat, hebat wanita cantik pasti hanya kenal dengan pria ganteng. Wanita secantik Rossa kenal namaku, pasti aku ganteng. Benar tidak Kawan?” ucap Togar pada Badai seraya berjalan menuju rekan mahasiswa lain. Badai tersenyum lebar sementara Rossa menunduk dengan senyum sedikit tersungging.
“Kok diam saya?” Badai membangunkan Rossa dari lamunan.
“Oh, iya. Iya kak”’ jawab Rosa seraya mengikuti Togar yang berjalan menuju tempat Puspita dan rekannya beraktivitas, Badaipun memandangi Rossa sejenak dan kemudian berjalan menuju ruang dalam markas BEM Universitas Harapan Bangsa.
Tidak lama berselang,
“Assalamu Alaikum,” Bara yang baru datang bergabung di tengah rapat yang sudah berjalan.
“Masuk brother, kita sedang susun rencana gerakan kita hari ini,” Badai Sang pemimpin rapat menyahut,”Jadi kawan-kawan, hari ini rencana kita long march menuju Istana Negara.”
“Polisi banyak di depan kampus.”
“Betul, kita mungkin akan sulit keluar jika jumlah kita masih seperti sekarang.” Rekan-rekan saling menyahut.
“Gar sudah siap alat-alatmu?”
“Beres bos, di depan Rektorat ,sudah ready on-air ‘’
“Baik, untuk menggalang massa mahasiswa, kita lakukan orasi dulu di depan Gedung Rektorat.”
“Puspita, tolong sewaktu kita berorasi, pita-pita disebarkan, terutama kepada masyarakat yang hilir mudik di lingkungan luar kampus. Minta mereka kenakan di bahu kiri.”
“Barikade Polisi?”
“Kamu lewat pintu belakang Masjid kampus saja. Pita-pita simpan dulu di dalam tas, bawa teman-teman sebanyaknya tapi jangan bergerombol sampai kalian tiba di luar lingkaran barikade Polisi.”
“Ok.”
“Yang lain, ayo kita sekarang kita ke depan gedung Rektorat.” Badai menutup rapat.
-
Tepat pukul 10.00 pagi, keramaian pun dimulai.
“Waduh dah pada mulai lagi neh (Sudah dimulai lagi nih),” Pak Kusen yang masih terkantuk segera mengambil perlengkapannya (Peluit dan tongkat), bersama kurang lebih selusin anak buahnya, membentuk pagar kecil di belakang barisan mahasiswa yang mulai berorasi di depan Gedung Rektorat.
Di luar gerbang, kelompok Puspita mendapat halangan para petugas yang memantau jalannya unjuk rasa. Awalnya mereka kurang memperhatikan aktivitas Puspita, namun ketika para mahasiswa mulai membagikan pita, beberapa orang petugas segera menghampiri. Mereka beralasan, dengan para mahasiswa membagi pita ditepi jalan, otomatis mereka mengganggu laju lintas kendaraan yang lewat didepan kampus. Konflik ini agak menegang dengan bertambahnya mahasiswa yang kebetulan baru tiba dan mencoba turut membantu Puspita. Namun, karena jumlah yang tidak terlalu banyak, akhirnya aksi membagi pita mengalami kegagalan, mereka pun berhasil di dorong masuk kembali ke halaman kampus oleh aparat yang bertugas.
-
Rombongan Puspita pun kemudian bergabung dengan rekan mereka di halaman kampus. Puspita memberikan laporan singkat kepada Badai tentang kegagalan mereka dan Badai memakluminya.
Sementara di atas panggung Bara tengah berorasi,“Insya Allah kawan-kawan, perjuangan kita tidak sia-sia. Tetap luruskan niat, tetap putih kawan-kawan. Tetap berjuang. Apa pun keyakinan beragama rekan-rekan. Insya Allah, tujuan kita suci! Tujuan kita satu! Tujuan kita reformasi total! Bangsa ini sudah cukup menderita. Beban rakyat sangat tinggi!” berapi-api Bara berorasi di depan rekan-rekannya.
Dalam waktu singkat, kerumunan mulai padat. Tak kurang ratusan mahasiswa akhirnya bergabung. Apalagi, mereka menerima berita bahwa di kampus-kampus lain, kegiatan yang sama tengah berlangsung.
“Kawan bagaimana situasi kita?” sesaat setelah turun dari podium, Bara bertanya kepada Badai
“Dai, kita bisa keluar ke jalan sekarang?” seorang rekan lain mengajukan pertanyaan.
Badai, melihat kerumunan rekan-rekan telah cukup besar, sesaat berpikir dan kemudian mengambil keputusan. Badai beranjak naik podium seraya berucap,”Kawan-kawan, pagi ini kita akan bergabung dengan beribu mahasiswa lainnya, ayo kita turun ke jalan, ayo kita ajak seluruh rakyat untuk menyuarakan kebenaran!”
“Ya, Ya, Reformasi!” disambut gemuruh suara mahasiswa yang tengah memadati halamankampus.
“Reformasi!” Ucap Badai lantang dari podium.
“Reformasiiii!” dijawab serempak oleh para mahasiswa seraya mengepalkan tangan tinggi keatas menyambut seruan Badai.
“Reformasi!”
“Reformasiiiii!”
“Rekan Togar pimpin barisan!”
“Reformasiii!” di jawab Togar seraya yang bersangkutab naik keatas podium bergabung denga Badai untuk mulai mengkomando barisan mahasiswa di hari itu.
Togar yang memiliki postur tinggi dan besar, sebagai koordinator lapangan long march segera mengkomando rekan-rekan yang memiliki tugas sama, mereka para mahasiswa yang berada dibawah Togar, rata-rata memiliki postur serupa dengan Togar Kelompok ini segera memposisikan diri di depan barisan mahasiswa yang tersusun dengan cepat. Mahasiswa dibawah komando Togar menjadi tameng rekan lain dalam aksi hari itu dan menjadi barisan terdepan apabila terjadi hal yang kurang diinginkan.
“Reformasi! Reformasi! Reformasi!”
Teriakan-teriakan mahasiswa bergemuruh. Barisan yang dipimpin Togar, Bara, Badai dan rekan-rekan lain mulai mendekati gerbang utama kampus. Pak Kusen dan rekan-rekannya?, karena kekurangan jumlah personil, memilih berkumpul di bibir gerbang sebelah dalam. Dari Rektorat secara keras diperintahkan untuk mereka, satuan pengamanan kampus agar mengatisipasi segala kemungkinan dengan sepenuh upaya. Rektorat memberi mandat agar satuan pengamanan kampus mencegah mahasiswa turun ke jalan menghindari bentrokandengan para petugas.
Disisi luar, para petugas segera merapatkan barisan dan juru foto sibuk yang sebelumnya berada disekitar gerbang kampus mengambil kamera mendekati kedua kubu serta menanti perkembangan situasi kedepan. Melihat mahasiswa yang mulai bergerak. Pimpinan petugas di lapangan hari itu yang berseragam dengan tanda pangkat balok kuning tiga baris dipundak segera mengatur barisan. Perintah dari komando atas jelas. Mahasiswa dilarang keras keluar dari pagar kampus. Apapun yang terjadi. (BERSAMBUNG ..)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H