Kegiatan mereka setiba di rumah, membersihkan diri, makan, berbincang dengan tetangga di depan rumah sambil menikmati kopi serta sebatang rokok hingga mata terkantuk. Istirahat dengan tidak lupa memastikan seluruh rumah terkunci dengan baik (Maklum, banyak orang tidak bertanggung jawab yang suka iseng malam-malam menyatroni barang milik orang lain). Esoknya, bangun dipagi hari, tanda mulai bekerja kembali. Begitu seterusnya selama 7 hari, berulang bulan hingga bertahun.
Mereka adalah penduduk yang tidak sempat memikirkan siapa yang akan jadi pemimpin, presiden,atau hutang luar negeri melimpah. Tenaga mereka sudah cukup terkuras oleh aktifitas harian mereka yang melelahkan.
“Siapa aja yang jadi pemimpin. Kagak (Tidak) ade pengaruhnye buat kite (Untuk kita semua). Tetep aje (Tetap saja) beras mahal!” bagi mereka, uang sepuluh ribu rupiah adalah kemewahan untuk satu hari. Di tahun 1998, harga komuditi pokok memang tengah naik turun secara ekstrem. Hal ini dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar (Amerika) yang terus melemah. Dari sebelumnya dikisaran Rp 2.000 ,- melonjak hingga menembus Rp 15.000 ,-.
Negara mengalami krisis ekonomi terparah sepanjang era Orde Baru. Hal ini terjadi sebagai dampak dari Badai krisis ekonomi yang melanda Kawasan Asia sejak setahun silam dan berlanjut hingga saat itu. Masuk tahun 1998, dimana negara-negara Asia mulai membenahi diri untuk lepas dari krisis, situasi di negeri ini justru sebaliknya. Rupiah terus melemah, masyarakat kehilangan pekerjaan dan Pemerintah mulai kehilangan kepercayaan dari rakyatnya.
Badai ini juga menerpa mereka, penghuni bantaran sungai itu. meskipun terus-terang efeknya tidak terlalu besar. Karena toh mereka sesungguhnya sudah terbiasa hidup dalam serba kurang. Krisis ini justru menerpa pemuda-pemuda mereka yang telah selesai sekolah. Sekolah dianggap selesai adalah hingga tingkat sekolah menengah atas. Maaf, bagi mereka lulus Sekolah Menengah Atas adalah keistimewaan. Ijazah memang dimiliki, tetapi di jaman itu kerja formal bagaimanakah yang setara dengannya? Mencoba melamar pekerjaan, banyak pengusaha justru merumahkan pegawainya. Mencoba usaha mandiri, terkendala modal. Muaranya, banyak ditemui pengangguran baru di sana.
-
Sementara kelompok lain yang tinggal disana adalah kaum pendatang. Rata-rata berusia dewasa muda, yang bekerja di berbagai sektor mulai kelas karyawan hingga pekerja lepas bahkan serabutan. Disebut pendatang karena mereka berdatangan dari penjuru negeri untuk mengadu nasib di Ibu Kota, yang memilih untuk mengontrak atau kost di kawasan itu. Kawasan dengan buget rendah dan pas di kantung mereka.
Kelompok selanjutnya, masih dari kaum pendatang, dengan rata-rata usia sedikit lebih muda dari kelompok pendatang sebelumnya, kebanyakan mulai beraktivitas pukul 7 pagi hari. Terdiri dari dua golongan besar. Pertama adalah mbakyu-mbakyu (gadis-gadis) dan mas-mas (perjaka) yang selalu berdan dan berpakaian rapih. Yang wanita nampak cantik. Berpakaian seragam dengan rok-rok span, sedikit di atas lutut yang wanita menggunakan seragam, kemeja lengkap dengan sepatu mengkilap. Rata-rata mereka bekerja di pusat-pusat perbelanjaan yang tersebar di seantero kota.
Golongan kedua, keluar dari tempat tinggal dengan gaya lebih casual dimana kaum wanitanya, rata-rata memakai t-shirt atau kemeja lengan pendek dan celana jeans bersepatu kets. Yang laki-laki memakai pakaian yang tidak jauh berbeda bahkan cenderung semaunya. Banyak mereka yang membiarkan rambutnya tumbuh panjang sebagai salah satu trend anak muda kala itu. Merekalah kaum Mahasiswa, yang menuntut ilmu di berbagai universitas yang ada di Ibu Kota Negara.
-
“Assalamu ‘alaikum warahmatullah .... Assalamu ‘alaikum,” di tengah suasana hingar bingar pagi, sesosok pemuda santun, duduk menunaikan ibadah kepada Sang Kuasa.