Kehidupan adalah kado terindah bagi setiap makhluk di muka bumi, termasuk bagi manusia. Meskipun kelahiran kita ke dunia bukan didasari oleh keinginan kita sendiri, tetapi realitasnya, kini kita sedang menjalaninya. Oleh karena itu, pertama-tama, mari kita syukuri dengan mengucapkan, Alhamdulillah.
Dalam perjalanan kehidupan, tidak jarang kita dihadapkan dengan berbagai kejadian yang tidak mengenakkan. Namun demikian, percayalah bahwa setiap kejadian, baik yang telah kita alami maupun yang sedang berlangsung saat ini, adalah pelajaran berharga yang kelak akan kita sebut sebagai pengalaman.
Oleh karena itu, sebelum menginterpretasikannya, mari kita mulai dengan mengucapkan, Bismillah.
Sebagai manusia yang dibekali akal; menyadari hal baik dan buruk, kita selalu berharap hadirnya kejadian yang baik-baik saja selama kehidupan berlangsung.
Konsep semacam itu tidaklah mengapa karena secara naluriah, kita memang selalu terdorong oleh keinginan untuk hidup dalam kondisi yang demikian. Lagi pula, konsep ini adalah bentuk paling ideal bagi hampir setiap orang, termasuk bagi saya sendiri.
Namun, kalau selama hidup ini kita cuma disinggahi oleh kejadian yang baik saja, lantas bagaimana kita mampu menghadapi berbagai realitas yang ada?
Jika selama hidup ini, kita cuma bersentuhan dengan kejadian yang baik saja, besar kemungkinan kita tidak akan berpeluang memperoleh emas murni berupa nilai-nilai kebijaksanaan dari kejadian hidup yang buruk. Demikian karena, emas murni justru seringkali terpendam di dalam berbagai kejadian hidup yang buruk. Tinggal kita, mau menggalinya atau tidak.
Jika kita memutuskan untuk menggalinya, maka cepat atau lambat kita akan menemukan khazanah hidup sejati. Ketika sudah dipertemukan dengan khazanah itu, niscaya kita akan menyadari betapa pentingnya pengalaman hidup yang buruk.Â
Terkait dengan hal itu, dalam kutipannya, Socrates mengatakan, "Jika ingin menjadi penunggang kuda yang baik, tunggangi kuda terburuk; karena jika kamu bisa menjinakkannya, kamu bisa menjinakkan semua."
Kita sadari bahwa hidup ini penuh dengan ketidakpastian. Kejadian yang tidak mengenakkan pun adalah buktinya. Meskipun pada dasarnya kita tidak mengharapkan kedatangannya, tetapi kejadian itu seringkali datang secara mendadak dan tanpa diduga-duga.
Ketidakpastian melahirkan berbagai fenomena bagi kita selama melakoni tugas hidup sebagai manusia, salah satunya adalah lahirnya keinginan yang selalu menunggu untuk direalisasikan.
Dalam usaha merealisasikan keinginan, tidak jarang kita diharuskan mengorbankan waktu, pikiran, tenaga bahkan uang. Semua itu adalah "harga" yang kita anggap sepadan dan harus dikeluarkan untuk membeli keinginan.
Setelah membayar "harga" itu, kita cenderung menggantungkan hasil akhirnya pada pepatah,"Hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha."
Pepatah itu seolah menjadi mantra sakti mandraguna yang tidak akan pernah terpatahkan oleh kemungkinan apapun. Namun, apakah hasil akhirnya selalu sesuai dengan ekspektasi? Belum tentu.
Adalah Risiko, salah satu fenomena lain yang selalu berjalan beriringan dengan keinginan manusia. Di satu sisi, kehadirannya dapat disadari, tetapi di sisi lainnya tidak dapat diprediksi sama sekali, semacam misteri.
Kehadirannya pun kadang terpicu oleh pilihan kita ketika berusaha mewujudkan keinginan. Ilustrasi paling umum tentang hal ini terefleksikan dalam ungkapan, "Jalan mana yang akan kita ambil saat tiba di persimpangan jalan." Jalan manapun yang menjadi pilihan, niscaya menyimpan risikonya masing-masing.
Iwan Fals dalam salah satu tembangnya pernah mengatakan bahwa, "Keinginan adalah sumber penderitaan." Dan, itu adalah fakta yang tidak terbantahkan.
Ketika kita menginginkan sesuatu, maka kita harus merealisasikannya. Usaha meralisasikannya bisa jadi tidak selalu mudah. Pada kondisi tertentu, perjalanan untuk meraihnya dipenuhi dengan berbagai rintangan yang berat. Bahkan, tidak jarang kita dibuat putus asa dan menyerah oleh rintangan itu.
Namun, pada kondisi lain, perjalanannya cuma dipenuhi dengan beberapa rintangan yang tidak berarti sehingga mudah sekali untuk dilewati. Terlepas dari semua itu, yang jelas, untuk dapat mewujudkan keinginan, kita harus berkubang di dalam penderitaan.
Asal Usul Risiko
Secara etimologi, kata risiko berasal dari bahasa Italia, yaitu risco. Kata ini diartikan sebagai "batu bergerigi (tidak mulus)."
Secara deskriptif, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan risiko sebagai akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan.
Berdasarkan asal usul katanya tadi, Risiko berarti sebagai batu bergerigi (tidak mulus). Kehadiran batu bergerigi dalam hidup ini dapat mengganggu kenyamanan perjalanan kita. Namun, tidak sebatas itu saja, karena kehadiran gangguan lain seperti lubang, paku, bahkan genangan air sekalipun, turut dapat membuat perjalanan kita menjadi tidak nyaman.
Semua gangguan tadi dapat membuat perjalanan kita menjadi tidak semulus yang diidam-idamkan. Namun demikian, kehidupan tetaplah kehidupan, dengan segudang risiko yang harus kita hadapi.
Sementara, berdasarkan definisi yang diberikan oleh KBBI, Risiko adalah suatu akibat yang bersumber dari tindakan kita dan bersifat merugikan. Tindakan ini bisa berbentuk tindakan aktif ataupun tindakan pasif.
Secara umum, kerugian yang diakibatkan oleh risiko bagi diri kita dapat bersifat ringan, sedang, atau berat. Sebagai suatu akibat, maka risiko berkorelasi erat dengan apa yang kita sebut sebagai sebab.
Oleh karena itu, secara paradoksal, risiko yang hadir dalam kehidupan kita, tunduk terhadap hukum sebab-akibat yang lebih dikenal sebagai hukum kausalitas.
Esensi Hukum Kausalitas
"Ada api, pasti ada asap." Ini adalah salah satu refleksi sederhana tentang eksistensi hukum kausalitas. Menurut hukum ini, api adalah sebab, sedangkan asap adalah akibat.Â
Demikian karena, eksistensi api menyebabkan eksistensi asap. Unsur yang harus terpenuhi dalam hukum ini adalah adanya kesatuan rantai peristiwa.
Agar bisa lebih memahami bagaimana cara hukum kausalitas bekerja dalam kehidupan, saya akan menampilkannya lewat refleksi segelas kopi.
Pada umumnya, untuk dapat membuat kopi, diperlukan beberapa bahan berupa air hangat, bubuk kopi dan gula pasir. Kemudian, ketiga bahan tadi dipadukan sesuai urutan yang lazim, dimulai dengan memasukkan terlebih dulu bubuk kopi ke dalam cangkir, lalu disusul gula pasir dan air hangat, terakhir aduk hingga larut.
Kemudian, lahirlah segelas minuman khas bernama kopi.
Sekarang kita akan merinci setiap bagian dari hukum kausalitas pada refleksi tersebut. Secangkir kopi tadi adalah sebuah akibat, sedangkan penyebabnya adalah adanya rantai peristiwa yang terbentuk dari percampuran setiap unsur atau bahan yang diperlukan secara berurutan sesuai kelaziman, sebelum akhirnya diaduk hingga larut.
Demikian pula dengan risiko. Ia adalah suatu akibat yang disebabkan oleh rantai peristiwa, yang terbentuk dari rentetan atau rangkaian kejadian terdahulu dan saling berkaitan.
Ketika kita berkeinginan untuk menikmati secangkir kopi, maka kita harus membuatnya terlebih dulu. Hal pertama yang harus digarisbawahi di sini adalah, bahwa kehendak untuk menikmati kopi merupakan keinginan, atau bisa juga disebut sebagai tujuan.
Untuk merealisasikannya, kita dituntut terjun langsung ke dalam proses pembuatannya. Selama prosesnya berlangsung, kita diharuskan pula untuk menaati prosedur yang berlaku (kelaziman misalnya) sehingga dapat menghasilkan secangkir kopi yang nikmat.
Sebaliknya, jika dalam prosesnya kita bertindak serampangan, besar kemungkinan kita akan dihadapkan dengan risiko meneguk kopi yang tidak karuan rasanya.
Imam Syafi'i pernah berpesan kepada kita semua bahwa, "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar, maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan."
Lewat pesan itu, secara tidak langsung Beliau hendak menyampaikan kepada kita semua bahwa jika kita berkeinginan menjadi sosok yang Smart, maka kita diharuskan untuk bekerja keras dan pantang putus asa (menyerah).
Lagi-lagi hukum kausalitas bekerja secara bersyarat di dalam pesan tersebut. Frasa "Jika kamu tidak sanggup menahan lelahnya belajar" adalah sebab, sementara frasa "maka kamu harus sanggup menahan perihnya kebodohan" adalah akibat.
Jika Kopi adalah perpaduan antara air hangat, bubuk kopi dan gula. Maka Risiko adalah perpaduan antara pilihan, tindakan, dan terkadang takdir kita.
Memetakan Risiko
Risiko selalu hadir dalam kehidupan kita. Bahkan, ketika kita masih dalam kandungan sekalipun, ia sudah mengintai diri kita. Risiko hadir dalam berbagai rupa mulai dari yang teringan seperti luka, penyakit, dan lain sebagainya, hingga ke yang terberat seperti kematian.
Risiko adalah hal yang selalu dekat dengan diri kita. Oleh karena itu, alih-alih menganggapnya sebagai musibah, lebih baik kita menganggapnya sebagai ujian kehidupan yang selalu siap menemani kita menuju kedewasaan diri.
Menginterpretasikan risiko sebagai ujian hidup adalah suatu kebijaksanaan. Barangkali, contoh dalam membuat kopi tadi terkesan sederhana. Setiap orang mungkin bisa melakukannya. Namun, bagaimana jika kita ingin membuat kopi sesuai selera, tetapi tidak memiliki pengetahuan yang memadai?
Belajar, ya itu. Belajar adalah salah satu aktivitas yang bersumber dari kebijaksanaan diri, dan bertujuan untuk mencapai kebijaksanaan itu sendiri. Agar bisa menemukan batu permata berkilau yang terkubur di dalam sumber-sumber pengetahuan, kebijaksanaan mutlak diperlukan. Socrates, dalam kata-katanya berkata, "Kebijaksanaan sejati datang ke masing-masing dari kita ketika kita menyadari betapa sedikit kita memahami tentang kehidupan, diri kita sendiri, dan dunia di sekitar kita."
Untuk dapat membuat kopi sesuai selera, memerlukan pengetahuan yang baik lagi benar. Jika kita menginginkan segelas kopi bercita rasa sedikit manis, tetapi dominan pahit, maka hendaklah kita memasukkan gula sesedikit mungkin dan bubuk kopi sedikit lebih banyak. Setidak-tidaknya begitu menurut saya.
Sebaliknya, jika kita membuatnya secara asal-asalan karena minimnya pengetahuan, dipastikan kopi yang dihasilkan, minimal bercita rasa tidak karuan. Terlebih ketika diminum, bisa jadi mimik muka kita seketika berubah bagai seekor monyet sedang mencicipi kotoran ayam.
Demikian pula dalam realitas. Risiko tidak boleh disikapi secara sembarang. Kita memerlukan pengetahuan yang memadai sebelum mengikuti sebuah ujian yang akan dilangsungkan. Jika tidak, kita cuma memubazirkan waktu, karena tidak akan pernah bisa lulus dari ujian tersebut.
Kalaupun tanpa pengetahuan yang memadai ternyata kita bisa lulus dari ujian tersebut, maka itu adalah takdir. Namun, hal semacam ini sangat jarang terjadi. Jika dirasiokan, barangkali tingkat keterjadiannya tidak lebih dari 10 banding 1.000.
Oleh karena itu, kita harus menyikapi risiko secara baik dan benar. Pertama-tama, kita memerlukan pengetahuan tentang risiko itu sendiri. Salah satunya adalah dengan memiliki pengetahuan tentang pemetaan risiko.
Pemetaan Risiko adalah serangkaian proses sistematis yang dilakukan untuk mengetahui paling sedikit hal-hal meliputi:(1) apa saja yang pasti dan mungkin akan terjadi;dan(2) mengapa dan kapan kemungkinan bisa terjadi. Tindakan ini adalah modal utama bagi kita untuk menyusun rencana selanjutnya dalam rangka menangani risiko. Manajemen Risiko, ya itu dia!
Barangkali, (sebagian) dari kita sudah familier dengan istilah tersebut. Lazimnya, manajemen ini dipakai oleh suatu perusahaan. Manajemen ini bertujuan untuk mengontrol berbagai kejadian yang berpotensi merugikan bahkan membahayakan eksistensi sebuah perusahaan.
Secara singkat manajemen risiko dapat diartikan sebagai sebuah instrumen yang diadakan untuk sedapat mungkin mengetahui dan memformulasikan suatu rumusan guna mencegah serta menangani hal-hal negatif yang dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan.
Manajemen Risiko pada dasarnya memiliki hierarki tahapan. Tahap pertama adalah Identifikasi. Pada tahap ini, kita diharuskan berusaha untuk mengidentifikasi potensi risiko apa saja yang akan muncul atas pilihan yang akan diambil.
Proses identifikasi pada dasarnya hanya melibatkan pikiran kita. Kita dituntut untuk berpikir layaknya seorang detektif yang sedang berusaha menemukan bukti-bukti dalam suatu kasus kejahatan.
Lazimnya, untuk menemukan bukti-bukti kejahatan, seorang detektif akan menempuh upaya penalaran. Penalaran ini dilakukan untuk menemukan serta menentukan korelasi antara satu hal atau lebih terhadap objeknya.
Usaha itu melibatkan proses logika sebagai instrumen timbangan untuk menentukan korelasi dari bukti-bukti yang telah ditemukan sehingga dengan demikian, ia dapat menarik suatu konklusi yang cukup akurat.
Salah satu contoh proses identifikasi dalam realitas adalah ketika Anda memutuskan untuk keluar dari zona nyaman. Anggap saja saat ini Anda adalah pegawai kantoran yang telah bekerja selama 5 tahun dengan penghasilan sebesar Rp. 7.000.000,- per bulan.
Namun, karena di waktu-waktu tertentu Anda seringkali merasa bahwa menjadi pegawai tidak membuat Anda berkembang, lalu Anda memutuskan akan mengundurkan diri dari kantor agar dapat berwiraswasta.
Keputusan tadi, umumnya kita ambil berdasarkan pemikiran dan penalaran serta logika yang sangat matang. Sebelum pengambilan keputusan itu, kita sudah terlebih dulu mengidentifikasi risiko yang akan ditemui setelah memutus tali kepegawaian dari kantor karena keinginan berwiraswasta. Dalam salah satu ungkapannya, Plato berkata, "Keputusan yang baik didasarkan pada pengetahuan dan bukan pada angka." Sejalan!
Lazimnya, identifikasi kita lakukan dengan cara membayangkan risiko apa saja yang pasti atau mungkin akan terjadi, seperti tidak akan ada lagi gaji bulanan dari kantor, hingga kemungkinan habisnya modal usaha Anda di tengah jalan akibat adanya kebocoran biaya pada sisi operasional, dan lain sebagainya.
Tahap kedua adalah Penilaian. Setelah tahap pertama dilalui, kita diharuskan untuk menilai dampak dari risiko itu sendiri agar dapat menyusun rencana yang tersistematis untuk menghadapinya.
Sebenarnya, beberapa fragmen kecil dari tahap ini secara tidak langsung turut hadir selama tahap identifikasi berlangsung.
Namun, karena pada tahap identifikasi, seluruh perhatian kita cenderung tersita untuk menemukan dan menentukan berbagai risiko, maka ketika fragmen-fragmen penilaian muncul, seringkali ia langsung menguap seketika bagai gas di udara.
Pertama-tama, penilaian kita lakukan untuk mengetahui dampak apa saja yang akan ditimbulkan oleh risiko, dan seberapa besar pengaruhnya terhadap aspek-aspek kehidupan kita, seperti keselamatan, kesehatan, kesejahteraan, finansial dan lain sebagainya.
Pada dasarnya, dampak yang ditimbulkan oleh risiko dapat diukur. Mengukur risiko bertujuan untuk mengetahui tingkatan dari dampak yang dapat dihasilkannya. Pengukuran ini dilakukan dengan cara menggali potensi kerugian apa saja yang akan disebabkan oleh dampak dari risiko tersebut.
Saya ilustrasikan secara sederhana lewat perumpamaan yang sebelumnya telah dikemukakan yaitu, "Ada api, pasti ada asap". Sebelum dapat menilai dampak yang ditimbulkan oleh risiko dalam perumpamaan itu, maka kita harus memfokuskan perhatian pada kata "Asap" terlebih dulu.
Demikian karena, ia adalah kata sekaligus akibat terakhir dalam perumpamaan itu. Selanjutnya, langkah fundamental yang harus kita tempuh adalah menggali sisi-sisi negatif yang bisa diakibatkan oleh kepulan asap terhadap aspek kehidupan kita, misalnya bagi kesehatan seperti iritasi mata, sesak napas, dan lain sebagainya.
Terakhir, kita harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang iritasi mata dan sesak napas sehingga bisa menilai dampak itu sampai ke akar-akarnya.
Bagi aspek lainnya, finansial misalnya, umpama Anda memutuskan untuk berusaha di bidang pertanian buah dan sayur, maka salah satu risiko yang kemungkinan akan dihadapi adalah matinya benih tanaman buah dan sayur yang belum lama Anda tanam karena sebab tertentu seperti ketidaksesuain media tanam, serangan gulma atau hama, kekeliruan dalam cara perawatan, dan lain sebagainya.
Dan, tentu saja itu adalah mimpi buruk bagi kita.
Matinya benih tanaman tadi tentu akan mengakibatkan dampak bagi aspek finansial kita. Dampaknya mengakibatkan kerugian materiel bagi kita. Sekian banyak uang yang telah kita keluarkan seolah lenyap tanpa jejak bagai "tetesan air yang mengering di bawah terik matahari".
Bahkan, bisa jadi tidak berhenti di situ saja. Setelah makin disadari, ternyata kerugian itu telah menggerus semua modal yang kita miliki sehingga membuat istilah bangkrut hanya berjarak sejengkal dari dahi kita.
Dan, itu adalah mimpi terburuk bagi kita.
Sebelum risiko dalam kasus tadi terjadi, kita bisa segera menilainya dengan cara bertanya kepada diri sendiri, "Apa kiranya yang harus diupayakan agar risiko itu tidak terjadi?", atau minimal, "Apa yang harus diupayakan untuk menekan dampak risiko itu?". Pertanyaan ini penting bagi kita. Karena, ia akan menghantarkan kita ke gerbang solusi.
Pengetahuan yang memadai di bidang pertanian buah dan sayur adalah solusinya. Namun, memiliki pengetahuan yang memadai saja terkadang tidak cukup karena bisa jadi ada risiko tersembunyi yang tidak mampu kita singkap selama proses identifikasi berlangsung.
Harus ada strategi. Ya, menyusun strategi adalah rencana yang ditujukan untuk menangkal terjadinya kerugian akbar. Salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam bercocok tanam misalnya, membatasi jumlah benih yang akan ditanam.
Jika lahan yang kita miliki semula bisa ditanami dengan 100 benih, maka sebaiknya kita membatasi jumlah itu dengan menguranginya menjadi 50 benih saja sehingga ketika risiko yang berada di luar dugaan terjadi, minimal modal kita masih tersisa.
Penilaian terhadap dampak risiko bagi kehidupan kita harus dilakukan dengan cara merenunginya secara mendalam. Merenungi sesuatu hal secara mendalam lebih populer dengan istilah kontemplasi.
Kontemplasi pada dasarnya bertujuan untuk menemukan hakikat dari suatu hal. Pada umumnya, kontemplasi dilakukan dengan cara membulatkan pikiran atau memfokuskan rasio kita terhadap suatu hal tertentu.
Dalam usaha pencarian hakikat, kita dapat memboyong serta aspek-aspek kehidupan seperti filsafat, agama dan lain sebagainya ke dalam proses kontemplasi. Usaha ini dikualifikasikan sebagai pekerjaan yang terbilang gampang gampang susah.
Demikian karena, pada kebanyakan waktu, kita seringkali men-subjektif-kan sesuatu yang jelas-jelas adalah suatu hal yang objektif. Hal ini terkadang kita lakukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Penyebab kita seringkali berpikir subjektif adalah keengganan untuk menerima kebenaran sejati. Subjektifitas seringkali bersumber dari nafsu yang kita miliki. Gara-gara menuruti nafsu, kita menolak (hampir) setiap hakikat yang datang.Â
Menurut saya, ketika nafsu menguasai diri kita, maka pikiran secara otomatis akan memasuki "mode kekang" sehingga menyebabkan kita tendensius subjektif dalam menilai banyak hal.
Ketika berada dalam mode itu, pikiran akan berusaha jor-joran untuk mempertahankan hal yang kita "rasa benar", sekalipun nurani kita sudah berteriak kencang, mengatakan bahwa itu adalah salah.
Terkadang pula, di waktu-waktu tertentu, tanpa perlu repot berkontemplasi, bak seorang Nabi yang menerima wahyu langsung dari Tuhan, maka seketika itu pula kita "tercerahkan" dengan berbagai hakikat kehidupan.
Dalam kondisi itu, kemudahan berpikir obyektif datang tanpa diduga-duga. Entah apa penyebabnya, yang pasti saat itu nafsu tidak berdaya sama sekali. Jujur, hal ini selalu menjadi misteri tersendiri bagi saya pribadi.
Untuk sampai ke gerbang hakikat, terkadang kita diharuskan untuk berpikir secara terbalik. Berpikir terbalik diaplikasikan dengan cara merenungi tentang baik dan buruknya sesuatu bagi kita.
Kadang kala, apa yang kita anggap sebagai kebaikan, belum tentu dapat membawa kita kepada kebaikan. Sebaliknya, apa yang kita anggap sebagai keburukan, belum tentu pula dapat membawa kita kepada keburukan.
Inilah salah satu landasan pacu yang dapat menerbangkan kita menuju ke mahligai hakikat. Oleh karena itu, netralitas diri menjadi kunci utama untuk bertemu dengan hakikat.
Frasa "Makan untuk hidup" dan frasa "Hidup untuk makan" adalah dua hal yang memiliki definisi berbeda. Frasa pertama cenderung membawa kita kepada kebaikan. Sedangkan, frasa kedua cenderung membawa kita kepada keburukan.
Demikian karena, jika bersandar pada frasa pertama, maka kita menganggap bahwa makan adalah sekadar kebutuhan untuk hidup. Lebih tepatnya, sekadar memenuhi kebutuhan kalori bagi tubuh agar tetap menghasilkan energi untuk mempertahankan kehidupan.
Sandaran itu membuat kita berorientasi untuk makan secukupnya saja sehingga kesehatan kita cenderung terpelihara.
Sementara, jika bersandar pada frasa kedua, maka kita cenderung menganggap bahwa makan bukan sekadar kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan semata, melainkan juga mempertahankan nafsu.
Nafsu cenderung memicu kita untuk memasukkan segala makanan "enak" dalam jumlah banyak menuju perut. Sandaran ini tidak memedulikan baik atau buruknya makanan yang akan masuk ke dalam tubuh. Terpenting adalah kepuasan semata.Â
Demikian karena, kepuasan adalah pedal rem yang dapat menghentikan laju nafsu untuk sementara waktu. Akhirnya, sandaran ini dapat mengakibatkan obesitas sehingga kesehatan enggan bercokol di dalam tubuh kita, dan hasilnya dapat ditebak, beresiko terkena banyak penyakit.
Seandainya semua daya dan upaya telah dikerahkan, tetapi ternyata hasil akhirnya kita tetap "merugi", maka hendaklah kita menggali nilai-nilai kerugian itu sampai ke akar-akarnya.
Pada dasarnya kerugian bisa terjadi bukan karena tindakan kita, melainkan juga karena faktor di luar tindakan kita. Harus dipahami bahwa faktor eksternal adalah hal yang berada di luar kendali kita. Kita tidak akan pernah bisa mengontrolnya.Â
Oleh karena itu, kita tidak bisa menyalahkan, apalagi mengutuk diri sendiri ketika kita merugi, terlebih kerugian itu memang bukan karena kesalahan kita. Kerugian itu bisa jadi memang harus terjadi karena sudah menjadi takdir kita.
Jika sudah ditakdirkan demikian, maka sepahit apapun suatu realitas, harus kita kunyah perlahan sebelum menelannya. Takdir adalah hal yang berada jauh di luar jangkauan kita. Dari arah mana ia akan datang, tidak akan pernah bisa ditebak.Â
Demikian karena, takdir adalah hak prerogatif Tuhan. Menerima takdir adalah satu-satunya pilihan yang tersisa. Menerima takdir sama halnya dengan menerima jati diri kita sendiri dengan segala kekurangannya.
Jika kita mampu menerimanya dengan penuh kelapangan hati, niscaya kita akan sampai lebih cepat ke mahligai hakikat. Ya, menerima takdir adalah salah satu jalan pintas menuju hakikat.
Tahap selanjutnya atau ketiga adalah Respons. Merespons risiko dapat dilakukan jika kita sudah berkonfrontasi dengan risiko dalam realitas. Satu-satunya syarat umum yang harus terpenuhi untuk dapat merespons risiko adalah kita harus berada pada kondisi yang berisiko.
Respons adalah serangkaian tindakan bermodalkan hasil penilaian yang telah diperoleh untuk mengontrol risiko yang sedang berlangsung. Selain syarat umum, terdapat satu persyaratan khusus agar dapat merespons risiko dengan baik, yaitu harus terlebih dulu menerima risiko itu sebagai bagian dari ujian kehidupan.
Jika persyaratan khusus sudah terpenuhi, maka jawaban yang hadir untuk merespons risiko itu hanyalah meliputi:(1) menghindarinya;(2) mereduksinya;(3) mengalihkannya; dan(4) menerimanya.
Jika kita memilih untuk menghindarinya, maka kita tidak akan meladeni risiko itu. Tindakan ini dilakukan untuk menjauhi sumber risiko itu.
Salah satu contohnya adalah, ketika 50 benih tanaman yang sebelumnya Anda tanam telah memasuki periode panennya, tetapi karena kondisi cuaca seringkali tidak mendukung sebelum masa panen berlangsung, maka hasil panen yang diperoleh sangat minim.
Karena hal itu, Anda terpikirkan untuk mengajukan fasilitas kredit pada suatu bank. Namun, sebelum mengajukannya, Anda sudah mengidentifikasi dan menilai risikonya terlebih dulu. Hasilnya, berisiko tinggi bagi Anda. Seketika itu Anda mengubur dalam-dalam ide tersebut.
Saya mengerti sekali bahwa bagi sebagian orang, pilihan menghindari risiko berserta dampaknya ini sama halnya dengan melewatkan kesempatan atau peluang emas yang ada di depan mata.
Namun, tunggu dulu, bukankah itu masih spekulasi? Tentu saja. Lagi pula, bagi saya, ini sama halnya dengan berusaha mengambil sebongkah emas besar di dalam kandang yang berisi puluhan Crocodylus Porosus dewasa. Saya tidak akan pernah tergoda.
Harus kita sadari bahwa menghentikan laju kendaraan ketika traffic light sedang berwarna merah merekah dapat menghindarkan kita dari puncak dari segala risiko, ya kematian.
Ketika keyakinan kita diuji oleh spekulasi, maka kebijaksanaan kita turut diuji. Ada kalanya kita memang harus menginjak pedal rem, dan ada kalanya pula kita kembali beralih menginjak pedal gas.
Jika hati nurani meyakinkan kita untuk berhenti, maka itulah saatnya. Berhenti itu ada dua macamnya. Berhenti temporer dan berhenti permanen. Temporer dapat berarti sesaat, sejenak atau sebentar.
Berhenti sejenak dilakukan karena adanya alasan tertentu yang memang mengharuskan kita untuk melakukannya seperti kelelahan, butuh waktu untuk berpikir, dan lain sebagainya.
Sementara, permanen berarti untuk selamanya. Berhenti untuk selamanya bisa jadi dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Misalnya, karena usaha yang dijalani bangkrut, atau karena merasa tidak adanya chemistry dengan usaha yang sedang digeluti saat ini sehingga membuat kita merasa harus banting setir kepada jenis usaha lainnya.
Jika ternyata kita lebih memilih untuk mereduksi dampak dari risiko tersebut, maka kita harus menyusun strategi untuk mengurangi atau memperkecil dampak dari risiko tersebut agar tidak melebar kemana-mana.
Mereduksi risiko berarti melakukan tindakan untuk mengurangi dampak yang dapat ditimbulkan oleh risiko itu terhadap diri kita. Aktivitas mereduksi ini sama persis dengan konsep strategi untuk menangkal kerugian akbar yang sebelumnya telah saya kemukakan. Jadi, rasanya tidak perlu saya kemukakan lagi, ya.
Namun, jika ternyata kita tidak ingin mengambil pilihan pertama dan pilihan kedua karena cenderung tertarik pada pilihan ketiga, yaitu mengalihkan risiko, maka yang harus dilakukan, semisal dalam kasus pertanian tadi adalah memakai jasa konsultansi di bidang pertanian, atau menyewa perusahaan yang bergerak di bidang jasa penunjang pertanian.
Pada umumnya, perusahaan jasa penunjang pertanian menyediakan jasa-jasa seperti pengolahan lahan, penanaman benih, pemupukan, pengendalian hama dan gulma, pemanenan dan lain sebagainya.
Dengan demikian, risiko yang ada dapat kita alihkan kepada perusahaan tersebut. Namun, khusus pilihan yang satu ini, menuntut kita untuk mengeluarkan extra cost sebagai konsekuensinya.
Pilihan terakhir adalah menerima risiko berikut dengan segala dampaknya. Pilihan ini memaksa kita untuk mau tidak mau harus menanggung beban yang relatif berat. Beban ini harus ditanggung jika penyebab munculnya risiko itu sendiri karena kelalaian atau kesalahan kita dalam bertindak.
Lazimnya, pilihan ini dapat menjadi pilihan terakhir ketika kita tidak lagi memiliki alternatif lainnya.
Salah satu contoh sederhana dari pillihan ini, misalnya, Anda mengambil sehelai dokumen penting secara spontan ketika tangan Anda sedang basah sehingga menyebabkan dokumen itu turut menjadi basah dan rusak.
Dokumen yang rusak adalah akibat yang disebabkan oleh tangan Anda yang basah. Sekalipun Anda bersikeras mengkambing-hitamkan Spontanitas sebagai pelakunya, tetapi faktanya, yang salah tetap Anda.
Kesalahan itu menimbulkan risiko berupa dokumen yang sedemikian penting bagi Anda menjadi rusak, dan dampak dari risiko itu sendiri berupa dokumen itu tidak akan bisa lagi digunakan dengan semestinya, bahkan bisa jadi tidak bisa digunakan sama sekali.
Satu-satunya pilihan ketika kita mengalami hal yang demikian adalah mengikhlaskannya. Dengan mengikhlaskannya, niscaya kita akan memperoleh pelajaran hidup yang sangat berharga tentang betapa pentingnya kehati-hatian dalam kehidupan.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 216).
Kemampuan Merasionalkan Sesuatu
Untuk lebih menunjang aktivitas pemetaan risiko berikut menangani segala dampaknya dengan baik, maka fisik dan psikis kita harus berada dalam kondisi yang prima. Demikian karena, jika keduanya sedang berada dalam kondisi yang kurang prima, maka potensi diri berupa rasionalitas yang bersemayam dalam pikiran kita tidak akan berfungsi dengan optimal.
Rasionalitas adalah hal yang berpengaruh besar terhadap pemikiran kita dalam menyikapi badai risiko yang melanda kehidupan. Istilah rasionalitas seringkali diidentikkan dengan kemampuan seseorang dalam berpikir jernih.
Kemampuan berpikir jernih adalah salah satu fitur yang dibenamkan pada diri kita. Fitur ini adalah salah satu kunci untuk menyikapi berbagai risiko dengan baik dan benar.Â
Berpikir jernih adalah cara berpikir dengan menggunakan akal sehat. Oleh karena itu, berpikir jernih adalah berpikir secara rasional. Dalam kutipannya, Aristoteles berkata, "Akal sehat adalah sesuatu yang memiliki kemampuan untuk menerima dirinya dengan apa adanya tanpa masalah."
Cara berpikir rasional mengedepankan hal-hal yang masuk di dalam akal. Dan, untuk sampai kepada hal-hal yang masuk akal, maka kita diharuskan untuk meniti jembatan logika.
Melogikakan sesuatu pada dasarnya merupakan suatu aktivitas yang dilakukan secara sadar dalam rangka mencari atau memilah sesuatu berdasarkan aspek pengetahuan yang dimiliki.
Contoh sederhana dalam berlogika adalah ketika kita men-starter skutik, tetapi entah mengapa, ia enggan menyala. Dalam kondisi seperti ini, pikiran kita akan dituntun oleh logika untuk mencari dan menenukan sumber penyebab skutik enggan menyala.
Untuk menemukan penyebabnya, kita akan mulai berpikir (bernalar) dan melakukan beberapa tindakan (merespons) berdasarkan pengetahuan yang kita miliki di bidang per-skutik-an.
Tindakan pertama yang lazimnya kita dilakukan adalah memeriksa kondisi stop kontak skutik, apakah sudah menyala atau belum. Jika ternyata sudah dalam kondisi semestinya, tetapi skutik belum kunjung menyala juga, maka umumnya kita beralih untuk memeriksa penyangga skutik, apakah sudah dalam kondisi semestinya atau belum.
Setelah penyelidikan yang berlangsung cukup alot selesai, akhirnya kita dipertemukan dengan fakta bahwa penyangga kaki skutik masih berdiri dengan tegak sambil menyeringaikan giginya.
Contoh tadi adalah salah satu realitas hidup berupa masalah yang harus disikapi dengan logika. Jika dalam kasus itu kita gagal menalarinya karena adanya faktor yang sedang melanda internal diri kita, seperti kepanikan karena keterburu-buruan, misalnya.
Maka, besar kemungkinan akan membawa kita kepada risiko seperti harus rela didera kelelahan akibat mendorong skutik ke bengkel untuk diperbaiki. Ditambah lagi, kita harus merelakan sedikit uang dalam dompet melayang sebagai biaya perbaikannya. Ini mirip pepatah, "sudah jatuh tertimpa tangga!"
Aktivitas merasionalkan sesuatu merupakan keterampilan diri yang begitu penting. Untuk dapat mengaplikasikan keterampilan ini dengan baik, setidaknya ada 3 faktor penting yang harus diperhatikan.
Pertama, Kesehatan. Kesehatan adalah kondisi atau keadaan, baik fisik maupun psikis bebas dari penyakit. Secara singkat, hal ini dapat diartikan sebagai kondisi fisik dan psikis yang berjalan secara normal atau semestinya.
Jika jasmani dan rohani kita dalam kondisi sehat, maka peluang untuk melogikakan sesuatu dengan baik dan benar akan semakin besar. Apalagi, jika dalam kondisi prima, niscaya peluangnya akan menyentuh titik kulminasi.
Kedua, Konsentrasi. Tidak dipungkiri lagi bahwa konsentrasi memegang peranan penting dalam berlogika. Konsentrasi berarti memusatkan pikiran terhadap hal tertentu. Hal tertentu ini adalah fokus yang harus disasar oleh pikiran kita.
Seperti dalam aktivitas memanah, sebelum anak panah dilesatkan, maka kita harus terlebih dulu memfokuskan pandangan ke titik fokus terkecil yang berada pada papan sasaran.
Selain berfokus pada titik sasar, kita juga perlu memfokuskan diri ke arah angin bertiup dengan cara menikmati setiap belaian lembutnya pada kulit kita. Umumnya, jika kita telah memfokuskan diri kepada dua hal tersebut, maka anak panah siap dilesatkan menuju sasaran.
Kemampuan konsentrasi juga berkaitan erat dengan faktor kesehatan jiwa dan raga kita. Ketika jiwa sedang dalam kondisi takut, stres, khawatir/cemas, bahkan depresi, maka kemampuan konsentrasi tidak akan bekerja dengan semestinya.
Demikian pula jika raga sedang berada dalam kondisi tidak prima karena sakit atau kelelahan, maka kemampuan ini pun akan menurun drastis hingga ke titik nadirnya.
Oleh karena itu, agar kemampuan ini dapat beroperasi secara normal, maka memberi waktu yang cukup bagi jiwa dan raga untuk beristirahat menjadi faktor yang esensial.
Terakhir, Pengetahuan. Selain faktor kesehatan dan konsentrasi, memiliki pengetahuan yang memadai adalah faktor penting lainnya. Dalam usaha trial and error yang kita lakukan terhadap suatu hal, pengetahuan yang memadai tidak bisa tidak kita miliki.
Pada dasarnya, kata pengetahuan berasal dari kata dasar "tahu". Agar seseorang bisa tahu tentang suatu hal, maka lazimnya ia harus pernah bersentuhan (merasakan) dengan hal tersebut, atau minimal harus mempelajari hal tersebut melalui pengalaman orang lain yang sudah pernah merasakannya.
Seperti halnya keinginan untuk ngopi, jika kita ingin makan nasi, maka kita harus terlebih dulu menanaknya. Pengetahuan tentang apa saja yang diperlukan dan bagaimana cara untuk menanak nasi adalah hal yang setidak-tidaknya harus kita miliki.
Jika ternyata kita tidak memiliki kemampuan ini, tetapi tetap bersikeras menanak nasi, maka dapat berisiko bukan nasi yang diperoleh, melainkan bubur atau kerak nasi.
Terang benderang sudah sekarang, bahwa pengetahuan terhadap suatu objek memegang peranan yang aduhai pentingnya.
Tanpa pengetahuan yang memadai, keinginan yang kita dambakan seringkali tidak akan tercapai. Pengetahuan merupakan perwujudan dari pemahaman kita terhadap hal yang dituju.
Semakin dalam pemahaman kita terhadap hal yang dituju, maka semakin besar dan cepat pula potensi untuk meraih keinginan. Pemahaman mendalam terhadap suatu hal juga menjadi modal utama bagi kita dalam menghadapi risiko yang merintang.
Agar tulisan ini tidak terlampau panjang, meskipun realitasnya memang sudah demikian, maka saya akan mengakhirinya dengan sebuah ilustrasi yang barangkali bisa memberi sedikit pencerahan bagi kita semua, Insya Allah.Â
"Seorang penyelam permukaan dengan seorang penyelam dasar adalah dua profesi yang berbeda. Seorang penyelam permukaan, karena kebiasaannya menyelam pada batas kedalaman tertentu, akan cenderung khawatir ketika diminta untuk menyelam hingga ke dasar. Ancaman akan hal yang belum dipahaminya seperti serangan predator laut seperti Ikan Hiu dan Pari menjadi pemicu sehingga ia enggan memenuhi permintaan tersebut. Sementara, bagi seorang penyelam dasar, tanpa perlu repot diminta pun, ia akan dengan senang hati untuk menyelam hingga ke dasar terdalam. Demikian karena ia sudah terbiasa menyelam hingga ke dasar. Kebiasaan itu telah melahirkan pemahaman bahwa ada kaidah yang harus dipenuhi agar tidak diserang oleh predator laut sehingga tidak ada kekhawatiran apapun baginya ketika diminta menyelam hingga ke dasar."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H