Pengetahuan yang memadai di bidang pertanian buah dan sayur adalah solusinya. Namun, memiliki pengetahuan yang memadai saja terkadang tidak cukup karena bisa jadi ada risiko tersembunyi yang tidak mampu kita singkap selama proses identifikasi berlangsung.
Harus ada strategi. Ya, menyusun strategi adalah rencana yang ditujukan untuk menangkal terjadinya kerugian akbar. Salah satu strategi yang dapat dilakukan dalam bercocok tanam misalnya, membatasi jumlah benih yang akan ditanam.
Jika lahan yang kita miliki semula bisa ditanami dengan 100 benih, maka sebaiknya kita membatasi jumlah itu dengan menguranginya menjadi 50 benih saja sehingga ketika risiko yang berada di luar dugaan terjadi, minimal modal kita masih tersisa.
Penilaian terhadap dampak risiko bagi kehidupan kita harus dilakukan dengan cara merenunginya secara mendalam. Merenungi sesuatu hal secara mendalam lebih populer dengan istilah kontemplasi.
Kontemplasi pada dasarnya bertujuan untuk menemukan hakikat dari suatu hal. Pada umumnya, kontemplasi dilakukan dengan cara membulatkan pikiran atau memfokuskan rasio kita terhadap suatu hal tertentu.
Dalam usaha pencarian hakikat, kita dapat memboyong serta aspek-aspek kehidupan seperti filsafat, agama dan lain sebagainya ke dalam proses kontemplasi. Usaha ini dikualifikasikan sebagai pekerjaan yang terbilang gampang gampang susah.
Demikian karena, pada kebanyakan waktu, kita seringkali men-subjektif-kan sesuatu yang jelas-jelas adalah suatu hal yang objektif. Hal ini terkadang kita lakukan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
Penyebab kita seringkali berpikir subjektif adalah keengganan untuk menerima kebenaran sejati. Subjektifitas seringkali bersumber dari nafsu yang kita miliki. Gara-gara menuruti nafsu, kita menolak (hampir) setiap hakikat yang datang.Â
Menurut saya, ketika nafsu menguasai diri kita, maka pikiran secara otomatis akan memasuki "mode kekang" sehingga menyebabkan kita tendensius subjektif dalam menilai banyak hal.
Ketika berada dalam mode itu, pikiran akan berusaha jor-joran untuk mempertahankan hal yang kita "rasa benar", sekalipun nurani kita sudah berteriak kencang, mengatakan bahwa itu adalah salah.
Terkadang pula, di waktu-waktu tertentu, tanpa perlu repot berkontemplasi, bak seorang Nabi yang menerima wahyu langsung dari Tuhan, maka seketika itu pula kita "tercerahkan" dengan berbagai hakikat kehidupan.