Dalam kondisi itu, kemudahan berpikir obyektif datang tanpa diduga-duga. Entah apa penyebabnya, yang pasti saat itu nafsu tidak berdaya sama sekali. Jujur, hal ini selalu menjadi misteri tersendiri bagi saya pribadi.
Untuk sampai ke gerbang hakikat, terkadang kita diharuskan untuk berpikir secara terbalik. Berpikir terbalik diaplikasikan dengan cara merenungi tentang baik dan buruknya sesuatu bagi kita.
Kadang kala, apa yang kita anggap sebagai kebaikan, belum tentu dapat membawa kita kepada kebaikan. Sebaliknya, apa yang kita anggap sebagai keburukan, belum tentu pula dapat membawa kita kepada keburukan.
Inilah salah satu landasan pacu yang dapat menerbangkan kita menuju ke mahligai hakikat. Oleh karena itu, netralitas diri menjadi kunci utama untuk bertemu dengan hakikat.
Frasa "Makan untuk hidup" dan frasa "Hidup untuk makan" adalah dua hal yang memiliki definisi berbeda. Frasa pertama cenderung membawa kita kepada kebaikan. Sedangkan, frasa kedua cenderung membawa kita kepada keburukan.
Demikian karena, jika bersandar pada frasa pertama, maka kita menganggap bahwa makan adalah sekadar kebutuhan untuk hidup. Lebih tepatnya, sekadar memenuhi kebutuhan kalori bagi tubuh agar tetap menghasilkan energi untuk mempertahankan kehidupan.
Sandaran itu membuat kita berorientasi untuk makan secukupnya saja sehingga kesehatan kita cenderung terpelihara.
Sementara, jika bersandar pada frasa kedua, maka kita cenderung menganggap bahwa makan bukan sekadar kebutuhan untuk mempertahankan kehidupan semata, melainkan juga mempertahankan nafsu.
Nafsu cenderung memicu kita untuk memasukkan segala makanan "enak" dalam jumlah banyak menuju perut. Sandaran ini tidak memedulikan baik atau buruknya makanan yang akan masuk ke dalam tubuh. Terpenting adalah kepuasan semata.Â
Demikian karena, kepuasan adalah pedal rem yang dapat menghentikan laju nafsu untuk sementara waktu. Akhirnya, sandaran ini dapat mengakibatkan obesitas sehingga kesehatan enggan bercokol di dalam tubuh kita, dan hasilnya dapat ditebak, beresiko terkena banyak penyakit.
Seandainya semua daya dan upaya telah dikerahkan, tetapi ternyata hasil akhirnya kita tetap "merugi", maka hendaklah kita menggali nilai-nilai kerugian itu sampai ke akar-akarnya.