Mohon tunggu...
DESSY FIRWANTI NIM (121221114)
DESSY FIRWANTI NIM (121221114) Mohon Tunggu... Mahasiswa - jurusan S1 Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitan Dian Nusantara - Mata Kuliah Akuntansi Perpajakkan - Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M. Si.Ak

jurusan S1 Akuntansi - Fakultas Ekonomi dan Bisnis - Universitan Dian Nusantara - Mata Kuliah Akuntansi Perpajakkan - Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M. Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tugas 1: Diskursus Metode dan Prosedur Utang Pajak

18 Mei 2024   08:56 Diperbarui: 18 Mei 2024   09:12 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://ekonomi.bisnis.com/read/20240312/259/1748454/siap-siap-tarif-ppn-12-berlaku-per-1-januari-2025Input sumber gambar


Metode dan Prosedur Hutang Pajak

Kapan timbulnya Hutang Pajak ?

Banyak orang masih bertanya-tanya kapan utang pajak seorang Wajib Pajak sebenarnya muncul, karena tidak ada perikatan atau perjanjian resmi antara masyarakat sebagai Wajib Pajak dan negara sebagai pemungut pajak. Dalam konteks hukum perdata, munculnya utang biasanya terjadi sebagai hasil dari perikatan, di mana salah satu pihak, baik individu maupun badan hukum, memiliki kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dapat mengurangi atau melanggar hak pihak lainnya.

Utang pajak muncul ketika undang-undang yang menjadi dasar pengenaannya telah tersedia dan ketentuan subjek dan objektif telah dipenuhi secara bersamaan. Syarat subjektif terpenuhi jika situasi yang dinyatakan dalam undang-undang telah terjadi. Situasi yang dinyatakan dalam undang-undang ini dapat berupa perbuatan, keadaan, atau peristiwa. Utang pajak dapat timbul dari berbagai sumber, seperti penghasilan dari pekerjaan, bisnis, investasi, penjualan properti, atau transaksi perdagangan internasional. Besarnya utang pajak yang harus dibayarkan biasanya tergantung pada jumlah penghasilan atau nilai transaksi yang dilakukan oleh Wajib Pajak serta tarif pajak yang berlaku.

Metode dan Prosedur Utang Pajak

Metode dan prosedur utang pajak merupakan bagian penting dari sistem perpajakan suatu negara. Ini mencakup langkah-langkah yang harus diikuti oleh wajib pajak untuk mematuhi hukum pajak dan memenuhi kewajiban pajaknya. Sistem perpajakan adalah tulang punggung keuangan negara, karena melalui pengumpulan dana dari wajib pajak, pemerintah dapat membiayai berbagai program dan layanan publik yang penting untuk kesejahteraan masyarakat. Dalam makalah ini, kami akan membahas secara mendetail tentang pentingnya metode dan prosedur dalam perpajakan serta dampaknya terhadap proses pengumpulan pajak.

Tentang Utang Pajak

Utang pajak merujuk pada kewajiban pembayaran pajak yang harus dipenuhi oleh individu atau entitas hukum kepada pemerintah sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Pajak sendiri adalah salah satu sumber pendapatan bagi pemerintah yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan layanan publik, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Wajib Pajak, baik individu maupun badan hukum, memiliki tanggung jawab untuk menghitung, melaporkan, dan membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ketidakpatuhan terhadap kewajiban pajak dapat mengakibatkan sanksi atau denda sesuai dengan hukum yang berlaku di negara tersebut.

Penting untuk dipahami bahwa pemenuhan kewajiban pajak merupakan bagian yang sangat penting dalam menjaga stabilitas dan keberlanjutan keuangan negara. Oleh karena itu, kesadaran dan kepatuhan terhadap aturan-aturan perpajakan menjadi hal yang sangat penting bagi semua pihak yang terlibat dalam aktivitas ekonomi.

Utang pajak merujuk pada pajak yang masih harus dipenuhi, termasuk biaya administrasi seperti bunga, denda, atau penalti yang diatur dalam surat ketetapan pajak atau dokumen serupa, sesuai dengan ketentuan hukum pajak yang berlaku.

Ini sesuai dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1 angka 13 dari Peraturan Menteri Keuangan No. 61 Tahun 2023 mengenai Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.Namun, penting untuk dicatat bahwa istilah utang pajak dan pajak terutang memiliki makna yang berbeda.

Berikut adalah perbedaannya:

  • Utang pajak mencakup seluruh pajak yang masih harus dibayar, termasuk sanksi dan denda.
  • Sementara pajak terutang merujuk pada jumlah pajak yang harus dibayar pada suatu titik waktu tertentu. Untuk informasi lebih lanjut, lihat artikel: Pajak Terutang: Contoh dan Cara Menghitungnya.

 

Jenis-jenis Utang Pajak

Terdapat beberapa jenis utang pajak yang pelu diketahui, yaitu :

1. Utang Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak terutang yang dihitung dari penghasilan kena pajak yaitu Pajak Penghasilan (PPh) yang terdiri dari :

  • Pajak terutang PPh Pasal 21

PPh 21 atau Pajak Penghasilan 21 adalah pajak yang dikenakan pada penghasilan yang diterima oleh individu yang merupakan wajib pajak. PPh 21 berlaku untuk berbagai jenis penghasilan, termasuk pendapatan dari pekerjaan, usaha, bunga deposito, dan lain-lain. Selain itu, PPh 21 juga dikenakan pada pendapatan yang berasal dari luar negeri, asalkan pendapatan tersebut dapat dianggap sebagai pendapatan yang tunduk pada pajak di Indonesia. 

Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi perhitungan PPh 21?

- Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

PTKP adalah jumlah minimum penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan bagi individu yang merupakan warga negara Indonesia. Penetapan PTKP ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Apabila pendapatan seseorang melebihi PTKP, maka pendapatan tersebut akan dikenakan pajak penghasilan. Namun, jika pendapatan seseorang tidak melebihi PTKP, maka pendapatan tersebut tidak akan dikenakan pajak penghasilan.

PTKP adalah bagian dari penghasilan wajib pajak yang dikecualikan atau tidak dikenakan PPh 21. PTKP berfungsi sebagai pengurang yang mengurangi jumlah penghasilan sebelum dikenakan tarif pajak, terutama dalam perhitungan pajak bagi karyawan tetap. Status PTKP setiap wajib pajak dapat bervariasi, karena ditentukan oleh status perkawinan dan jumlah tanggungan yang dimiliki.

- Tarif PPh 21

Tarif pajak penghasilan 21 menerapkan sistem tarif progresif di mana besaran tarifnya bergantung pada jumlah penghasilan yang diperoleh. Tarif pajak penghasilan tahun 2022 mengacu pada tarif yang ditetapkan dalam UU Harmonisasi Perpajakan. Sebelumnya, hingga tahun 2021, tarif pajak sebesar 5% berlaku untuk penghasilan hingga Rp50.000.000. Saat ini, batas penghasilan tersebut telah ditingkatkan menjadi Rp60.000.000.

- Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Kehadiran NPWP memiliki dampak signifikan terhadap perhitungan PPh 21. Karyawan yang tidak memiliki NPWP akan dikenakan tarif pajak sebesar 120% dari tarif yang biasanya berlaku, sehingga mereka harus membayar 20% lebih banyak dibandingkan dengan karyawan yang memiliki NPWP.

Selain itu, pekerja asing (WNA) yang sudah memiliki NPWP akan dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dan akan dikenakan PPh 21. Namun, bagi ekspatriat yang tidak memiliki NPWP dan bekerja kurang dari 183 hari, akan dikenakan perhitungan PPh 26.

  • Pajak Terutang PPh Pasal 22

Pajak Penghasilan, juga dikenal sebagai PPh Pasal 22, adalah pajak penghasilan yang dibayar oleh badan usaha atau bendahara tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta, yang melakukan ekspor dan impor, serta re-impor, serta kegiatan usaha lainnya.

Sebelum ini, PMK No. 154/PMK.03/2010 mengatur pemungutan pajak penghasilan pasal 22 yang berkaitan dengan pembayaran atas barang dan kegiatan yang diimpor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Namun, undang-undang yang berkaitan dengan pemungutan pajak penghasilan pasal 22 ini telah beberapa kali diubah oleh pemerintah, yang akhirnya mencabutnya.
Selanjutnya, pasal 22 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan mengenai Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain merinci objek PPh sebagai berikut:

- Impor barang dan ekspor, kegiatan ini yang dilakukan eksportir atas komoditas dan barang yaitu, Tambang Batu Bara, Mineral Logam, Mineral bukan Logam.

- Pembayaran atas pembelian barang ( objek PPh pasal 22 Bendaharawan )

- Pembayaran atas pembelian barang, pembayaran untuk barang yang dibeli melalui mekanisme Uang Persediaan (UP) yang dilakukan oleh bendahara pengeluaran.

- Pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga dengan mekanisme, pembayaran langsung (LS) oleh KPA, dan pejabat penerbit surat perintah membayar yang diberi delegasi KPA.

- Pembayaran atas pembelian barang untuk BUMN.

- Penjualan hasil produksi kepada distributor yang bergerak pada bidang usaha industri semen, kertas, baja, merupakan industri hulu, otomotif, dan farmasi.

- Penjualan kendaraan bermotor yang dilakukan didalam negeri oleh, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), Importir umum Kendaraan bermotor,

- Penjualan Migas yang terdiri dari, Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan Pelumas.

- Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul yang begerak dalam sector, Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, Peternakan, Perikanan.

- Penjualan barang yang tergolong sangat mewah.

Tarif PPh pasal 22 dikenakan berapa persen ?

- Tarif PPh 22 sebesar 2,5% dan tarif impor 7,5%
Tarif pajak penghasilan diatur dalam Pasal 22 untuk pajak penghasilan yang berasal dari barang yang diimpor, dan rinciannya adalah sebagai berikut:
Untuk barang-barang yang tercantum dalam Lampiran I PMK 34/2017, ada tarif pembebanan tunggal sebesar 10% dari nilai impor, baik dengan atau tanpa API.
Importir yang menggunakan Angka Pengenal Importir (API) dikenakan biaya 2,5% dari nilai impor; importir non-API dikenakan biaya 7,5 persen dari nilai impor; dan importir yang tidak dikuasai dikenakan biaya 7,5 persen dari harga jual lelang.

- Bendahara Pemerintah, BUMN, danBUMD membayar 1,5% dari harga barang yang dibeli oleh DJPB. Ini tidak termasuk PPN dan tidak final.

- Keputusan Direktur Jenderal Pajak menetapkan batas penjualan hasil produksi sebagai berikut: kertas = 0,1% dari DPP PPN (Tidak Final), semen = 0,25% dari DPP PPN (Tidak Final), baja = 0,3% dari DPP PPN (Tidak Final), dan mobil = 0,45% dari DPP PPN (Tidak Final).

- Jika produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas menjual hasil produksi mereka atau menyerahkan barang mereka, maka pungutan PPh sesuai dengan Pasal 22 akan dilakukan kepada penyalur atau agen yang bersifat final, kecuali jika penyalur atau agen tersebut tidak bersifat final.

- Ditetapkan bahwa 0,25% dari harga pembelian (tanpa PPN) untuk pembelian bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul.           

- Importir yang menggunakan API mengimpor tepung terigu, kedelai, dan gandum sebesar 0,5% dari nilai impor.

- Atas penjualan

  • Penerbangan pribadi dengan harga jual lebih dari 20.000.000.000,- rupiah
  • kapal pesiar dan kapal lainnya dengan harga jual lebih dari 10.000.000.000 rupiah
  • rumah dengan tanah dan luas bangunan lebih dari 500 m2, dan apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihan lebih dari 10.000.000.000 rupiah dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2.
  • Kendaraan bermotor roda empat yang dapat mengangkut kurang dari 10 orang termasuk sedan, jeep, sport utility vehicle (SUV), multipurpose vehicle (MPV), minibus, dan kendaraan lainnya dengan harga jual lebih dari Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). PPN dan PPnBM tidak termasuk dalam harga jual sebesar 5%.
  • Pajak Terutang PPh Pasal 23

Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada penghasulan modal, penyerahan jasa, hadiah dan penghargaan, selain yang telah dipotong PPh Pasal 21. Pihak pemberi penghasilan, yaitu pembeli atau penerima jasa, akan memotong pajak tersebut dan melaporkannya kepada kantor pajak. Sesuai dengan PMK No. 141/PMK.03/2015, pemerintah telah menambah 62 jenis jasa tambahan ke dalam objek PPh Pasal 23.

Untuk pembaran PPh 23 bisa dilakukan oleh pihak pemotong yang nantinya akan disetorkan melalui bank yang sudah di setejui oleh Kementrian Keuangan. Jatuh tempo pembayaran PPh 23 ini berada di setiap tanggal 10, sebulan setelah bulan terutang pajak penghasilan 23. Tetapi agar bisa dilakukannya pembayaran, harus terlebih dahulu dibuatkan ID Billing. Saat melakukan e-Filing pajak PPh 23 melalui OnlinePajak, pihak pemotong harus memberikan bukti potongan (rangkap ke-1) yang sudah dilengkapi kepada pihak yang dikenakan pajak dan bukti potongan (rangkap ke-2) sebagai bukti bahwa PPh Pasal 23 telah dipotong.

Pihak pemotong melaporkan pajak dengan mengisi SPT Masa PPh Pasal 23. Kemudian mereka dapat melaporkan melalui fitur lapor pajak online atau e-Filing gratis di OnlinePajak.
Pelaporan harus dilakukan pada tanggal 20 setelah bulan terutang pajak penghasilan 23. Aplikasi Pajak Online yang terintegrasi, mudah, otomatis, dan lebih cepat sekarang memungkinkan perhitungan, pembayaran, dan pelaporan PPh Pasal 23 dilakukan secara terpisah-pisah.

Tarif PPh 23 dikenakan atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP), atau total penghasilan. 

Ada dua jenis tarif yang dikenakan pada penghasilan, yaitu 15% dan 2%, tergantung pada objek PPh pasal 23 tersebut. Berikut adalah daftar tarif dan objek PPh pasal 23:

- Tarif sebesar 15% dari total bruto atas:
Hadiah dan penghargaan, kecuali yang telah dipotong dari PPh pasal 21; dividen, kecuali pembagian dividen kepada orang pribadi; bunga, royalti, dan final.

- Tarif dua persen dari total sewa, termasuk sewa tanah dan bangunan, serta penghasilan lain yang terkait dengan penggunaan properti

- Tarif 2% dari jumlah bruto untuk imbalan jasa konsultan, manajemen, konstruksi, dan teknik.

- Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 menetapkan tarif 2% dari jumlah bruto atas imbalan jasa lainnya, yang mulai berlaku pada tanggal 24 Agustus 2015.

- Tarif PPh Pasal 23 akan dipotong 100% lebih tinggi untuk Wajib Pajak yang tidak ber-NPWP.

-  Jumlah bruto adalah total penghasilan yang telah dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

  • Pajak Terutang PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi dan Badan

Ada perbedaan pada PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29, PPH Pasal 25 menyatakan bahwa badan adalah pajak yang dikenakan untuk wajib pajak individu, perusahaan, atau badan hukum lainnya atas penghasilan yang diperoleh.

Dalam hal ini, pajak ini dibayar secara angsuran untuk meringankan beban wajib pajak karena pajak terutang harus dibayar kembali dalam waktu satu tahun.

Pembayaran ini tidak dapat diwakilkan dan harus dilakukan secara mandiri.

Namun, PPh 29, yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, adalah PPh Kurang Bayar yang dihitung setelah sisa PPh terutang pada tahun pajak yang bersangkutan dikurangi kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh 25.
Ketika pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar daripada kredit pajak, PPh pasal 29 menyatakan bahwa kekurangan pajak yang terutang harus dibayar sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan dikirim.

Cara membedakan PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29  ( SPT Tahunan )

Dalam perspektif peraturan perpajakan, PPh 25 dan PPh 29 hanyalah istilah yang menjelaskan pasal dalam Undang-undang Pajak Penghasilan yang mengaturnya.
Pasal 25 Undang-Undang Perpajakan mengatur jenis setoran atau kewajiban yang diatur dalam Pasal tersebut.
Namun, PPh 29 mengacu pada jenis setoran atau kewajiban yang diatur dalam Pasal 29. Untuk membedakannya yaitu,

- PPH 29 adalah kekurangan pajak yang terutang pada akhir tahun pajak dan harus dibayar sebelum SPT Tahunan PPH disampaikan. Untuk tarif PPH yang masih terutang dikurangi dari PPH 25 adalah PPH 29 yang harus dilunasi.

- Sementara PPH 25 adalah angsuran, yang dibayarkan setiap bulan untuk tahun pajak yang bersangkutan dan harus dilaporkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. untuk Wajib Pajak Individu paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya; untuk Wajib Pajak Badan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. Tarif PPh 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOP-PT) adalah 0.75 dikalikan jumlah penghasilan atau omzet bulanan. Untuk Wajib Pajak Badan (WPB), angsuran PPh 25 adalah PPh terutang tahun sebelumnya dikalikan 12.

  • Pajak Terutang PPh Pasal 26

PPH pasal 26 mengatur pajak penghasilan yang dipotong dari perusahaan di Indonesia yang memberikan pembayaran (seperti gaji, bunga, dividen, royalti, dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri. Pasal 26 PPh mengenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di negara tersebut.

Seseorang atau perusahaan dianggap sebagai wajib pajak luar negeri jika persyaratan berikut dipenuhi:

  • Individu yang tidak tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau didirikan di Indonesia yang menjalankan bisnisnya dengan cara usaha tetap.
  • Orang yang tidak tinggal di Indonesia, orang yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tanpa menjalankan usaha tetap di Indonesia.

Tarif Pajak PPh Pasal 26 yaitu

Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan atau berlokasi di negara yang memberikan perlindungan pajak dan memiliki hubungan khusus dengan entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) yang didirikan di Indonesia.

tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia kecuali uang tersebut ditanamkan kembali di negara tersebut.

Tingkat yang ditetapkan oleh perjanjian pajak, yang disebut JGI Penghindaran Pajak berganda (P3B), antara Indonesia dan negara-negara lain yang berpartisipasi dalam perjanjian, dapat berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya turun 20% dari tarif biasa, dan beberapa mungkin 0%.

  • Pajak Terutang PPh Pasal 15

Jenis pajak penghasilan yang dikenakan atau dipungut dari wajib pajak yang bergerak pada industri pelayaran, penerbangan internasional, dan perusahaan asuransi asing diatur dalam PPh Pasal 15. Perusahaan pengeboran minyak dan perusahaan yang berinvestasi dalam bentuk bangun-guna-serah (build-operate-transfer), yang biasanya terkait dengan proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan tol dan kereta bawah tanah, juga terkena PPh pasal 15.

Industri bisnis yang disebutkan di atas memengaruhi berbagai jenis tarif, yang berikut adalah :

- Perusahaan pelayaran memiliki laba bersih sebesar 6% dari omzet bruto, dan pajak penghasilan sebesar 1,8% dari omzet bruto. Pembayaran harus dilakukan paling lambat tanggal 10, dibulan setelah faktur dibuat.

- Perusahaan pelayaran domestik memiliki laba bersih sebesar 4% dari pendapatan bruto, dan pajak penghasilan sebesar 1,2% dari pendapatan bruto. Pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak paling lambat tanggal 15, dibulan setelah faktur dibuat.

- Perusahaan pelayaran asing dan maskapai penerbangan memiliki laba bersih 6% dari omzet bruto, dan pajak penghasilan adalah 2.64% dari omzet bruto. Pembayaran yang dilakukan pemungut cukai paling lambat tanggal 10, dibulan setelah faktur dibuat.

- Wajib pajak internasional (WPLN) yang memiliki perwakilan perdagangan di Indonesia tetapi tidak memiliki perjanjian bilateral di bawah perjanjian pajak Indonesia (P3B) Laba bersih = 1% x Nilai Ekspor Bruto Penyelesaian pajak penghasilan = 0.44% x Nilai Ekspor Bruto. Pembayaran dilakukan oleh wajib pajak paling lambat tanggal 15, dibulan setelah wajib pajak sudah menerima penghasilan.

- Pihak yang melakukan kemitraan dalam bentuk perjanjian bangun-guna-serah/"bangun-operasi-transfer" (BOT) akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 5% dari nilai pasar tertinggi bruto dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Pembayaran dilakukan wajib pajak paling lambat tanggal 15, dibulan setelah masa BOT berakhir.

  • Pajak Terutang PPh Pasal 4 ayat 2

PPH Pasal 4 Ayat 2 atau PPH Final adalah pajak penghasilan atas jenis penghasilan tertentu yang tidak dapat dikreditkan dengan PPH terutang. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 (PPh Final) dikenakan atas berbagai jenis penghasilan dengan tarif dan pemotongan final yang berbeda untuk setiap jenis pajak. Oleh karena itu, pajak ini juga disebut sebagai PPh Final. Omzet penjualan usaha yang tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, baik yang dimiliki wajib pajak badan maupun orang pribadi, adalah subjek PPh Pasal 4 Ayat 2. Tarif bulanan adalah 0,5% dari total penjualan.

Pasal 4 Ayat 2 Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan pada jenis penghasilan atau pendapatan tertentu, dan terdiri dari:

- Selama 1 tahun masa pajak, omzet penjualan atau peredaran bruto bisnis kurang dari Rp 4,8 miliar. Batas waktu pembayaran tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Batas waktu pelaporan, Jika NTPN telah divalidasi, WP tidak perlu melapor lagi. Pelaporan SPT Tahunan Badan/Pribadi hanya perlu menyertakan lampiran laporan PPh Final 0,5% (SPT 1770).

- bunga dari obligasi dan obligasi negara, bunga dari deposito dan tabungan, dan bunga dari tabungan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota. Batas waktu pembayaran tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Batas waktu pelaporan 20 hari setelah masa pajak berakhir.

- Hadiah yang diberikan melalui lotere atau undian. Batas waktu pembayaran Tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan di mana pajak yang harus dibayar. Batas pelaporan 20 hari setelah masa pajak berakhir.

- Transaksi yang melibatkan saham dan surat berharga lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan penjualan saham atau pengalihan ibukota mitra perusahaan yang dilakukan oleh perusahaan modal usaha. Batas waktu pembayaran Tanggal 20 bulan setelah bulan transaksi penjualan saham. Batas waktu pelaporan tanggal 25 bulan berikutnya setelah bulan transaksi penjualan saham.

- Transfer aset tanah dan/atau bangunan, bisnis jasa konstruksi, bisnis real estate, dan sewa tanah dan/atau bangunan. Batas waktu pembayaran adalah pada tanggal 10 (untuk Pemotong Pajak) atau lima belas (untuk WP pengusaha persewaan) dari bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Batas waktu pelaporan adalah 20 hari setelah masa pajak berakhir.

- Pendapatan tambahan yang diatur oleh peraturan pemerintah.

Dalam kasus di mana PPh Pasal 4 Ayat 2 ini dikenakan pada transaksi antara perusahaan dan seorang individu di mana perusahaan bertindak sebagai penerima penghasilan tersebut, perusahaan hanya bertanggung jawab untuk membayar pajak ini.

2. PPn dan PPnBM Terutang

PPN dan PPnBM tidaklah sama. PPN adalah pajak yang dikenakan terhadap peningkatan nilai yang dihasilkan oleh penggunaan faktor-faktor produksi oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang menyiapkan, menghasilkan, dan memperdagangkan Barang Kena Pajak (PKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP).

Namun, PPnBM merupakan pajak yang dikenakan pada barang mewah. Itu dikenakan pada produsen atau PKP yang membuat atau mengimpor barang mewah.

Meskipun faktur pajak dan pelaporan SPT mereka dibuat menggunakan mekanisme pelaporan yang sama, dari pengertian ini sudah jelas bahwa PPN dan PPnBM adalah jenis pajak yang berbeda.

 A. Pajak Terutang PPN

Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), impor BKP, ekspor BKP, ekspor BKP berwujud dan tidak berwujud, pemanfaatan BKP tidak berwujud, dan JKP di luar wilayah pabean dianggap sebagai PPN terutang. PPN terutang pada saat pembayaran transaksi yang dikenakan PPN. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif Pajak Pertambahan Nilai naik secara bertahap dari 10% menjadi 11% dan 12%.

PPN memiliki 7 karakteristik, yaitu :

- Ini adalah pajak tidak langsung, yang berarti beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi subjek pajak. Selain itu, pihak yang memikul beban pajak tidak bertanggung jawab untuk menyetorkannya.

- Merupakan pungutan yang tidak biasa. Sebagai objek pajak, objek pajak menentukan siapa yang harus membayar PPN, sehingga kondisi subjek pajak tidak diperhitungkan. PPN dikenakan besaran pungutan yang sama terlepas dari gender, status sosial, atau daya beli.

- PPN dikenakan pada semua barang dalam rantai produksi dan distribusi, mulai dari pabrikan hingga distributor atau pengecer.

- Untuk menghitungnya, metode indirect substraction digunakan. Pajak PKP penjual tidak disetorkan ke kas negara secara langsung. Sebaliknya, PPN terutang yang harus dibayarkan ke kas negara adalah hasil perhitungan mengurangi PPN yang dibayar kepada PKP lain, yang disebut pajak masukan, dari PPN yang dipungut dari pembeli, yang disebut pajak keluaran.

- Merupakan pajak atas konsumsi umum di dalam negeri. PPN hanya dikenakan pada konsumsi BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam negeri. Oleh karena itu, komoditas impor juga dikenakan PPN dengan besaran yang sama dengan komoditas lokal.

- Bersifat netral, PPN dibentuk oleh dua komponen: dikenakan pada konsumsi barang dan jasa serta mengikuti prinsip tempat tujuan (destination principle) saat membayar.

- Karena PPN hanya dipungut atas nilai tambah, tidak menimbulkan pajak berganda.

B. Pajak Terutang PPnBM

Pajak terutang PPnBM mengacu pada jumlah PPnBM yang terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP), impor BKP, ekspor JKP, ekspor BKP baik berwujud maupun tidak berwujud, pemanfaatan BKP tidak berwujud, dan ekspor JKP di luar wilayah pabean. PPnBM ini terutang pada saat pembayaran transaksi yang dikenakan. Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah tentu lebih tinggi daripada tarif Pajak Pertambahan Nilai, mengingat PPnBM yang menunjukkan untuk mengontrol konsumsi barang mewah. Selain itu, pemerintah menggunakan PPnBM untuk melindungi produsen kecil dan tradisional.
Tarif PPnBM bervariasi sesuai dengan jenis produk, atau lebih tepatnya, tarif PPnBM bersifat progresif. Persentase PPnBM yang wajib dibayarkan juga meningkat. Tarif PPnBM, yang ditetapkan dalam Pasal 8 UU No.18 Tahun 2000, berkisar dari 10% hingga 75%. Kemudian, pada UU No. 42 Tahun 2009, tarif tertinggi telah ditingkatkan menjadi 200%.

PPnBM memilik 4 karakteristik, yaitu :

- PPnBM adalah pajak tambahan yang dikenakan selain PPN. Pajak ini diberlakukan pada barang-barang mewah, sehingga konsumen dengan daya beli tinggi yang membeli barang-barang tersebut akan menanggung beban pajak lebih besar dibandingkan dengan konsumen berdaya beli rendah. Tanpa pajak tambahan ini, keadilan tidak akan tercapai karena konsumen dengan daya beli tinggi dan rendah akan membayar persentase pajak yang sama.

- PPnBM hanya dikenakan satu kali, yaitu ketika barang kena pajak yang tergolong mewah diimpor atau diserahkan oleh pabrikan yang memproduksi barang tersebut.

- PPnBM tidak dapat dikreditkan. Karena pajak ini ditujukan untuk konsumen, tujuan memberi beban pajak tambahan tidak akan tercapai jika PPnBM dapat dikreditkan, karena pajak yang dibayar akan kembali ke kas perusahaan pedagang besar. Oleh karena itu, PPnBM dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyerahkan barang kena pajak pada tahap distribusi berikutnya. Akibatnya, PPnBM menjadi bagian dari harga jual yang dibebankan kepada pembeli, yaitu PKP di tahap selanjutnya atau konsumen yang membeli langsung dari pedagang besar.

- Meskipun PPnBM tidak dapat dikreditkan, jika barang kena pajak yang tergolong mewah diekspor, PPnBM yang telah dibayarkan saat perolehan barang tersebut dapat diminta kembali. Hal ini memungkinkan pengajuan permintaan restitusi untuk PPnBM yang dibayarkan terkait perolehan barang mewah yang diekspor.

Mekanisme Pelaporan PPN dan PPnBM

Untuk melaporkan PPN dan PPnBM, PKP menggunakan SPT Masa PPN, atau SPT Masa PPN 1111, yang merupakan formulir yang digunakan PKP untuk melaporkan jumlah pajak PPN dan PPnBM yang terutang.
Penerbit faktur pajak yang memungut PPN dan/atau PPnBM harus menerbitkan faktur pajak sebagai bukti telah dipungutnya PPN dan/atau PPnBM. Selama proses ini, penerbit harus membuat e-Faktur dan memiliki sertifikat elektronik.
PKP yang ingin melaporkan pajak, baik PPN maupun PPnBM, tidak perlu lagi menyampaikan SPT secara manual sejak e-Filing tersedia. Bahkan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2015 menetapkan hal ini.

3. Bea Materai Terutang

Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yang dibebankan oleh negara untuk dokumen tertentu dengan tujuan sebagai objek pemasukan kas negara yang dihimpun dari dana masyarakat yang dikenakan tenaga kerja. Pajak bea meterai dikenakan atas dokumen yang terutang sejak saat dokumen tersebut ditanda tangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau sejak saat dokumen tersebut dibuat atau diserahkan kepada pihak lain.
Utang pajak bea materai adalah kewajiban yang muncul dari penggunaan dokumen yang dikenakan bea materai sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Bea materai merupakan pajak yang dikenakan pada dokumen tertentu sebagai bukti bahwa suatu perjanjian atau transaksi telah dilakukan.

Dokumen-dokumen yang biasanya dikenakan bea materai meliputi:

  • Surat Perjanjian: Dokumen yang menunjukkan perjanjian antara dua atau lebih pihak yang memiliki nilai hukum atau keuangan.
  • Akta Notaris: Dokumen yang disahkan oleh notaris, seperti akta jual beli, hibah, atau pendirian perusahaan.
  • Surat Berharga: Dokumen seperti cek, giro, atau utang yang memiliki nilai keuangan.
    Dokumen Transaksi Komersial: Faktur, kwitansi, dan dokumen lainnya yang berkaitan dengan transaksi bisnis yang memenuhi syarat tertentu.

Pihak yang bertransaksi atau pihak yang berkepentingan harus membayar bea materai yang ditetapkan ketika dokumen-dokumen ini dibuat atau digunakan. Pada saat dokumen dibuat atau digunakan, pajak bea materai harus dibayarkan dengan tarif yang berlaku. Anda dapat membayar dengan menempelkan materai pada dokumen atau dengan menggunakan sistem pembayaran elektronik yang disediakan oleh pemerintah.

Bea materai berfungsi sebagai alat pengesahan dokumen dan dapat digunakan sebagai bukti pembayaran pajak. Tidak membayar bea materai yang sesuai dapat mengakibatkan sanksi administratif atau denda.

4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB Perkebunan, Perhutanan, Pertambangan) Terutang

Utang pajak pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan terdiri dari jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak atau penanggung pajak yang masih belum membayar pajak. Utang pajak ini terdiri dari pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh individu atau organisasi dalam sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

Cara menghitung utang pajak pada sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan PBB melibatkan beberapa langkah yang harus diikuti. Berikut adalah caranya:

  • Penghitungan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP): NJKP adalah nilai yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak dan dihitung berdasarkan nilai jual tanah dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh individu atau badan dalam industri perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
  • Penghitungan Tarif PBB: Tarif PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan dapat berupa tarif tunggal atau bervariasi tergantung pada sektor yang dikenai pajak. Tarif PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan ditetapkan sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku.
  • Penghitungan Utang Pajak: NJKP dikalikan dengan tarif PBB yang berlaku untuk menghitung utang pajak. Hasil dari penghitungan ini adalah jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.
  • Penghitungan Kelebihan Pembayaran PBB: Jika wajib pajak telah membayar pajak lebih dari yang seharusnya dibayar, maka kelebihan pembayaran pajak harus diperhitungkan. Ini dapat dilakukan dengan mengalikan jumlah pajak yang telah dibayar dengan tarif PBB yang berlaku. Hasil dari penghitungan ini adalah jumlah kelebihan pajak yang harus dikembalikan kepada wajib pajak.
  • Pengembalian Kelebihan Pembayaran PBB: Dalam jangka waktu yang ditentukan, kelebihan pembayaran pajak yang diperhitungkan harus dikembalikan kepada wajib pajak. Ini dapat dilakukan melalui potongan pajak yang akan dikenakan pada masa depan atau melalui dasar pembayaran kembali kelebihan pajak kepada wajib pajak.

Perhitungan utang pajak pada sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan PBB melibatkan penghitungan NJKP, tarif PBB, utang pajak, kelebihan pembayaran pajak, dan pengembalian kelebihan pajak. Prosedur ini harus dilakukan dengan ketat untuk memastikan pengumpulan pajak yang efektif dan transparan.

Prosedur dan Metode Penagihan Utang Pajak

Dalam prosedur penagihan utang pajak, metode yang digunakan termasuk penerbitan surat paksa kepada wajib pajak di kantor pelayanan pajak pratama. Surat paksa ini berfungsi sebagai pengingat bagi wajib pajak tentang kewajiban pajak yang harus dipenuhi. Jika wajib pajak tetap tidak memenuhi kewajibannya, pemerintah dapat menerapkan metode lain seperti penagihan administratif, penerapan sanksi, atau bahkan penagihan melalui jalur hukum.

Dalam penagihan utang pajak, jurusita pajak mengirimkan surat paksa kepada wajib pajak yang bersangkutan. Surat paksa diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan menunjukkan jumlah utang pajak yang harus dibayar serta tanggal jatuh tempo pembayarannya. Pemerintah dapat mengambil tindakan penagihan alternatif seperti penagihan administratif, penerapan sanksi, atau penagihan melalui jalur hukum jika utang pajak tidak dibayar.

Jika ada kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, atau data pembayaran pajak dalam BPN, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan dalam NOP, letak objek pajak, kode akun pajak, kode jenis setoran, masa pajak, tahun pajak, nomor ketetapan, atau jumlah pembayaran.

Dalam situasi lain, petugas Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing mungkin melakukan kesalahan dalam perekaman SSPCP. Ini berbeda dengan data pembayaran yang telah divalidasi oleh Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing. Petugas Direktorat Jenderal Pajak juga dapat melakukan kesalahan dalam perekaman atau pengisian Bukti Pbk.

Metode dan Prosedur Pemeriksaan Utang Pajak

Pemeriksaan utang pajak adalah proses yang dilakukan oleh otoritas pajak untuk memastikan kepatuhan wajib pajak terhadap peraturan perpajakan dan untuk memverifikasi kebenaran perhitungan, pelaporan, dan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk memastikan bahwa jumlah pajak yang dibayar sudah sesuai dengan yang seharusnya terutang.

Pemerintah harus mengawasi dan mengumpulkan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Berikut ini adalah beberapa metode dan prosedur yang umum digunakan untuk pemeriksaan utang pajak :

  • Pemeriksaan Langsung, Teknik ini melibatkan pemeriksaan langsung terhadap dokumen dan data yang terkait dengan pajak, seperti SPT, laporan keuangan, dan buku catatan. Pemeriksaan langsung dilakukan dengan memeriksa validitas angka dalam SPT dan membandingkannya dengan laporan keuangan dan buku catatan yang relevan.
  • Pemeriksaan Tidak Langsung. Teknik ini melakukan pemeriksaan tidak langsung dengan menggunakan teknik perhitungan tertentu. Jika pemeriksa hanya memiliki catatan kas dan bank sebagai bukti, hasil penghitungan metode ini digunakan untuk membuat kesimpulan tentang ketidakbenaran angka SPT.
  • Penggunaan Surat Paksa: Surat paksa dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan kekuatan hukum dan dikeluarkan 21 hari setelah jatuh tempo surat teguran jika wajib pajak belum membayar utang pajaknya. Surat paksa dikirim oleh jurusita pajak dan berisi perintah untuk membayar utang pajak.
  • Penggunaan Surat Teguran: Surat teguran dikirimkan kepada penanggung pajak atau wajib pajak dan berisi tanda tangan dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama, bukan Kepala Seksi Penagihan. Surat teguran diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama.
  • Penggunaan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP): Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) adalah laporan yang dibuat oleh pemeriksa setelah melakukan pemeriksaan. LHP berisi hasil pemeriksaan dan saran tentang cara menyelesaikan masalah pajak.
  • Penggunaan Metode Deskriptif Kualitatif: Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk melihat pelaksanaan penagihan pajak, khususnya dengan Surat Paksa. Metode ini menganalisis data melalui wawancara dan observasi untuk mengetahui bagaimana jurusita pajak negara di Kantor Pelayanan Pajak Pratama menangani penagihan pajak.

Prosedur pemeriksaan utang pajak dapat berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi tertentu, tetapi secara umum, prosedur ini mencakup sejumlah tindakan yang harus dilakukan pemerintah untuk mengawasi dan mengumpulkan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak.

Metode dan Prosedur mengenai Restitusi pada Utang Pajak

Restitusi utang pajak adalah ketika wajib pajak membayar lebih banyak pajak kepada pemerintah. Jika setelah perhitungan akhir ternyata wajib pajak telah membayar pajak lebih dari yang seharusnya mereka bayar, mereka berhak untuk meminta pengembalian jumlah yang lebih besar. Untuk memastikan bahwa klaim kelebihan pembayaran tersebut sah dan sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku, proses restitusi melibatkan berbagai langkah pemeriksaan. Jika disetujui, jumlah yang lebih besar akan dikembalikan kepada wajib pajak.

Untuk meminta pengembalian pajak yang lebih dibayarkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Wajib Pajak (WP) harus mengikuti beberapa langkah yang umum:

  • Mengajukan Permohonan Restitusi: WP dapat mengajukan restitusi PPN dengan mengisi SPT Masa PPN dengan memberi tanda silang pada kolom "Dikembalikan" (restitusi). Jika kolom "Dikembalikan" (restitusi) pada SPT Masa PPN tidak diisi, WP dapat mengajukan surat permohonan sendiri.
  • Pengajuan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP): WP melalui KPP tempat WP dikukuhkan mengajukan permohonan restitusi PPN ke DJP.
  • Pemeriksaan dan Penyelesaian: Permohonan restitusi PPN diperiksa dan diselesaikan oleh DJP. Jika diterima, DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) setelah pemeriksaan.
  • Pengembalian Pajak: Setelah SKPLB diterbitkan, WP dapat menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Jika DJP belum memberikan keputusan dalam 12 bulan sejak permohonan restitusi PPN, permohonan restitusi PPN dikabulkan, dan SKPLB akan diterbitkan dalam waktu paling lama 1 bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
  • Pengawasan dan Pengawasan: DJP memantau dan mengawasi proses restitusi PPN untuk memastikan bahwa itu sesuai dengan ketentuan perpajakan dan tidak ada kecurangan.

Prosedur restitusi PPN dapat berbeda dalam beberapa situasi tergantung pada situasi dan kondisi spesifik. Namun, secara umum, prosedur tersebut mencakup beberapa langkah yang harus diikuti oleh WP untuk mengajukan pengembalian pajak yang lebih dibayarkan kepada DJP.

Untuk mematuhi hukum pajak dan melaksanakan kewajiban pajaknya, wajib pajak harus mengikuti metode dan prosedur ini. Perpajakan adalah dasar keuangan negara, pemerintah dapat membiayai berbagai program dan layanan publik yang penting untuk kesejahteraan umum dengan mengumpulkan dana dari wajib pajak.

Metode dan prosedur utang pajak adalah bagian penting dari sistem perpajakan suatu negara, dan mencakup tindakan yang harus diambil oleh wajib pajak untuk mematuhi hukum pajak dan memenuhi kewajiban pajaknya. Dengan demikian, mereka dapat memberikan kontribusi pada pengetahuan dan pemahaman tentang metode dan prosedur utang pajak, serta bagaimana mereka memengaruhi proses pengumpulan pajak.

Sumber :

https://www.hipajak.id/artikel-pengertian-dan-tarif-pph-21#:~:text=PPh%2021%20atau%20Pajak%20Penghasilan,deposito%2C%20dan%20lain%2Dlain.

https://klikpajak.id/blog/pajak-terutang-pengertian-contoh-perhitungan-cara-bayar/

https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pengelompokan-jenis-jenis-pajak-dan-penjelasannya#:~:text=Suatu%20pungutan%20disebut%20pajak%20subjektif,dalam%20menghasilkan%20pendapatan%20atau%20uang.

https://klikpajak.id/blog/mengenal-utang-pajak/#:~:text=Utang%20pajak%20merupakan%20kewajiban%20pajak,unsur%20perpajakan%20yang%20dilakukan%20WP.

https://repository.unair.ac.id/11061/9/9.%20Bab%202.pdf

https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-22

https://www.online-pajak.com/tentang-bukti-potong/pph-pajak-penghasilan-pasal-23

https://klikpajak.id/blog/perbedaan-pph-25-dan-pph-29-yang-wajib-anda-ketahui/

https://pina.id/artikel/detail/arti-pph-26-kriteria-tarif-dan-ketentuan-perhitungannya-kwdrfv0ckkx

https://www.online-pajak.com/tentang-bukti-potong/pph-pajak-penghasilan-pasal-26#:~:text=Kesimpulan,kepada%20Wajib%20Pajak%20Luar%20Negeri.

https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/pph-pajak-penghasilan-pasal-15

https://www.online-pajak.com/seputar-pajakpay/pajak-penghasilan-pph-pasal-4-ayat-2-a

https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/ppn-dan-ppnbm

https://www.pajakku.com/read/6257bdd0a9ea8709cb189c9b/Kenali-Perbedaan-PPN-dan-PPnBM:-Dari-Objek-Hingga-Tarif

https://www.pajak.com/pajak/restitusi-ppn-syarat-mekanisme-dan-contoh/

https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/metode-pemeriksaan-untuk-pemeriksaan-wpop/

https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/53998/Prosedur-penagihan-utang-pajak-dengan-surat-paksa-kepada-wajib-pajak-di-kantor-pelayanan-pajak-pratama-Karanganyar

https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/bea-materai

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/15955

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun