Kulihat cermin itu. Kutatap diriku. Aku tak percaya. Bulu-bulu lembut telah tersusun di punggungku. Bulu-bulu itu tak hanya melekat, melainkan telah tertanam pada tulang punggungku. Aku bersayap!
*
Desy Desol, No. 1
*
“Kau sudah punya pacar?”
“Hampir.”
Kedua mata biru itu menatapku. Tangannya menyentuh wajahku. Kejujuran sedang dicarinya dariku. Wajahnya semakin mendekat, hingga hidung kami saling bertabrakan. Hanya sebatas itu, bibir kami tak saling melekat.
“Jika kau mau, aku akan membantumu.”
Dia menghilang. Aku tak heran. Sudah ratusan kali dia meninggalkanku dengan tiba-tiba. Akupun tak protes karena kutahu siapa dirinya. Setidaknya, menyandarkan kepala pada dinding bambu adalah pilihan yang tepat untuk saat ini.
Dia adalah Monna. Teman masa kecilku. Hampir dua puluh tahun kami tak bertemu dan aku kembali menatap wajahnya di tempat ini. Ada banyak perubahan pada dirinya. Kakinya bertambah jenjang, rambutnya ikal sebahu dan kuku-kukunya berwarna merah jambu. Dia semakin cantik!
“Lima menit lagi aku akan mengantarmu pulang.”
Aku terdiam. Mataku asyik memandang Monna meraih ujung tirai bambu untuk kemudian menariknya ke bawah. Setelah itu dia membalikkan sebuah papan kecil berwarna putih di depan pintu. CLOSED.
Monna memiliki sebuah kedai kopi yang tak terlalu besar. Hanya empat orang yang mampu dia tampung di kedai miliknya dan berlima denganku. Tak heran jika kebanyakan dari pembeli lebih memilih untuk menikmati kopinya dalam cangkir plastik sambil berlalu.
“Kau tak perlu mengantarku pulang. Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Kali ini biarkan aku melakukan sesuatu yang berarti bagimu.”
“Jangan memaksaku untuk marah padamu. Kau tak perlu kuatirkan aku. Kuatirkan saja dirimu.”
“Ada apa denganmu?”
Aku cemburu!
Itulah yang kurasa. Aku memang tak sesempurna Monna. Rambutku memang lebih indah darinya. Kukuku juga berwarna merah jambu. Aku juga tak kalah cantik dengannya. Namun aku tak memiliki kaki seperti kakinya. Salah satu kakiku...palsu.
***
Semua berawal ketika aku jatuh cinta. Cinta yang aku rajut dengan percuma. Mimpi itu seketika sirna. Sama seperti kakiku yang tak lagi dua. Aku kecewa. Sangat kecewa. Dan aku akan membuat luka dua kali lebih hebat dari apa yang kurasa -untuknya.
“Kau pasti berbohong!”
“Aku hanya ingin mengatakan yang sejujurnya padamu. Aku ingin kau mengerti.”
“Lalu kapan kau bisa mengerti diriku?”
“Maafkan aku.”
“Semudah itukah kau meminta maaf padaku? Apa kau juga berpikir bahwa aku akan mengobral semua pengampunanku untukmu? Aku tidak akan lakukan itu padamu!”
Laki-laki itu meninggalkanku begitu saja dan menggoreskan luka yang begitu dalam. Jika malam itu aku tak memutuskan untuk mengejarnya, maka kakiku pasti masih dua. Aku terjatuh dan sebuah mobil melindas salah satu kakiku.
Kakiku harus diamputasi atau aku akan mati. Itu pilihan yang dokter berikan pada ibuku. Sampai pada akhirnya aku terbangun dan mendapati kakiku hanya satu. Apa kau pikir aku menangis saat itu? Hahahaha... Tidak!
***
Aku lebih suka berdiam diri di kamar sampai akhirnya ibu menyerah untuk menghiburku. Aku senang berbicara dengan cermin besarku karena di sana kulihat kakiku masih dua. Asal kau tahu, aku tidak gila!
Setiap malam aku hanya bisa mengutuki laki-laki itu. Aku dendam. Dan akan segera terbayarkan. Kebencian yang bergelora membuat tubuhku panas. Rasa sakit yang terpendam mulai menguasai tubuhku. Pemberontakan terjadi. Aku menjerit.
Aaaaaaaaaarrrrrrrrrrggggggggggggggh!
Kulihat cermin itu. Kutatap diriku. Aku tak percaya. Bulu-bulu lembut telah tersusun di punggungku. Bulu-bulu itu tak hanya melekat, melainkan telah tertanam pada tulang punggungku. Aku bersayap!
Aku mulai belajar untuk menguasai sayapku. Kucoba mengepak sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Dan pada kelima kalinya, aku melayang. Aku terbang! Aku tak pernah memikirkan tentang sayap ini, selain kaki dan benciku.
Sayapku berbeda. Tak ada keindahan yang kudapati saat melihatnya. Hitam. Sayapku berwarna hitam. Mengerikan. Di sanalah terkumpul semua benci dan dendamku. Semakin kurasakan luka itu, semakin kuat sayapku.
***
Sore itu, aku memutuskan untuk menemui Monna. Seperti biasanya, aku hanya akan menghabiskan waktu untuk berdiam diri di kedainya.
“Ada yang mau aku katakan padamu.”
“Katakan saja. Apa susahnya?”
“Baiklah.”
Monna menarik tanganku. Dia menyuruhku duduk pada kursi kayu. Dia tahu bahwa aku takkan mungkin bisa berdiri dalam waktu yang lama. Dia baik, tak heran jika banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Dan itu membuatku semakin tenggelam dalam api cemburu.
“Aku akan menikah.”
Menikah?
Monna akan menikah?
Dengannya?
Oh, tidak mungkin!
“Lalu?”
“Maukah kau menjadi saksi dalam pernikahanku nanti?”
“Aku tak bisa meluluskan permintaanmu.”
“Tapi aku hanya memilikimu di dunia ini...”
“Aku cacat, Monna! Aku tak ingin membuatmu malu!”
Bukan itu alasan yang sesungguhnya. Aku hanya tak ingin menyaksikan sebuah kebahagiaan. Aku tak ingin ada pernikahan. Aku tak ingin dia bahagia. Aku benci pernikahan! Aku akan hancurkan! Segera!
Aku memilih untuk meninggalkan Monna. Kuayunkan kaki kiriku dengan sebuah tongkat penyangga dan kaki kananku menuntun langkah hingga ke belakang kedai milik Monna. Aku mulai mengatur nafas. Kukumpulkan seluruh kebencianku untuk menumbuhkan kedua sayapku.
Aku terbang!
Aku hanya ingin menitipkan semua amarahku pada sekumpulan awan kelabu. Dan ketika hujan turun, amarah itu akan berubah menjadi senjata untuk menghancurkan kebahagiaan di seluruh dunia. Hahahaha... Ingat, aku tidak gila!
***
Tak banyak yang bisa aku lakukan untuk membantu Monna. Ya, aku memang tak pernah berniat untuk membantunya. Kubuka sebuah kotak berwarna kelabu. Air mataku meleleh ketika menatap gaun putih bertabur permata. Ini adalah gaun yang aku persiapkan untuk pernikahanku dua tahun lalu.
“Monna, pakailah ini.”
“Kau memberikannya untukku?”
“Ya, aku masih menyimpannya untukmu.”
Monna memelukku.
Kutak balas peluknya.
Dua jam lagi kami harus sudah berada di gereja. Tempat di mana Monna akan mengucapkan janji suci dengan lelaki idamannya. Dan aku akan ada di sana. Menyaksikan keduanya melepas masa lajang. Yakinkah aku akan datang?
“Kau harus tampil sempurna, Monna. Jangan kecewakan calon suamimu.”
“Gaun pemberianmu membuatku akan semakin cantik. Terima kasih karena kau sudah mau menjadi sahabatku sampai saat ini. Dan aku pastikan bahwa semuanya akan tetap sama walau aku sudah bersuami.”
“Semoga saja.”
***
Teng! Teng! Teng!
Lonceng gereja berbunyi. Monna dengan gaun putihku telah bersiap menuju ke altar. Di sana, lelaki itu menunggunya dengan sepasang cincin yang akan mengikat cinta mereka berdua. Aku di sini, sekedar melihat dari kejauhan. Di atas pohon, dengan sekumpulan burung gagak yang menemaniku.
Pintu gereja tertutup. Kidung pujian telah dinaikkan. Aku meringis, menahan tangis.
Cukup!
Aku melesat ke gedung gereja. Kukepakkan sayap kebencian. Pintu gereja terbuka paksa. Kidung terhenti seketika. Semua mata tertuju padaku. Tak terkecuali Monna dan lelaki itu.
“Angella! Kau datang pada pernikahku. Aku yakin bahwa kau akan menjadi saksiku.”
“Hahahaha... Kau benar, Monna. Aku memang akan datang dan sekaligus untuk menyaksikan kematiannya!”
“Apa maksudmu?”
Kulangkahkan kakiku perlahan. Kubiarkan sayapku sesekali mengepak. Tahukah kau? Kakiku kembali dua. Bagus? Tentu saja, walau dalam rupa kaki gagak. Tak sedikit orang yang menatapku penuh ketakutan. Ya, kali ini aku memang akan membuat ketakutan itu menjadi nyata.
“Tanyakan kepada calon suamimu, siapa aku!”
Monna terdiam dan menatap calon suaminya. Air matanya tak lagi terbendung. Rupanya Monna menyadari sesuatu yang telah terjadi antara aku dengan lelakinya.
“Dia yang kau banggakan adalah laki-laki yang telah menyakitiku. Dia meninggalkanku demi dirimu. Dan aku akan membuatmu merasakan rasa sakit yang sama.”
Dooooooor!
Aku terjatuh!
Laki-laki itu mengeluarkan pistol dari balik bajunya.
“Aku tahu bahwa kau akan datang dan merusak semuanya, Angella. Dan kini semua itu sudah berakhir. Kau harus mati jika niatmu adalah untuk mengganggu pernikahanku.” Joe tertawa setelah melihatku terkapar.
Monna berteriak. Semua orang berlomba untuk meninggalkan gedung gereja.
Aku rasa sandiwara ini tak perlu terlalu lama.
“Hahaha... kau pikir semudah itukah membunuh diriku?”
Joe terkejut saat melihatku bangkit. Berulangkali dia menarik pelatuknya. Berulangkali juga dia telah gagal untuk membuatku mati. Aku tak akan membiarkan waktu terbuang dengan sia-sia. Aku akan segera mengakhirinya.
“Bersiaplah untuk menerima takdirmu, Joe!”
Kukepakkan sayapku dengan kencang. Tangkai-tangkai tajam bulu sayapku meluncur ke arahnya dan menembus jantungnya. Tidak lama kemudian sekelompok burung gagak mulai mencabik-cabik tubuhnya.
Joe sudah mati.
Aku memilih untuk meninggalkan tempat itu. Kali ini dengan penuh kemenangan.
“Oh, aku hampir lupa untuk memberi hadiah padamu, Monna.”
“Tidaaaaaaaaaaaaaaak!”
Burung gagak mulai menyerang Monna. Namun aku akan membiarkannya untuk tetap hidup. Burung-burung itu hanya akan menggerogoti kaki kirinya. Tidak lebih.
Aku, Angella. Aku siap membalaskan dendam orang-orang yang tersakiti. Apakah kau salah satunya? Hahahaha...
*
Daftar Karya Peserta Fiksi Fantasi
Bergabunglah di Grup FB Fiksiana Community
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H