Aku terdiam. Mataku asyik memandang Monna meraih ujung tirai bambu untuk kemudian menariknya ke bawah. Setelah itu dia membalikkan sebuah papan kecil berwarna putih di depan pintu. CLOSED.
Monna memiliki sebuah kedai kopi yang tak terlalu besar. Hanya empat orang yang mampu dia tampung di kedai miliknya dan berlima denganku. Tak heran jika kebanyakan dari pembeli lebih memilih untuk menikmati kopinya dalam cangkir plastik sambil berlalu.
“Kau tak perlu mengantarku pulang. Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Kali ini biarkan aku melakukan sesuatu yang berarti bagimu.”
“Jangan memaksaku untuk marah padamu. Kau tak perlu kuatirkan aku. Kuatirkan saja dirimu.”
“Ada apa denganmu?”
Aku cemburu!
Itulah yang kurasa. Aku memang tak sesempurna Monna. Rambutku memang lebih indah darinya. Kukuku juga berwarna merah jambu. Aku juga tak kalah cantik dengannya. Namun aku tak memiliki kaki seperti kakinya. Salah satu kakiku...palsu.
***
Semua berawal ketika aku jatuh cinta. Cinta yang aku rajut dengan percuma. Mimpi itu seketika sirna. Sama seperti kakiku yang tak lagi dua. Aku kecewa. Sangat kecewa. Dan aku akan membuat luka dua kali lebih hebat dari apa yang kurasa -untuknya.
“Kau pasti berbohong!”