Aku mulai belajar untuk menguasai sayapku. Kucoba mengepak sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Dan pada kelima kalinya, aku melayang. Aku terbang! Aku tak pernah memikirkan tentang sayap ini, selain kaki dan benciku.
Sayapku berbeda. Tak ada keindahan yang kudapati saat melihatnya. Hitam. Sayapku berwarna hitam. Mengerikan. Di sanalah terkumpul semua benci dan dendamku. Semakin kurasakan luka itu, semakin kuat sayapku.
***
Sore itu, aku memutuskan untuk menemui Monna. Seperti biasanya, aku hanya akan menghabiskan waktu untuk berdiam diri di kedainya.
“Ada yang mau aku katakan padamu.”
“Katakan saja. Apa susahnya?”
“Baiklah.”
Monna menarik tanganku. Dia menyuruhku duduk pada kursi kayu. Dia tahu bahwa aku takkan mungkin bisa berdiri dalam waktu yang lama. Dia baik, tak heran jika banyak lelaki yang jatuh hati padanya. Dan itu membuatku semakin tenggelam dalam api cemburu.
“Aku akan menikah.”
Menikah?
Monna akan menikah?