Â
Â
- LATAR BELAKANGÂ
Restorative Justice merupakan proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dimana semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah, dan memikirkan bagaimana akibatnya dimasa yang akan datang. Konsep Restorative Justice dalam sistim peradilan pidana anak sudah sesuai dengan perspektif Kemanfaatan hukum karena mengedepankan prinsip- prinsip keadilan. Hak anak dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI) khususnya dalam Pasal 28B ayat (2) termasuk hak anak yang berkonflik dengan hukum (anak), memberi kewajiban kepada negara untuk mengimplementasikan demi kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan masa depan anak.(Triwati, Kridasaksana, and Pidana 2021) Setiap anak wajib mendapatkan pendidikan formal seperti sekolah dan juga wajib mendapatkan pendidikan moral sehingga mereka dapat tumbuh menjadi sosok yang berguna bagi bangsa Indonesia. Proses perkembangan karakter anak tersebut secara umum terdiri dari tiga fase yaitu ; Fase Pertama disebut sebagai masa anak kecil, fase kedua disebut sebagai masa kanak-kanak dan fase ketiga disebut masa remaja/pubertas  (Juliana and Arifin 2019). Dalam proses perkembangan anak untuk menuju dewasa terbentuklah suatu karakter atau kepribadian yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun faktor eksternal. Kenakalan dan perlakuan anak belakangan ini merupakan salah satu masalah baru yang menjadi sorotan dan sekaligus keprihatinan masyarakat. Salah satu permasalahan yang sering terjadi di Indonesia seiring dengan kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi dan budaya, membuat tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melanggar nilai- nilai dan norma yang ada dimasyarakat terutama norma hukum, seseorang yang terkategori masih anak-anak juga bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun tidak sadar, Perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak- anak disebut dengan juvenile delinquency, hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, karena terlalu keras bila seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat. Anak adalah bagian dari generasi muda,sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita cita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat yang khusus memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial, serasi, selaras, dan seimbang.
Sebagai generasi muda anak merupakan suatu kekuatan sosial yang nantinya akan berperan sangat besar dalam perkembangan bangsa dan negara. Atas dasar inilah pemerintah dan masyarakat menyadari perlunya perlindungan khusus terhadap anak, termasuk bila seandainya anak tersebut melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang undangan, dengan maksud agar anak tersebut tidak sampai mengalami tekanan jiwa dan jangan sampai proses perkara pidana. Seperti yang dinyatakan di dalam Undang-- Undang Dasar Negara Republik Indonesia, bahwa Indonesia tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, tetapi juga berdasarkan atas hukum, sehingga negara Indonesia memiliki karakter untuk cenderung menilai tindakan--tindakan yang dilakukan masyarakat sesuai dengan aturan--aturan hukum yang berlaku, termasuk tindak pidana Menurut "Convencion on the right of the chill" (konvensi tentang hak anak-anak) yang dimaksud dengan anak menurut Pasal 1 adalah sebagai berikut: Untuk digunakan dalam konvensi yang sekarang ini,anak berarti setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan undang undang yang berlaku untuk anak-anak,kedewasaannya telah dicapai lebih cepat. Jadi menurut konvensi ini adapun yang dimaksud dengan anak seorang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
Menurut UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK, Bab I mengenai ketentuan umum yang terdapat dalam Pasal 1, Ayat : (3),(4),(5) disebut sebagai berikut:
- Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
- Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
- Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Menurut ketentuan Undang Undang no 11 Tahun 2012 tentang pengadilan anak ini,yang dimaksud dengan anak adalah seorang yang berusia 12 (dua belas) tahun dan belum mencapai 18(delapan belas)tahun dan belum pernah kawin,Anak yang melakukan Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.
Setiap perbuatan anak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap ketertiban umum perlu kiranya dipikirkan jalan pemecahannya, yaitu perlunya dibentuk suatu peradilan khusus bagi anak yang perbuatannya menjurus kejahatan, agar ada jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat. Meskipun mereka baru disangkakan melakukan tindak pidana, akan tetapi tetap diberikan perlindungan terhadap hak-hak mereka karena bagaimanapun perjalanan hidup mereka masih panjang. Sehingga karena suatu perbuatan pidana yang dilakukannya dengan alasan apapun yang melatar belakang, tetap akan memperoleh perlindungan hukum, karena dalam kenyataannya banyak anak yang melakukan tindak pidana diperlakukan tidak sesuai dengan hak-hak mereka. Oleh karena itu, perlulah bagi anak yang melakukan tindak pidana tersebut diberikan perlindungan hukum sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundangan-undangan yang berlaku.
Bentuk perhatian yang cukup besar dari pemerintah dalam permasalahan ini adalah ratifikasinya "convention on the right of the child" melalui Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the right of the child (konvensi tentang hak-hak anak) hal ini menunjukkan bahwa pemerintah menyadari perlunya perlakuan terhadap anak termasuk bila seandainya anak tersebut melakukan suatu perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan dan sudah sepantasnya terhadap seorang anak pelaku tindak pidana untuk di proses mulai dari penyelidikan, penyidikan,  penuntutan,  persidangan  dan  eksekusi  sampai  ketahap penyelesaian selanjutnya. Salah satu sarana yang ditempuh dalam proses mengadili suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak salah satunya adalah dengan penyelesaian restorative justice. Restorative Justice merupakan suatu proses penyelesaian yang dilakukan di luar sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan pelaku, masyarakat serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu tindak pidana yang terjadi untuk mencapaikesepakatan dan penyelesaian. Restorative Justicedianggap caraberfikir/paradigma baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan oleh seseorang.
Proses peradilan anak sejak ditangkap sampai saat diputus dan perlakukan selanjutnya dalam pembinaanya dilembaga pemasyarakatan anak, wajib dilakukan oleh pejabat-pejabat yang terdidik khusus atau setidaknya mengetahui tentang masalah anak. Dalam proses peradilan yang dilakukan oleh yang berwenang harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum dalam perlindungan anak dan tetap menjunjung tinggi harkat dan martabat anak tanpa mengabaikan terlaksananya keadilan, dan bukan membuat nilai kemanusiaan anak menjadi suatu problema hidup. Untuk itu diusahakan agar penegak hukum tidak hanya ahli dalam bidang hukum akan tetap jujur dan bijaksana serta mempunyai pandangan yang luas dan mendalam tentang kelemahan-kelemahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Bermula dari perlakuan dan melihat prinsip-prinsip Hukum di Indonesia. Sehingga kita dapat melihat keberadaan hukum dengan penerapannya dalam menangani kasus- kasus kenakalan anak mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan. sanksi hukum terhadap anak nakal yang terjadi di kota-kota besar di wilayah Indonesia.
Perumusan Masalah
- Bagaimana penerapan Restorative Justice terhadap anak yang menjalani proses hukum di Indonesia?
- Bagaimana kendala dalam menerapkan restorative justice sebagai alternatif dalam proses pelaksanaan peradilan bagi anak yang berkomplik dengan hukum?
Metode Penelitian
- Objek Penelitian
Penelitian tentang "Penerapan Restorative Justice Terhadap Anak yang Menjalani Proses Hukum dalam Lingkup Pengadilan", merupakan suatu penelitian hukum normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum baik hukum dalam arti peraturan perundang- undangan maupun hukum dalam arti keputusan-keputusan yang diterbitkan oleh pengadilan obyek yang dianalisis adalah norma hukum baik dalam peraturan perundang undang yang secara konkrit dan keputusan pengadilan dalam kasus yan diputuskan lembaga-lembaga tersebut.
- Data dan Sumber Data
 Berdasarkan jenis dan bentuknya, data dalam penelitian ilmiah ini seperti
- Data primer adalah data yang diperoleh dari analisa dakwaan dan putusan pengadilan.
- Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari masyarakat tetapi diperoleh melalui bahan pustaka.
- Pengumpulan Data
Pengumpulan data ini dilakukan melalui studi kepustakaan yaitu dengan cara mengambil dan mencari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dan mempelajari literatur literatur lainya kemudian berdasarkan studi pustaka tersebut selanjutnya diolah dan dirumuskan secara sistematis sesuai dengan masing-masing pokok dan materi bahasanya, juga mengakses data melalui internet.
- Analisa Data
Pengelolah data menggunakan metode deskriptif analisa, artinya data yang diperoleh berdasarkan kenyataan kemudian dikaitkan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dibahas, dianalisi kemudian ditarik kesimpulan yang akhirnya digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada.
B. PEMBAHASAN
Restorative Justice
- Pengertian Restorative Justice
Keadilan restorative adalah sebuah tanggapan terhadap tindak pidana yang berpusatkan pada korban yang mengizinkan korban, pelaku tindak pidana, keluarga-keluarga mereka, dan para perwakilan dari masyarakat untuk menangani kerusakan dan kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana.(Â 20Mark Umbreit, Family Group Conferencing: Implications for Crime Victims, The Center for Restorative Justice, University of Minnesota)
Terhadap pandangan tersebut Daly mengatakan, bahwa konsep Umbreit tersebut memfokuskan kepada "memperbaiki kerusakan dan kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana" yang harus ditunjang melalui konsep restitusi, yaitu "mengupayakan untuk memulihkan kerusakan dan kerugian yang diderita oleh para korban tindak pidana dan memfasilitasi terjadinya perdamaian.(Â Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies)
Keadilan restoratif atau Restorative Justice mengandung pengertian yaitu: "suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak.
Dalam hal ini Restorative Justice mengandung arti keadilan yang direstorasi atau Rdipulihkan.Masing masing pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana diberikan kesempatan untuk bermusyawarah, Restorative Justice menekankan pada kesejahteraan dan keadilan.Korban tindak pidana berhak menuntut ganti rugi kepada pelaku tindak pidana yaitu kerugian yang telah dideritanya, sedangkan pelaku tindak pidana wajib mengganti kerugian yang disebabkan olehnya kepada korban.
- Konsep Restorative Justice
Â
Pendekatan restoratif memiliki konsep dasar berupa tindakan untuk "membangun kembali hubungan yang rusak akibat tindak pidana" telah lama dikenal dan dipraktikkan di dalam hukum adat yang berlaku di Indonesia. Menurut Sarre Keadilan restorative bekaitan dengan bagaimana membangun kembali hubungan setelah terjadi suatu tindak pidana, bukannya membangun tembok pemisah antara para pelaku tindak pidana dengan masyarakat mereka, yang merupakan hallmark (tanda/karakteristik) dari sistem-sistem peradilan pidana modern.(Â Rick Sarre, Restorative Justice: A Paradigm of Possibility, dalam Martin D. Schwartz dan Suznne E. Hatty, eds., Contoversies in Critical Criminology, 2003)
Dengan perkataan lain dapat dinyatakan bahwa filosofi dasar tujuanpendekatan Restorative, yaitu "memulihkan keadaan pada keadaan semula sebelum terjadinya konflik" adalah identik dengan filosofi "mengembalikan keseimbangan yang terganggu" yang terdapat dalam Hukum Adat Indonesia.
Burt Galaway dan Joe Hudson menyatakan bahwa konsep keadilan menurut konsep keadilan Restorative, memiliki unsure-unsur yang sangat mendasar, yaitu pertama, tindak pidana dipandang sebagai suatu konflik/pertentangan antara individuindividu yang mengakibatkan kerugian kepada para korban, masyarakat, dan para pelaku tindak pidana itu sendiri; kedua, tujuan dari proses (criminal justice) haruslah menciptakan perdamaian di dalam masyarakat dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan oleh konflik itu; ketiga, proses tersebut harus menunjang partisipasi aktif oleh para korban, pelaku dan masyarakat untuk menemukan pemecahan terhadap konflik yang bersangkutan.(Â Burt Galaway dan Joe Hudson, Criminal Justice, Restitution and Reconciliation (Criminal Justice) Penggantian Kerugian dan Perdamaian). Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1990)
Unsur-unsur yang mendasari pendekatan Restorative sebagaimana yang diutarakan oleh Burt Gallaway dan Joe Hudsob tersebut, member pemahaman bahwa korban sebagai pihak yang mengalami dampak kerugian atau kerusakan yang timbul akibat terjadinya suatu tindak pidana memiliki hak sepenuhnya untuk ikut serta dalam proses penyelesaian dan pemulihan tindak pidana tersebut. Pemahaman tersebut membawa konsekuensi logis terhadap makna dan pengertian tindak pidana yang bukan lagi harus dipandang sebagai suatu perbuatan melanggar hukum yang harus diberi sanksi oleh Negara tetapi suatu perbuatan yang harus dipulihkan melalui ganti rugi atau jenis sanksi lain yang sifatnya menjauhi efek pemenjaraan.
- Prinsip Restorative Justice
Beberapa prinsip-prinsip yang berlaku secara universal yang melekat dalam konsep pendekatan Restorative dalam penyelesaian tindak pidana, antara lain sebagai berikut :
- Prinsip Penyelesaian yang Adil (Due Process)
Dalam setiap sistem peradilan pidana di seluruh Negara, kepada tersangka selalu diberikan hak untuk mengetahui terlebih dahulu tentang prosedur alprosedural perlindungan tertetu ketika dihadapkan pada penuntutan atau penghukuman. Proses peradilan (due process) haruslah dianggap sebagai bentuk perlindungan untuk member keseimbangan bagi kekuasaan Negara untuk menahan, menuntut, dan melaksanakan hukuman dari suatu putusan penghukuman.
Dalam implementasinya, mekanisme proses pendekatan Restorative menghendaki adanya keinginan untuk tetap member perlindungan bagi tersangka yang terkait dengan due process. Akan tetapi, karena dalam proses restorasi mengharuskan adanya pengakuan bersalah terlebih dahulu maka hal ini menimbulkan pertanyaan mengeai sampai sejauh mana persetujuan yang diberitahukan (informed consent) dan pelepasan hak suka rela (wiver of rights) dapat dipergunakan sebagai awal penyelesaian yang adil.(Â Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2013).
Perlindungan yang Setara
Dalam proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan Restorative, keadilan harus timbul dari suatu proses saling memahami akan makna dan tujuan keadilan itu, tanpa memandang suku, jenis kelamin, agama,asal bangsa dan kedudukan sosial lainnya.
Terdapat keraguan tentang kemampuan sistem pendekatan Restorative dalam menyelesaikan suatu masalah dan memberikan "rasa keadilan" diantara para partisipan yang berbeda-beda, karena dapat saja salah satu pihak mempunyai kelebihan kekuatan ekonomi, intelektual, politik atau bahkan fisik. Sehingga terjadi suatu ketidaksetaraan diantara para pihak yang berpartisipasi dalam suatu proses Restorative.
Hak-Hak Korban
Dalam penyelesaian masalah melalui pendekatan Restorative, hak-hak korban perlu mendapat perhatian karena korban adalah pihak yang berkepentingan yang seharusnya mempunyai kedudukan (hukum) dalam proses penyelesaiannya. Pada sistem peradilan pidana pada umumnya, ditengarai bahwa korban tidak menerima perlindungan yang setara dari pemegang wewenang sistem peradilan pidana, sehingga kepentingan yang hakiki dari korban sering terabaikan dan kalaupun itu ada hanya sekedar pemenuhan sistem administrasi atau manajemen peradilan pidana.(Â Rufinus Hotmalana Hutauruk,Lok.,)
Proporsionalitas
Gagasan fairness di dalam sistem Restorative didasarkan pada consensuspersetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam menyelesaikan masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus dikenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah memenuhi suatu perasaan keadilan retributive (keseimbangan timbal balik antara punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan Restorative dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran yang sama.(Â Warner,1994, diakses dari http://www.restorativejustice.org
Praduga Tak Bersalah
Dalam peradilan pidana pada umumnya, Negara memiliki beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan sampai beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus dianggap tidak bersalah. Berbeda halnya dalam proses Restorative, yang mensyaratkan suatu pengakuan bersalah merupakan syarat dilanjutkannya lingkaran penyelesaian.
Hak Bantuan Konsultasi atau Penasehat Hukum
Dalam proses Restorative, advokat atau penasehat hukum memiliki peran yang sangat strategis(berkemampuan) untuk membantu pelanggar hukum dalam melindungi haknya(bantuan penasehat hukum). Dalam semua tahapan informal yang restoratif, tersangka dapat diberi informasi melalui bantuan penasehat hukum mengenai hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam membuat membuat keputusan. Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses Restorative, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas namanya sendiri. Posisi-posisi mereka yang mengizinkan pengacara mewakili partisipanpartisipan dalam semua titik tahapan selama proses Restorative, akan menghancurkan banyak manfaat yang diharapkan dari "perjumpaan" (encounter), seperti komunikasi langsung dan pengungkapan perasaan, danpembuatan keputusan kolektif proaktif. Pengacara juga bisa sangat membantu dalam memberi saran klien-klien mereka tentang hasil yang paling mungkin yang didapatkan dan seharusnya diharapkan.(Â Sudikno, Mertokusumo. (2008). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty).
- Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Penanganan restorative juistice ditingkap kepolisian dapat dilihat di dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 ini mengatur tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, yang akan digunakan sebagai acuan dasar penyelesaian perkara dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana guna dapat memberikan kepastian hukum, sebagaimana diatur tentang penghentian penyelidikan (SPP-Lidik) dan penhentian penyidikan (SP3) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif. Keadilan Restoratif adalah Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula. (Pasal 1 huruf 3)
- Model Pendekatan Restorative Justice
Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan Restorative tidak akan menjadi suatu realitas yang dapat diimplementasikan jika tidak dapat dibangun atau dikembangkan suatu model struktural dengan paradigma Restorative yang akan menjadi pilihan alternatif dalam sistem hukum pidana. Dalam hal ini ada berbagai macam model sistem pendekatan Restorative yang dijabarkan oleh Van Ness, antara lain
Uniied System
Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesetaraan dalam hukum melihat hiptesa Christie, yaitu bahwa Negara telah mencuri konflik dari para pihak menjadi suatu pilihan yang dapat member pandangan untuk memvisikan pendekatan Restorative menggantikan peradilan pidana. Untukmengembalikan konflik itu ke "pemiliknya yang berhak, memerlukan suatupendekatan yang benar-benar berbeda dalam mengelola pemberian proses - proses keadilan, yang memungkinkan korban dan pelanggar dapat menentukan sendiri hasil penyelesaian konfliknya tersebut dan Negara tidak memiliki hak mutlak atas konflik yang dimaksud, sehingga berdasar pandangan ini, proses-proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan Restorative seharusnya dapat menggantikan semua proses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya.
Dual Track System
Model dual track system ini dapat dibuat menjadi suatu pendamping alternatif bersama sistem peradilan pidana yang ada. Dalam suatu model jalur ganda, proses Restorative dan proses tradisional akan berdampingan secara bersamasama, dimana para pihak yang menentukan wacana jalannya proses dari suatu kasus tertentu. Jika kesepakatan untuk memasuki proses Restorative tidak dapat dicapai (dengan konsesus semua pihak yang berkepentingan) maka sistem pengadilan peradilan pidana akan tetap tersedia. Jadi, dalam hal ini pendekatan Restorative ditempatkan menduduki prosisi primer sedangkan lembaga-lembaga formal adalah berperan sebagai suatu unsure pendukung, sebagaimana model peradilan pidana Jepang pada dasarnya terdiri dari suatu sistem dua jalur, yang sistem peradilan formalnya sama dengan mayoritas Negara demokrasi industri, dengan hukum pidana materiil dan hukum pidana formilnya yang mengatur jalannya proses suatu kasus tindak pidana.
Safeguard System
Model ini adalah suatu model yang dirancang untuk menangani tindak pidana melalui pendekatan Restorative, dimana program-program restorasi akan menjadi sarana utama untuk menangani permasalahan- permasalahan tindak pidana maka hal ini berarti bahwa akan terjadi suatu peralihan besar dari sistem peradilan pidana pada umunya yang akan mengalami reduksi ke sistem keadilan Restorative. Namun, untuk kasus-kasus tertentu akan tetap ditangani oleh sistem peradilan pidana yang kontemporer, yaitu kasus-kasus yang dianggap tidak sesuai untuk ditangani oleh suatu proses atau program Restorative. Contoh-contohnya mungkin dalam situasi-situasi dimana diperlakukan suatu jawaban pasti atas adanya suatu pertanyaan yang riilperihal "bersalahnya" si terdakwa, atau situasi-situasi dimana tindakantindakan koersif signifikan atau tindakan-tindakan pengendalian tampak diperlukan untuk perlindungan masyarakat.
Hybrid System
Dalam model ini, proses penentuan atau penetapan seseorang bersalah diproses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya dan kemudian dalam proses penentuan saksi maka konsep pendekatan Restorative dapat dipergunakan untuk menentukan jenis sanksinya. Dalam sistem hybrid, baik respon pendekatan Restorative maupun respon peradilan pidana kontemporer dipandang sebagai bagian-bagian normatif dari sistem peradilan.
- Penerapan Restorative Justice Terhadap Anak yang Menjalani Proses Hukum.
Masalah kejahatan anak bukan saja menjadi gangguan keamanan dan ketertiban semata-semata, melainkan juga merupakan bahaya yang dapat mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa, karena anak dalah generasi penerus bangsa. Hal ini dikarenakan seorang anak dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, serta agresif yang dapat mengganggu ketertiban umum. Mengganggu ketertiban umum di sini seperti mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, penipuan, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang intinya membuat susah dan resah orang tuanya. Anak nakal itu merupakan hal yang wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tua menghendaki kenakalan anaknya berlebihan sehingga menjurus ke tindak pidana. Seiring dengan perkembangan zaman kenakalan anak telah memasuki ambang batas yang sangat memperihatinkan. Menurut Romli Atmasasmita mengenai kenakalan anak atau adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Restorative Justice atau dikenal dengan istlah reparative justice adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat Aparat berwenang pun sudah seharusnya mempunyai kemauan dan kemampuan yang kuat untuk menangani perkara yang melibatkan anak sesuai dengan prinsip the best interest of the children. Keadilan restoratif yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah kewajiban melaksanakan Diversi. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana disebutkan, bahwa Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana . Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
Keadilan restoratif didasarkan pada teori relasional feminis, berdasarkan pada sifat relasional manusia dan "pemahaman tentang diri sebagaimana didasari dalam dan melalui hubungan dengan orang lain"(Â Llewellyn, J. J., "Integrating Peace, Justice and Development in a Relational Approach to Peacebuilding" Ethics and Social Welfare, Vol. 6, No. 3, 2012) Selain itu keadilan restoratif dipandu oleh nilainilai restoratif, yang mendukung prosedur kolaboratif dan berbasis konsensus atas bentuk ajudikatif dan permusuhan yang sering menjadi ciri prosedur peradilan pidana konvensional. (Robins, S., "Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa. In Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa. The case of Uganda. Pretoria: Institute for Security Studies, 2015) Ketika orang orang yang menyebabkan cedera diundang untuk secara jujur mengakui kesalahan mereka, dengarkan dengan hormat orang-orang yang telah mereka sakiti, dan hormati tugas mereka untuk memperbaikinya lagi, langkah-langkah penting diambil untuk memulihkan martabat dan memenuhi kebutuhan semua pihak.
Pendapat Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta mengatakan tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan. Berkaitan dengan tujuan hukum Achmad Ali mengemukakan bahwa persoalan tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang yaitu (Dr. Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Nasya Expanding Management, Tegal):
- Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif, tujuan hokum dititikberatkan pada segi kepastian hukum;
- Dari sudut pandang falsafah hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan;
- Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatan.
Menurut Aristoteles keadilan dibedakan menjadi dua macam ,yaitu justisia distributive yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, dan justisia commutative yang menghendaki setiap orang mendapat hak yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan). Restorative justice bertujuan untuk melindungi anak yang berbentur dengan hukum,pelindungan anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak supaya melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, serta Negara.
Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Menyadari betapa pentingnya kedudukan anak sepantasnya terhadap anak perlu mendapatkan perlindungan, termasuk di dalamnya adalah perlindungan hukum dalam proses peradilan. Bentuk perlindungan bagi anak dalam proses peradilan adalah upaya untuk melepaskan anak dari proses pengadilan yang berakhir dengan hukuman melalui
Pendekatan restorative justice atau keadilan restorasi sebagai sebuah pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkandengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.(Â Dr. Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, PT. Nasya Expanding Management, Tegal) dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Pendekatan restorative justice dalam berbagai asas dan model, yaitu proses dialog antara pelaku dan korban merupakan modal dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa saja yang dirasakannya, kemudian mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan- keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya agar mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana apa yang telah dilakukannya dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Maka dari itu pada dasarnya restorative justice atau keadilan restorasi dikenal juga dengan penyelesaian perkara melalui mediasi (mediasi penal). Fruin J.A menyatakan bahwa peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku delinkuensi,sebagimana dikutip Paulus Hadisuprapto (Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya, Malang: Bayumedia Publishing, 2008) anak tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku serta masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan system peradilan anak.
Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restorative (restorative justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau "Doer-Victims" Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau "daad-dader straftecht". Menurut Van Ness landasan Restorative Justice Theory dapat diringkaskan beberapa karakteristik sebagai berikut:
- Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves, only secondary is it lawbreaking. (Kejahatan menurut sifat dasar/primernya merupakan konflik antara individu-individu yang mengakibatkan cedera pada korban, masyarakat dan pelaku sendiri, sedangkan pengertian kejahatan sebagai sesuatu yang pelanggaran hukum hanya bersifat sekunder saja) .
- The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes. (Tujuan menyeluruh dari proses peradilan pidana harus mendamaikan para pihak yang berkonflik/bersengketa, di samping pula memperbaiki luka yang disebabkan oleh kejahatan).
- The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. A should not be dominated government to the exclusion of others. (Proses peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan komunitas (masyarakat). Hal ini tidak boleh didominasi oleh pemerintah dengan mengesampingkan orang lain atau hal-hal lainnya .
Maka dari itu konsep keadilan restorative (restorative justice) merupakan suatu proses di mana melibatkan semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut. Pada pengadilan anak diharapkanyang diharapkan dapat memulihkan, artinya perkara ditangani oleh penegak hukum yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan mewujudkan keadilan restoratif, serta apabila terjadi penahanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum maka harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar dari konvensi hak-hak anak yang telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (Dr. Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Nasya Expanding Management, Tegal ).
Bagir Manan (R. Wiyono, 2017, Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia ) berpendapat bahwa, walaupun restorative justice menjanjikan konsep yang baik dalam system pemidanaan, tetapi tidak luput dari adanya beberapakekhawatiran sebagai berikut ini:
Konsep restorative justice dapat mengendorkan kepastian hukum dan konsistensi. Penegak hukum menjadi begitu subjektif bergantung pada stakeholder yang terlibat dalam penyelesaian suatu kasus.
- Konsep restorative justice dapat mengendorkan peraturan hukum,khususnya peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu kasus. Hal ini akan memperngaruhi asas nullum delictum dalam pemidanaan.
- Konsep restorative justice akan mengubah sifat hukum pidana sebagai geslotenrecht menjadi seperti hukum perdata yang bersifat terbuka (open system). Hubungan serta akibat hukum, terutama ditentukan oleh kehendak pihak-pihak perbatasan hanya dalam bentuk larangan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Kesusilaan dan ketentuan imperative yang diatur dalam Undang-undang (dwingenrecht)
Konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) harus dilaksanakan secara terintegrasi. Hal ini menjadi penting mengingat apabila salah satu dari komponen sistem peradilan pidana tidak menerapkan konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) maka putusan yang restorative tidak mungkin dapat terlaksana.
Misalnya, kepolisian dan kejaksaan telah menganut konsep keadilan restorative (restorative justice) namun hakim masih menganut pola pikir yang legistis, dalam kasus seperti ini hakim akan menjatuhkan putusan yang sangat normatif sehingga lembaga pemasyarakatanpun tidak bisa menerapkan konsep keadilan restoratif. Oleh karenanya, pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice) harus dilaksanakan secara terintegrasi antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Sebaliknya, apabila satu komponen tidak menjalankan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) makpendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri tidak akan terealisasi dengan baik.
- UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa sebelum melewati proses persidangan hakim wajib mengupayakan penyelesaian perkara anak secara diversi atau disebut juga penyelesaian perkara anak di luar pengadilan (informal) dengan cara restorative justice. Adapun hambatan pemeriksaan perkara anak secara diversi melalui restorative justice      adalah: Susah mendapatkan persetujuan korban/keluarga korban walaupun cara non  litigasi  bisa  membuat  anak  pelaku  tindak  pidana terhindar dari berbagai efek buruk sanksi pidana, namun ternyata tak semua pihak menyepakatinya. Dalam hal ini biasanya pihak korban yang tidak menyepakati. Di mana tidak semua korban atau keluarga korban mau menerima cara penyelesaian non ligitasi. Pihak korban umumnya menghendaki agar pelaku dimasukkan penjara supaya jera.
- Kemampuan  mediator  sangat  mempengaruhi  keberhasilan  proses
restrorative justice. Pelaksanaan restorative justice yang dilaksanakan dengan kurangnya pelatihan dalam mengatasi konflik dan teknik memfasilitasi/mediasi dan pelaksanaannya kurang sempurna akan menyebabkan kurangnya keberhasilan dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, peran pelaksana restroratif justice sangat membantu sukses atau tidaknya dalampelaksanaan.
- Keberhasilan dari proses restorative justice sangat tergantung dari pihak keluarga yang menjadi tempat anak dikembalikan.
Hal ini disebabkan anak pelaku merupakan tanggung jawab dari orang tuanya, jadi pengawasan dari orang tua dan keluarga untuk mengubah perilaku anak dari perilaku melanggar (offence behavior) dapat dijadikan faktor penentu yang cukup berarti. Ketika orang tua atau keluarga pelaku tidak menghiraukan perilaku anaknya setelah diversi dilakukan (apakah pelaku menyesal atau tidak), maka restoratif belum bisa dikataka berhasil, karena bisa saja terjadi re-offending atau pelanggaran Kembali oleh pelaku.
- Seringnya terjadi re-offending atau pelanggaran kembali oleh pelaku yang telah menjalani restorative justice Inilah yang menjadi dilematis dalam penyelesaian secara diversi dan restorative justice. Di mana cara penyelesaian seperti ini memiliki kelemahan yakni terjadi re-offending atau pelanggaran kembali oleh pelaku. Dari hasil penelitian Graffith pada tahun 1999 di Negara bagian Victoria, Australia, kasus yang sering terjadi adalah terjadinya pengulangan pelanggaran yang dilakukan pelaku setelah conferencing, di mana tidak terdapat perbedaan yang cukup berarti ketika pelaku anak melalui proses restorative justice atau pemenjaraan (probation). Tapi perbandingan jumlah re-offending setelah restorative justice atau melalui pemeriksaan pengadilan tidaklah serta merta menunjukkan kemandulan restorative justice untuk mencegah pelaku re-offending, karena masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab reoffending dari proses restorative justice.
- Kurangnya pemahaman masyarakat tentang proses restorative justice dan tujuannya serta kepercayaan terhadap petugas pelaksananya
Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan anak melalui kebijakan diversi dan restorative justice membawa partisipasi masyarakat dan mediator sebagai salah satu komponen selain aparat penegak hukum dalam system peradilan pidana. Namun dalam hal ini masyarakat kurang mengerti tentang restorative justice dan tujuannya sehingga terkadang masyarakat tidak mau ikut berperan dalam melakukan restorative justice Seseorang berbuat jahat atau menjadi jahat atau baik dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat . Seseorang dapat melemah atau terputus ikatan sosialnya dengan masyarakat
dengan masyarakatnya, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga control social, pada gilirannya mengakibatkan seseorang berperilaku menyimpang. Kejahatan atau tindak pidana merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Begitu juga dengan kenakalan anak merupakan suatu ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari yang mendasari kehidupan atau keteraturan social yang dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Kenakalan anak disamping merupakan masalah kemanusiaan juga masalah sosial, sehingga penanganan kenakalan anak merupakan tanggung jawab bersama anggota masyarakat. Anak yang Berkonflik dengan Hukum, perlu ditangani sedemikian rupa dengan memerhatikan masa depannya. Perhatian anak dapat dilihat dari berbagai bentuk peraturan perundang- undangan yang menyangkut perlindungan hak-hak anak, dan penegakan peraturan perundang-undangan tersebut. Anak yang Berkonflik dengan Hukum diberi pelayan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Kenakalan anak dapat dicegah dengan mengefektifkan hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak. Hakikat yang terkandung dalam setiap proses hubungan antara orang tua dan anak, seyogianya ada 4 (empat) yang selalu tampil dalam setiap proses interaksi antara orang tua dengan anak, yaitu: (Â Dikutip dari Prof. Dr. Maidin Gultom. 2020. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: PT Refika Aditama).
- Â Pengawasan melekat
Pengawasan melekat tejadi melalui perantara keyakinan anak terhadap suatu hal. Pengawasan tipe ini meliputi usaha penginternalisasian nilai- nilai dan norma-norma yang dikaitkan erat dengan pembentukan rasa takut, rasa bersalah pada diri anak melalui proses pemberian pujian dan hukuman oleh orang tua atas perilaku anak yang dikehendaki dan yang tidak dikehendaki.
- Pengawasan tidak langsung
Pengawasan tidak langsung melalui penanaman keyakinan pada diri anak, agar timbul perasaan dan kehendak untuk tidak melukai atau membikin malu keluarga, melalui keterlibatan anak pada perilaku-perilaku yang bertentangan dengan harapan orang tua dan keluarga. Jenis pengawasan ini sangat menentukan adanya pembentukan rasa keterikatan anak pada orang tua dan anak.
- Pengawasan langsung
Pengawasan langsung lebih menekankan pada larangan dan pemberian hukuman pada anak. Misalnya aturan-aturan tentang penggunaan waktu luang sebaik-baiknya, baik pada saat orang tua taka da dirumah maupun pada saat anak diluar rumah; cara memilih teman-teman bermain sesuai dengan perkembangan jiwa yang sehat pada anak dan tidak membahayakan diri anak di luar rumah.
- Pemuasan kebutuhan
Pemuasan kebutuhan berkaitan dengan kemampuan orang tua dalam mempersiapkan anak untuk sukses, baik di sekolah, dalam pergaulan dengan teman-teman sebayanya maupun di masyarakat luas. Bagaimanapun harus diakui bahwa bekas Narapidana Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, karena itu keterlibatan masyarakat dalam mengembalikan bekas Narapidana Anak harus diperlakukan sedemikian rupa, sehingga kelak dapat berguna bagi nusa dan bangsa.
C. KESIMPULAN
- Keadilan restoratif (restorative justice) sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak yang berbenturan dengan hukum. Keadilan restoratif (restorative justice) setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Konsep Restorative Justice dalam sistim peradilan pidana anak sudah sesuai dengan perspektif Kemanfaatan hukum karena mengedepankan prinsip- prinsip keadilan, kepentingan terbaik bagi anak, dan memuat norma yang cukup jelas dari segi pemaknaanya.
- Restorative Justice bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat menjelaskan bahwa konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Restorative Justice merupakan teori keadilan yang menekankan pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh perbuatan pidana. Konsep Restorative Justice dalam sistim peradilan pidana anak sudah sesuai dengan perspektif Kemanfaatan hukum karena mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, kepentingan terbaik bagi anak, dan memuat norma yang cukup jelas dari segi pemaknaanya.Akan tetapi penerapan restorative justice juga menjadi
- Penerapan Restorative  justice bagi penanganan anak yang berhadapan dengan hukum sudah dimplementasikan dalam UU No.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, dimana dalam setiap penanganan anak harus tetap menjadikan Restirative justice sebagai ruh dalam Penanganannya, namun kendalam penerapan Restorative Justice ini dalam setiap proses terkendala dengan tidak pahaman dari pihak korban tentang pentingnya restorative, sehingga disini aparat penegak hukum harus bekerja keras agar pihak korban dapat memahami pentingnya keadilan restorative dalam penyelesaian perkara Â
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Abdul Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu PelitaI- IV, Disertasi, Depok, 1990
PRAMESWARI, Zendi Wulan Ayu Widi, ratifikasi konvensi tentang hak - hak anak Dalam sistem peraturan perundang undangan di indonesia.Yuridika,2017
araswati F(2020) Pelanggaran hak anak yang berkomplik dengan hukum dalam proses penyidikan.
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung, 2004
Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Grasindo, Jakarta, 2000
Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Delinquency: Pemahaman Dan Penanggulangannya, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997
Soetanto Soepiadhy, Kemanfaatan Hukum, Surabaya Pagi, Kamis, 12 April 2012 Achmad Ali, Teori Hukum dan Teori Peradilan Termasuk Interpretasi Undang -
Undang, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grup)
Muchsin, Ihtisar Ilmu Hukum, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, 2005
Soerjono Soekanto & Sri Mamudja, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cet.8,.Jakarta, Rajawali Pers, 2013
Kathleen Daly, Restorative Justice in Diverse and Unequal Societies, Law in Context, 2000.
Burt Galaway dan Joe Hudson, Criminal Justice, Restitution and Reconciliation (Criminal Justice) Penggantian Kerugian dan Perdamaian). Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1990
Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif suatu Terobosan Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2013 Sudikno, Mertokusumo. (2008). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty
Harkristat, Harkriswon 2002 (Menelaah konsep sistem peradilan agama terpadu) dalam konteks Indonesia.
Llewellyn, J. J., "Integrating Peace, Justice and Development in a Relational Approach
to Peacebuilding" Ethics and Social Welfare, Vol. 6, No. 3, 2012.
Robins, S., "Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa. In Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa. The case of Uganda. Pretoria: Institute for Security Studies, 2015
Dr. Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Nasya Expanding Management, Tegal
Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya,
Malang: Bayumedia Publishing, 2008
Harkristuti Harkrisnowo, RUU Pengadilan Pidana Anak: Suatu Telaah Ringkas, 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995, Balai Fustaka, Jakarta,
PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang -- Undang tentang Pidana Anak, Undang- Undang N0.11 Tahun 2012, Lembaran Negara RI Tahun 2012 No.153
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan anak.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perpres No.36 Tahun 19960 tentang Pengesahan CONVENTION ON THE RIGHTS OF
THE CHILD (Konvensi tentang hak-hak anak)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H