Sistem Hukum Pidana Indonesia memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk pembaharuan yang ada dalam Hukum Pidana Indonesia adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restorative (restorative justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi). Apabila ditinjau dari perkembangan ilmu hukum pidana dan sifat pemidaan modern, telah memperkenalkan dan mengembangkan apa yang disebut pendekatan hubungan Pelaku-Korban atau "Doer-Victims" Relationship. Suatu pendekatan baru yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau "daad-dader straftecht". Menurut Van Ness landasan Restorative Justice Theory dapat diringkaskan beberapa karakteristik sebagai berikut:
- Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves, only secondary is it lawbreaking. (Kejahatan menurut sifat dasar/primernya merupakan konflik antara individu-individu yang mengakibatkan cedera pada korban, masyarakat dan pelaku sendiri, sedangkan pengertian kejahatan sebagai sesuatu yang pelanggaran hukum hanya bersifat sekunder saja) .
- The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes. (Tujuan menyeluruh dari proses peradilan pidana harus mendamaikan para pihak yang berkonflik/bersengketa, di samping pula memperbaiki luka yang disebabkan oleh kejahatan).
- The criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. A should not be dominated government to the exclusion of others. (Proses peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif dari korban, pelaku dan komunitas (masyarakat). Hal ini tidak boleh didominasi oleh pemerintah dengan mengesampingkan orang lain atau hal-hal lainnya .
Maka dari itu konsep keadilan restorative (restorative justice) merupakan suatu proses di mana melibatkan semua pihak yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut. Pada pengadilan anak diharapkanyang diharapkan dapat memulihkan, artinya perkara ditangani oleh penegak hukum yang mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak, dan telah mengikuti pelatihan mewujudkan keadilan restoratif, serta apabila terjadi penahanan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum maka harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar dari konvensi hak-hak anak yang telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (Dr. Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Nasya Expanding Management, Tegal ).
Bagir Manan (R. Wiyono, 2017, Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia ) berpendapat bahwa, walaupun restorative justice menjanjikan konsep yang baik dalam system pemidanaan, tetapi tidak luput dari adanya beberapakekhawatiran sebagai berikut ini:
Konsep restorative justice dapat mengendorkan kepastian hukum dan konsistensi. Penegak hukum menjadi begitu subjektif bergantung pada stakeholder yang terlibat dalam penyelesaian suatu kasus.
- Konsep restorative justice dapat mengendorkan peraturan hukum,khususnya peraturan perundang-undangan dalam menyelesaikan suatu kasus. Hal ini akan memperngaruhi asas nullum delictum dalam pemidanaan.
- Konsep restorative justice akan mengubah sifat hukum pidana sebagai geslotenrecht menjadi seperti hukum perdata yang bersifat terbuka (open system). Hubungan serta akibat hukum, terutama ditentukan oleh kehendak pihak-pihak perbatasan hanya dalam bentuk larangan tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Kesusilaan dan ketentuan imperative yang diatur dalam Undang-undang (dwingenrecht)
Konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) harus dilaksanakan secara terintegrasi. Hal ini menjadi penting mengingat apabila salah satu dari komponen sistem peradilan pidana tidak menerapkan konsep atau pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) maka putusan yang restorative tidak mungkin dapat terlaksana.
Misalnya, kepolisian dan kejaksaan telah menganut konsep keadilan restorative (restorative justice) namun hakim masih menganut pola pikir yang legistis, dalam kasus seperti ini hakim akan menjatuhkan putusan yang sangat normatif sehingga lembaga pemasyarakatanpun tidak bisa menerapkan konsep keadilan restoratif. Oleh karenanya, pendekatan atau konsep keadilan restorative (restorative justice) harus dilaksanakan secara terintegrasi antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Sebaliknya, apabila satu komponen tidak menjalankan pendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) makpendekatan atau konsep keadilan restoratif (restorative justice) itu sendiri tidak akan terealisasi dengan baik.
- UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa sebelum melewati proses persidangan hakim wajib mengupayakan penyelesaian perkara anak secara diversi atau disebut juga penyelesaian perkara anak di luar pengadilan (informal) dengan cara restorative justice. Adapun hambatan pemeriksaan perkara anak secara diversi melalui restorative justice      adalah: Susah mendapatkan persetujuan korban/keluarga korban walaupun cara non  litigasi  bisa  membuat  anak  pelaku  tindak  pidana terhindar dari berbagai efek buruk sanksi pidana, namun ternyata tak semua pihak menyepakatinya. Dalam hal ini biasanya pihak korban yang tidak menyepakati. Di mana tidak semua korban atau keluarga korban mau menerima cara penyelesaian non ligitasi. Pihak korban umumnya menghendaki agar pelaku dimasukkan penjara supaya jera.
- Kemampuan  mediator  sangat  mempengaruhi  keberhasilan  proses
restrorative justice. Pelaksanaan restorative justice yang dilaksanakan dengan kurangnya pelatihan dalam mengatasi konflik dan teknik memfasilitasi/mediasi dan pelaksanaannya kurang sempurna akan menyebabkan kurangnya keberhasilan dalam pelaksanaan. Oleh karena itu, peran pelaksana restroratif justice sangat membantu sukses atau tidaknya dalampelaksanaan.
- Keberhasilan dari proses restorative justice sangat tergantung dari pihak keluarga yang menjadi tempat anak dikembalikan.
Hal ini disebabkan anak pelaku merupakan tanggung jawab dari orang tuanya, jadi pengawasan dari orang tua dan keluarga untuk mengubah perilaku anak dari perilaku melanggar (offence behavior) dapat dijadikan faktor penentu yang cukup berarti. Ketika orang tua atau keluarga pelaku tidak menghiraukan perilaku anaknya setelah diversi dilakukan (apakah pelaku menyesal atau tidak), maka restoratif belum bisa dikataka berhasil, karena bisa saja terjadi re-offending atau pelanggaran Kembali oleh pelaku.
- Seringnya terjadi re-offending atau pelanggaran kembali oleh pelaku yang telah menjalani restorative justice Inilah yang menjadi dilematis dalam penyelesaian secara diversi dan restorative justice. Di mana cara penyelesaian seperti ini memiliki kelemahan yakni terjadi re-offending atau pelanggaran kembali oleh pelaku. Dari hasil penelitian Graffith pada tahun 1999 di Negara bagian Victoria, Australia, kasus yang sering terjadi adalah terjadinya pengulangan pelanggaran yang dilakukan pelaku setelah conferencing, di mana tidak terdapat perbedaan yang cukup berarti ketika pelaku anak melalui proses restorative justice atau pemenjaraan (probation). Tapi perbandingan jumlah re-offending setelah restorative justice atau melalui pemeriksaan pengadilan tidaklah serta merta menunjukkan kemandulan restorative justice untuk mencegah pelaku re-offending, karena masih ada faktor-faktor lain yang menjadi penyebab reoffending dari proses restorative justice.
- Kurangnya pemahaman masyarakat tentang proses restorative justice dan tujuannya serta kepercayaan terhadap petugas pelaksananya
Penyelesaian tindak pidana yang dilakukan anak melalui kebijakan diversi dan restorative justice membawa partisipasi masyarakat dan mediator sebagai salah satu komponen selain aparat penegak hukum dalam system peradilan pidana. Namun dalam hal ini masyarakat kurang mengerti tentang restorative justice dan tujuannya sehingga terkadang masyarakat tidak mau ikut berperan dalam melakukan restorative justice Seseorang berbuat jahat atau menjadi jahat atau baik dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat . Seseorang dapat melemah atau terputus ikatan sosialnya dengan masyarakat
dengan masyarakatnya, manakala di masyarakat itu telah terjadi pemerosotan fungsi lembaga control social, pada gilirannya mengakibatkan seseorang berperilaku menyimpang. Kejahatan atau tindak pidana merupakan salah satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Begitu juga dengan kenakalan anak merupakan suatu ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari yang mendasari kehidupan atau keteraturan social yang dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial dan merupakan ancaman bagi berlangsungnya ketertiban sosial. Kenakalan anak disamping merupakan masalah kemanusiaan juga masalah sosial, sehingga penanganan kenakalan anak merupakan tanggung jawab bersama anggota masyarakat. Anak yang Berkonflik dengan Hukum, perlu ditangani sedemikian rupa dengan memerhatikan masa depannya. Perhatian anak dapat dilihat dari berbagai bentuk peraturan perundang- undangan yang menyangkut perlindungan hak-hak anak, dan penegakan peraturan perundang-undangan tersebut. Anak yang Berkonflik dengan Hukum diberi pelayan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.
Kenakalan anak dapat dicegah dengan mengefektifkan hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak. Hakikat yang terkandung dalam setiap proses hubungan antara orang tua dan anak, seyogianya ada 4 (empat) yang selalu tampil dalam setiap proses interaksi antara orang tua dengan anak, yaitu: (Â Dikutip dari Prof. Dr. Maidin Gultom. 2020. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: PT Refika Aditama).
- Â Pengawasan melekat