Mohon tunggu...
DESI PUSPITA ANGGERINA
DESI PUSPITA ANGGERINA Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PEMBIMBING KEMASYARAKATAN

HOBI MEMASAK

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penerapan Restorative Justice Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum

8 Januari 2025   17:12 Diperbarui: 8 Januari 2025   17:10 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Model dual track system ini dapat dibuat menjadi suatu pendamping alternatif bersama sistem peradilan pidana yang ada. Dalam suatu model jalur ganda, proses Restorative dan proses tradisional akan berdampingan secara bersamasama, dimana para pihak yang menentukan wacana jalannya proses dari suatu kasus tertentu. Jika kesepakatan untuk memasuki proses Restorative tidak dapat dicapai (dengan konsesus semua pihak yang berkepentingan) maka sistem pengadilan peradilan pidana akan tetap tersedia. Jadi, dalam hal ini pendekatan Restorative ditempatkan menduduki prosisi primer sedangkan lembaga-lembaga formal adalah berperan sebagai suatu unsure pendukung, sebagaimana model peradilan pidana Jepang pada dasarnya terdiri dari suatu sistem dua jalur, yang sistem peradilan formalnya sama dengan mayoritas Negara demokrasi industri, dengan hukum pidana materiil dan hukum pidana formilnya yang mengatur jalannya proses suatu kasus tindak pidana.

Safeguard System

Model ini adalah suatu model yang dirancang untuk menangani tindak pidana melalui pendekatan Restorative, dimana program-program restorasi akan menjadi sarana utama untuk menangani permasalahan- permasalahan tindak pidana maka hal ini berarti bahwa akan terjadi suatu peralihan besar dari sistem peradilan pidana pada umunya yang akan mengalami reduksi ke sistem keadilan Restorative. Namun, untuk kasus-kasus tertentu akan tetap ditangani oleh sistem peradilan pidana yang kontemporer, yaitu kasus-kasus yang dianggap tidak sesuai untuk ditangani oleh suatu proses atau program Restorative. Contoh-contohnya mungkin dalam situasi-situasi dimana diperlakukan suatu jawaban pasti atas adanya suatu pertanyaan yang riilperihal "bersalahnya" si terdakwa, atau situasi-situasi dimana tindakantindakan koersif signifikan atau tindakan-tindakan pengendalian tampak diperlukan untuk perlindungan masyarakat.

Hybrid System

Dalam model ini, proses penentuan atau penetapan seseorang bersalah diproses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya dan kemudian dalam proses penentuan saksi maka konsep pendekatan Restorative dapat dipergunakan untuk menentukan jenis sanksinya. Dalam sistem hybrid, baik respon pendekatan Restorative maupun respon peradilan pidana kontemporer dipandang sebagai bagian-bagian normatif dari sistem peradilan.

  • Penerapan Restorative Justice Terhadap Anak yang Menjalani Proses Hukum.

Masalah kejahatan anak bukan saja menjadi gangguan keamanan dan ketertiban semata-semata, melainkan juga merupakan bahaya yang dapat mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa, karena anak dalah generasi penerus bangsa. Hal ini dikarenakan seorang anak dianggap memiliki kondisi kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis menghasilkan sikap kritis, serta agresif yang dapat mengganggu ketertiban umum. Mengganggu ketertiban umum di sini seperti mengkonsumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran antar pelajar, penipuan, atau perbuatan-perbuatan lainnya yang intinya membuat susah dan resah orang tuanya. Anak nakal itu merupakan hal yang wajar saja, karena tidak seorangpun dari orang tua menghendaki kenakalan anaknya berlebihan sehingga menjurus ke tindak pidana. Seiring dengan perkembangan zaman kenakalan anak telah memasuki ambang batas yang sangat memperihatinkan. Menurut Romli Atmasasmita mengenai kenakalan anak atau adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi anak yang bersangkutan. Restorative Justice atau dikenal dengan istlah reparative justice adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat Aparat berwenang pun sudah seharusnya mempunyai kemauan dan kemampuan yang kuat untuk menangani perkara yang melibatkan anak sesuai dengan prinsip the best interest of the children. Keadilan restoratif yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah kewajiban melaksanakan Diversi. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana disebutkan, bahwa Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana . Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat

Keadilan restoratif didasarkan pada teori relasional feminis, berdasarkan pada sifat relasional manusia dan "pemahaman tentang diri sebagaimana didasari dalam dan melalui hubungan dengan orang lain"( Llewellyn, J. J., "Integrating Peace, Justice and Development in a Relational Approach to Peacebuilding" Ethics and Social Welfare, Vol. 6, No. 3, 2012) Selain itu keadilan restoratif dipandu oleh nilainilai restoratif, yang mendukung prosedur kolaboratif dan berbasis konsensus atas bentuk ajudikatif dan permusuhan yang sering menjadi ciri prosedur peradilan pidana konvensional. (Robins, S., "Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa. In Restorative Approaches to Criminal Justice in Africa. The case of Uganda. Pretoria: Institute for Security Studies, 2015) Ketika orang orang yang menyebabkan cedera diundang untuk secara jujur mengakui kesalahan mereka, dengarkan dengan hormat orang-orang yang telah mereka sakiti, dan hormati tugas mereka untuk memperbaikinya lagi, langkah-langkah penting diambil untuk memulihkan martabat dan memenuhi kebutuhan semua pihak.

Pendapat Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidarta mengatakan tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari tujuan akhir hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan. Berkaitan dengan tujuan hukum Achmad Ali mengemukakan bahwa persoalan tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 (tiga) sudut pandang yaitu (Dr. Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, PT. Nasya Expanding Management, Tegal):

  • Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif, tujuan hokum dititikberatkan pada segi kepastian hukum;
  • Dari sudut pandang falsafah hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan;
  • Dari sudut pandang sosiologi hukum, tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatan.

Menurut Aristoteles keadilan dibedakan menjadi dua macam ,yaitu justisia distributive yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, dan justisia commutative yang menghendaki setiap orang mendapat hak yang sama banyaknya (keadilan yang menyamakan). Restorative justice bertujuan untuk melindungi anak yang berbentur dengan hukum,pelindungan anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi anak yang berhadapan dengan hukum agar anak dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang serta memberi kesempatan kepada anak supaya melalui pembinaan akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, serta Negara.

Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak. Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak. Menyadari betapa pentingnya kedudukan anak sepantasnya terhadap anak perlu mendapatkan perlindungan, termasuk di dalamnya adalah perlindungan hukum dalam proses peradilan. Bentuk perlindungan bagi anak dalam proses peradilan adalah upaya untuk melepaskan anak dari proses pengadilan yang berakhir dengan hukuman melalui

Pendekatan restorative justice atau keadilan restorasi sebagai sebuah pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan kepada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkandengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.( Dr. Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, PT. Nasya Expanding Management, Tegal) dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini. Pendekatan restorative justice dalam berbagai asas dan model, yaitu proses dialog antara pelaku dan korban merupakan modal dasar dan bagian terpenting dari penerapan keadilan ini. Dialog langsung antara pelaku dan korban menjadikan korban dapat mengungkapkan apa saja yang dirasakannya, kemudian mengemukakan harapan akan terpenuhinya hak-hak dan keinginan- keinginan dari suatu penyelesaian perkara pidana. Melalui dialog juga pelaku diharapkan tergugah hatinya agar mengoreksi diri, menyadari kesalahannya dan menerima tanggung jawab sebagai konsekuensi dari tindak pidana apa yang telah dilakukannya dengan penuh kesadaran. Dari proses dialog ini pula masyarakat dapat turut serta berpartisipasi dalam mewujudkan hasil kesepakatan dan memantau pelaksanaannya. Maka dari itu pada dasarnya restorative justice atau keadilan restorasi dikenal juga dengan penyelesaian perkara melalui mediasi (mediasi penal). Fruin J.A menyatakan bahwa peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku delinkuensi,sebagimana dikutip Paulus Hadisuprapto (Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya, Malang: Bayumedia Publishing, 2008) anak tidak akan efektif tanpa adanya kerja sama dan keterlibatan dari korban, pelaku serta masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan system peradilan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun