Proporsionalitas
Gagasan fairness di dalam sistem Restorative didasarkan pada consensuspersetujuan yang memberikan pilihan alternatif dalam menyelesaikan masalah, sedangkan pengertian proporsionalitas adalah berkaitan dengan lingkup kesamaan sanksi-sanksi penderitaan yang harus dikenakan pada pelanggar yang melakukan pelanggaran. Dalam peradilan pidana pada umumnya, proporsionalitas dianggap telah terpenuhi bila telah memenuhi suatu perasaan keadilan retributive (keseimbangan timbal balik antara punish dan reward), sedangkan dalam pendekatan Restorative dapat memberlakukan sanksi-sanksi yang tidak sebanding terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran yang sama.(Â Warner,1994, diakses dari http://www.restorativejustice.org
Praduga Tak Bersalah
Dalam peradilan pidana pada umumnya, Negara memiliki beban pembuktian untuk membuktikan kesalahan tersangka. Sejak dan sampai beban pembuktian itu dilakukan, tersangka harus dianggap tidak bersalah. Berbeda halnya dalam proses Restorative, yang mensyaratkan suatu pengakuan bersalah merupakan syarat dilanjutkannya lingkaran penyelesaian.
Hak Bantuan Konsultasi atau Penasehat Hukum
Dalam proses Restorative, advokat atau penasehat hukum memiliki peran yang sangat strategis(berkemampuan) untuk membantu pelanggar hukum dalam melindungi haknya(bantuan penasehat hukum). Dalam semua tahapan informal yang restoratif, tersangka dapat diberi informasi melalui bantuan penasehat hukum mengenai hak dan kewajibannya yang dapat dipergunakan sebagai pertimbangan dalam membuat membuat keputusan. Namun demikian, sekali tersangka memilih untuk berpartisipasi dalam sebuah proses Restorative, ia seharusnya bertindak dan berbicara atas namanya sendiri. Posisi-posisi mereka yang mengizinkan pengacara mewakili partisipanpartisipan dalam semua titik tahapan selama proses Restorative, akan menghancurkan banyak manfaat yang diharapkan dari "perjumpaan" (encounter), seperti komunikasi langsung dan pengungkapan perasaan, danpembuatan keputusan kolektif proaktif. Pengacara juga bisa sangat membantu dalam memberi saran klien-klien mereka tentang hasil yang paling mungkin yang didapatkan dan seharusnya diharapkan.(Â Sudikno, Mertokusumo. (2008). Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty).
- Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana
Penanganan restorative juistice ditingkap kepolisian dapat dilihat di dalam Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perpol) Nomor 08 Tahun 2021 ini mengatur tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, yang akan digunakan sebagai acuan dasar penyelesaian perkara dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana guna dapat memberikan kepastian hukum, sebagaimana diatur tentang penghentian penyelidikan (SPP-Lidik) dan penhentian penyidikan (SP3) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif. Keadilan Restoratif adalah Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula. (Pasal 1 huruf 3)
- Model Pendekatan Restorative Justice
Penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan Restorative tidak akan menjadi suatu realitas yang dapat diimplementasikan jika tidak dapat dibangun atau dikembangkan suatu model struktural dengan paradigma Restorative yang akan menjadi pilihan alternatif dalam sistem hukum pidana. Dalam hal ini ada berbagai macam model sistem pendekatan Restorative yang dijabarkan oleh Van Ness, antara lain
Uniied System
Dalam masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesetaraan dalam hukum melihat hiptesa Christie, yaitu bahwa Negara telah mencuri konflik dari para pihak menjadi suatu pilihan yang dapat member pandangan untuk memvisikan pendekatan Restorative menggantikan peradilan pidana. Untukmengembalikan konflik itu ke "pemiliknya yang berhak, memerlukan suatupendekatan yang benar-benar berbeda dalam mengelola pemberian proses - proses keadilan, yang memungkinkan korban dan pelanggar dapat menentukan sendiri hasil penyelesaian konfliknya tersebut dan Negara tidak memiliki hak mutlak atas konflik yang dimaksud, sehingga berdasar pandangan ini, proses-proses penyelesaian tindak pidana melalui pendekatan Restorative seharusnya dapat menggantikan semua proses dalam sistem peradilan pidana pada umumnya.
Dual Track System