Aku mendengar dengan sayup-sayup teman-temanku sedang mengaji. Semuanya berteriak dengan membaca ayat suci. Aku telah sampai di sebuah pesantren yang tidak begitu jauh dari rumahku.
"Assalamu'alaikum." Ucap ibu sambil mengetuk pintu sebuah ruangan. Ruangan itu adalah madrasah, tempat mengaji anak-anak santri. Pesantren Al-istiqamah sangat besar. Banyak santri dari luar daerahku yang mengaji di pesantren itu. Mulai dari anak kecil yang masuk TKA, anak seusiaku yang sudah termasuk TPA, dan santri remaja atau dewasa. Biasanya santri dewasa menginap di kobong yaitu ruangan yang berbentuk kamar-kamar seperti asrama.
"Wa'alaikumsalam," ucap seorang ustadz diikuti anak-anak didikannya.
Kami dibawa ke sebuah rumah tempat pimpinan pesantren itu tinggal. Ustadz yang bernama Muchsin adalah salah satu pengajar TKA atau TPA di pesantren itu. Setelah ibu membicarakan maksud kedatangan kami, ustadz tersebut membawaku ke tempat yang pertama kali aku dan ibu datangi.
"Nah, teman-teman. Kalian pasti sudah mengenal teman yang satu ini. Dia bernama Akbar. Mulai hari ini dia akan belajar mengaji bersama kita di sini."
Aku tidak segan untuk mengikuti pengajian ini. Sebagian besar siswanya adalah teman bermainku. Rumahnya pun berdekatan dengan rumahku. Sebenarnya mereka selalu mengajak aku untuk mengaji dan belajar agama di tempat ini. Tetapi aku selalu menolaknya sehingga mereka bosan untuk mengajakku kembali. Dan mulai hari ini, aku akan menjadi bagian dari rombongan mereka setiap sore dan malam hari menuju tempat ini.
Aku dan teman-teman mengikuti apa yang diucapkan Ustadz Muchsin. Meskipun aku tidak setiap hari membaca ayat suci tetapi setidaknya aku sudah mengetahuinya. Ibu selalu setia mengajarkanku meskipun sikapku selalu acuh. Setiap huruf aku eja dengan terpaksa, tetapi ibu terus mengajarkannya padaku dengan lembut. Dengan hati riang aku kembali ke rumah setelah mengikuti pengajian itu.
"Assalamu'alaikum." Ucapku untuk pertama kali pulang ke rumah.
"Wa'alaikumsalam. Bagaimana hari pertama kamu mengaji?" sahut ibu langsung bertanya.
"Baik, Bu!" lanjutku sambil mencium telapak tangan ibu.
Ibu tersenyum dengan rasa haru dan gembira. Usaha ibu tidak akan sia-sia selama ini mengajarkanku dengan penuh kasih sayang. Tidak lama kemudian ayah pulang. Ibu menceritakannya. Ayah pun sangat bahagia sekali.