Kedudukan Perempuan Asmat
Ani Sekarningsih mencoba menggambarkan peranan perempuan di dalam suku Asmat itu sendiri. Seorang perempuan dari suku Asmat memang tidak dapat memegang kendali dalam beberapa ritual kepercayaannya. Bahkan pada ritual upacara mbis misalnya, kaum perempuan harus menjauhi rumah adat saat pembuatan patung ambis tersebut. Kaum perempuan Asmat sama sekali tidak mempunyai hak sama sekali. Hal ini dikarenakan sejak awal leluhur suku Asmat ini telah menggariskan, pekerjaan perempuan Asmat itu hanya cukup hanya mengayomi keluarga, melahirkan anak, merawat dan mengasuhnya dan mencari makan yang bagus. Dan biasanya si wanita Asmat tidak diizinkan untuk menuntut ilmu atau bersekolah. Hanya kaum lelaki saja yang boleh menutunt ilmu.
Padahal wanita selalu siap mencerdaskan diri, ia juga mampu memberikan kecerdasan pada anaknya. Intinya hanya kesabaran dan ketekunan menimba pengetahuan-pengetahuan pendukung untuk mendidik. Wanita memang sudah ditakdirkan terlahir sepanjang hidupnya belajar pada setiap perubahan. Wanita akan menikah, punya anak, mendidik anak-anak dan pada saatnya mengawinkan anaknya. Kemudian ia harus bisa menerima status barunya sebagai orang yang ditinggalkan anak-anaknya karena telah berkeluarga. Beradaptasi dengan kesendirinnya karena peran wanita sebagai ibu tidak dibutuhkan lagi dalam sosialisasi keluarga.
Pantangan Wanita Hamil Asmat
Bagi seorang wanita Asmat yang sedang mengandung, mereka tidak diperbolehkan sembarangan emamakan ikan. Hal ini dikarenakan para leluhur juga tidak sembarangan memakan ikan ketika hamil. Perempuan hamil akan dilarang memakan ikan sembilang, ikan kakap batu, ikan pari, ikan gergaji dan pengewang yang dikenal sebagai penunggu air. Padahal sebenarnya seorang wanita yang sedang hamil diharuskan banyak makan ikan agar anaknya kelak menjadi cerdas.
Kesimpulan
      dalam kehidupan suku Asmat yang dijadikan inspirasi oleh Ani Sekarningsih sebagai ide cerita dalam novel Namaku Teweraut. Si pengarang menciptakan tokoh Teweraut yaitu seorang anak perempuan Asmat yang dilahirkan dengan impian mewujudkan pendidikan perempuan Asmat yang lebih baik lagi. Namun saying sekali, sebelum impian mewujudkan suku Asmat menjadi lebih baik lewat pendidikannya, ia harus meninggal tanpa sempat melahirkan anaknya.
Tradisi kehidupan romantis masyarakat Asmat, belenggu kekentalan budaya dengan peran adat yang dikuasai kaum lelaki, sungguh luar biasa. Jalinan kisahnya mengantarkan potongan-potongan mozaik yang otentik dan berani. Sebagai bacaan orang dewasa yang jujur, lugu tanpa kehilangan kebuasan birahi! Diramu dengan babak-babak ritual yang selama ini terkesan magis, tertutup, namun menggetarkan.
Ketika gempuran 'kemajuan' datang, kesadaran terbangun dan mencari jatidiri baru, namun ternyata para pelakunya terhempas ke dalam ketidak-berdayaan, khususnya saat menyaksikan praktek pembangunan 'modern' yang terpola dari atas, infrastruktur yang mengenaskan, komunikasi searah yang mengabaikan kebijaksanaan para leluhur mereka.
Dalam keseluruhan alurnya, roman ini mau mengatakan, betapa berat perjuangan seorang 'perempuan dari komunitas adat terpencil' dalam upaya meningkatkan pendidikan kaumnya. Dan betapa terjal jalan itu. Menuntut ketabahan dan pengorbanan. Dan Nama perempuan itu: Teweraut.Â
Setelah kita membaca Namaku Teweraut kita akan mengetahui bagaimana gambaran suku Asmat sebenarnya. Orang Asmat memiliki kepribadian yang teguh. Percaya diri. Perkasa. Kesederhanaan tidak membuatnya rendah diri hingga membatasi ruang gerak mereka sendiri. Mereka tampil apa adanya dengan penuh harga diri dan perasaan bangga. Semangat dan gairah mereka telah menjadi satu ungkapan yang nyata sebagai bangsa yang besar penuh percaya diri saat mereka membaur di tengah gemuruh kemajuan teknologi dan informasi.