Pendahuluan
Nama Teweraut karya Ani Sekarningsih yang diterbitkan di Jakarta tahun 2000 lalu ini ditulis oleh Ani Sekarningsih CTGM, seorang ahli baca tarot dan kartu Lenormand terkemuka saat ini di Indonesia. Ia seorang otodidak yang mempunyai hobi baca, motret dan melanglang dunia sampai ke pedalaman suku terasing di Irian Jaya. Ani termasuk salah satu pendiri Yayasan Kemajuan dan Pengembangan Asmat yang tetap aktif mencermati pendidikan TK di empat kercamatan Asmat dan SMU di Agats - Asmat, sejak 1986. Sehubungan kegiatan tersebut ia memperoleh penghargaan "Anugrah Citra Kartini 2000".
Kehadiran novel Namaku Teweraut ini menggunakan setting budaya suku  terpencil Asmat di Irian Jaya. Ani Sekarningsinh menceritakan bagaimana roman yang mengulas tentang realitas imajiner dan kenyataan sehari-hari dibaurkan dalam sebuah wisata rohani ke dunia setengah primitif dan dunia super-modern. Petualangan ini dianyam dalam sederet informasi yang sangat menarik. Dalam keseluruhan alurnya, roman ini ingin mengatakan betapa berat perjuangan seorang perempuan dari komunitas adat terpencil dalam upaya meningkatkan pendidikan kaumnya. Perempuan itu bernama Teweraut.
Pengarang juga menceritakan bahwa Suku Asmat adalah salah satu suku di Papua yang terkenal di dunia karena apa yang pernah dipraktekkan di masa lalu sebagai suku yang suka memenggal kepala musuh dan juga karena keunikan ide mereka dan keindahan desain yang mereka miliki dalam ukiran kayu.
Novel Namaku Teweraut ini merupakan realitas imajiner dan kenyataan sehari-hari kehidupan suku Asmat yang kemudian dibaurkan dalam sebilah wisata rohani ke dunia setengah primitif dan dunia super-modern. Petualangan di dua dunia itu dianyam dalam sederet informasi yang sangat menarik.
Secara historis, masalah yang dikemukan dalam Namaku Teweraut ini adalah pergulatan politik, gender, ritual-ritual keagamaan yang terdapat dalam suku Asmat. Pergulatan politik untuk memperoleh legitimasi dari publik dan ritual-ritual kepercayaan yang masih dilakukan oleh suku Asmat sampai saat ini juga memiliki nilai magis tersendiri. Kemudian penggambaran gender perempuan yang tidak berhak mengambil keputusan dan tidak memegang peranan penting dalam ritual-ritual  pada suku Asmat.
Membaca novel ini tidak jelas apakah novel ini sebagai karya sastra atau reportase dari pengarang sudah berpengalaman ke pedalaman suku Asmat di Agats. Bahkan bisa dibilang bahwa Namaku Teweraut ini merupakan sebuah roman antropologi dari rimba-rawa suku Asmat di Irian Jaya. Novel ini menghadirkan secara gamblang dan akrab bagaimana kehidupan masyarakat suku Asmat sekarang ini.
Sesuai dengan tujuan di atas, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi sastra. pendekatan ini digunakan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada dalam karya sastra dengan lingkungannya. Karena novel ini merupakan representative dari yang ada dalam masyarakat Asmat, Irian Jaya. Pendekatan sosilogi sastra memandang karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya. Artinya, di dalam karya sastra itu kita temukan hal-hal yang ada dalam kenyataan pada masa tertentu.
Pendekatan Sosiologis Sastra
Pandangan Wolf (Farauk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang gak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.
Sebuah karya sastra merupakan satu kesatuan yang memiliki berbagai aspek atau pendukung untuk mengukuhkan karya itu menarik untuk dibaca. Sehingga pengaruh dari sosiologis yang muncul bukan hanya dari si pengarang, akan tetapi dari isi karya dan karyanya juga dapat memberikan nilai kebenaran yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.Â
Karena pada kenyataannya, sosiologi sastra merupakan penelitian yang terfokus pada masalah manusia (Suwardi, 2003: 79). Yang di dalamnya memaparkan perjuangan manusia dalam menghadapi kehidupan. Dengan demikian kehidupan manusia tidak akan terlepas dari teks sastra, karena posisi sosiologinya sangat penting untuk mewarnai sebuah karya sastra.
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Karena penelitian sosilogi sastra menekankan dan melihat karya sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Penelitian sosiologi sastra melihat adanya hubungan antara pengarang dengan kehidupan sosialnya. Baik dalam bentuk dan isi karya sastra yang akan terbentuk oleh lingkungan dan kekuatan social pada masa tertentu. Dalam hal ini teks sastra dilihat sebagai sebuah pantulan zaman dan ia menjadi saksi zaman.
Sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia. Karena sastra sering mengungkapkan perjuangan manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.
Pada prinsipnya, menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: (1) penelitian yang memandang sebuah karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Hal inilah yang menjadi acuan di mana sosiologis sastra bisa menjadi kajian yang memuat dari berbagai sudut pandang yang benar-benar telah memberikan wadah menjadi karya yang baik.
Secara kesejarahannya, sosiologi sastra sudah berkembang di dunia Barat sebagai kajian yang paling dominan beriringan dengan munculnya pendekatan strukturalisme yang kemudian menimpa pendekatan sosiologi sastra sehingga terlupakan. Namun, tatkala sosiologi merupakan lahan penelitian yang tak pernah lepas dari sastra karena mengandung hubugan hakiki antara karya sastra dengan masyarakt.Â
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: (a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, (b) pengarang sendiri itu adalah anggota masyarakat, (c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan (d) karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Nyoman, 2004: 60). Dengan demikian hubungan timbal balik antara pengarang dan masyarakat menentukan keadaan karya sastra dalam memperoleh hasil yang baik dalam masyarakat.
Hubungan sastra dengan sosiologi menjadi keterpaduan dan memperkaya kajian untuk bisa menilai karya sastra. Rene Wellek dan Austin Waren dalam bukunya 'Teori Kesustraan' menjelaskan bahwa penelitian dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukan sastra dalam masyarakat. Hal-hal yang dapat dikaji dalam pendektan sosiologi sastra adalah:
Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Yang menyangkut masalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang, dan ideologi pengarang  sehingga mempengaruhi karyanya.
Isi karya sastra, tujuan, serta hal lain yang ada dalam karya sastranya.
Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.
Ketiga masalah di atas menjadi objek kajian dalam menilai karya sastra, karena antara pengarang, karya sastra, dan pembaca menjadi keterpaduan yang saling berhubungan dan tidak mungkin terlepas dari konteks pengkajian karya sastra.Â
Dengan demikian, Wellek dan Waren memebrikan tiga hal itu agar bisa memperoleh pemahaman tentang pendekatan sosiologi sastra dengan mudah. Sehingga dalam makalah ini objek pengkajian sosilogi sastra menggunakan teori yang diungkapkan oleh Rene Wellek dan Austin Warren. Akan tetapi dalam makalah ini pengkajian objek sosiologi sastranya hanya berdasarkan sosiologi isi karya sastra.
Sinopsis Namaku Teweraut
Teweraut yang berarti Anggrek Cantik ini dilahirkan Endew di bawah pohon Bintang dan mendapat titisan roh Teweraut menurut nDamero sehingga diberi nama Teweraut. Ketika Endew melahirkan Teweraut, nDiwi berminggu-minggu menjauhi Endew karena tabu bagi seorang suami berada di dekat istrinya sewaktu proses persalinan dan masa nifas, yang dapat mengundang bencana bagi dirinya pabila dilanggar. Ketika nDiwi pergi ke ceserasen untuk memohon pada para leluhur bagi keselamatan Endew dan hendaknya juga dititiskan ndat yuwus (roh) yang baik untuk anak yang akan dilahirkan Endew.
Teweraut tinggal di rumah sederhana. Ndiwiku namanya nDesman yang memiliki istri dua. Teweraut sendiri adalah anak ketiga dari lima orang bersaudara dari istri kedua. Endewku sangat mengerti keinginanku untuk mendapatkan pendidikan yang dianggap tidak penting bagi banyak orang di Asmat. Karena perjuangan Endewlah akhirnya Teweraut dapat bersekolah di kota, yaitu Sekolah Kesejahteraan Keluarga. Â Namun itupun Teweraut tidak sampai selesai sekolah karena ada beberapa faktor penghambat lainnya.
Teweraut akhirnya menikah dengan seorang panglima perang dari desa tetangga bernama Akatpits. Akatpits ini sudah memiliki enam orang istri. Karena alasan itulah sebenarnya Teweraut menolak untuk menikah dengannya. Namun apa daya Teweraut tidak bisa menolak permintaan kedua orangtuanya untuk menikah dengan Akatpits.
Suatu ketika di Asmat kedatangan beberapa orang pendatang dari Jakarta yang mencari beberapa orang penari untuk berkreasi di Jakarta dan Luar Negeri. Mama Rin adalah salah satu dari rombongan pendatang itu. Teweraut sangat dekat dengan mama Rin. Ia sangat menyukai mama Rin. Sampai akhirnya Teweraut dan Akatpits beserta beberapa orang Asmat lainnya dapat ikut rombongannya Mama Rin untuk dapat menari di Jakarta dan Luar Negeri.Â
Dalam perjalanan mereka selama di Jakarta merupakan pengalaman yang luar biasa yang dialami setiap orang Asmat yang ikut. Apalagi ketika rombongan orang-orang Asmat harus menari di depan orang banyak di Luar Negeri seperti Inggris dan Amerika. Hampir selama 4 bulan mereka berkeliling menari dan ditonton banyak orang. Dan tentunya banyak kejadian unik yang terjadi dalam perjalanan panjang itu.Â
Apalagi ketika rombongan pulang ke kampung halaman mereka di Asmat. Begitu banyak oleh-oleh yang dibawa rombongan itu untuk sanak saudara yang ada di kampungnya. Rasa senang pun bercampur ketika mereka pulang ke kampung.
Tak beberapa setelah pulang dari Luar Negeri, Teweraut akhirnya hamil. Kemudian untuk mendapatkan uang Akatpits harus pergi merantau ke Merauke. Ia bekerja sebagai pekerja di pelabuhan yang ada di Merauke.Â
Sudah berbulan-bulan Akatpits tidak pulang ke kampungnya. Apalagi Teweraut sudah sangat kangen dan khawatir karena sudah waktunya Akatpits pergi ke dalam hutan para leluhur untuk memohon ke pada para leluhur untuk keselamatan Teweraut saat melahirkan dan agar dititisi roh yang baik untuk anaknya kelak.Â
Namun ada berita yang mengejutkan datang dari Merauke, mereka mengatakan bahwa Akatpits mengalami kecelakaan di pelabuhan di Merauke saat bekerja dan meninggal dunia di rumah sakit. Mendengar kabar itu Teweraut sangat sedih sekali, padahal tinggal beberapa hari lagi dirinya akan melahirkan.
Setelah beberapa hari akhirnya sudah tiba Teweraut melahirkan anaknya, namun ternyata ia mengalami kesulitan untuk melahirkan anaknya. Sehingga ia harus meninggal tanpa sempat melahirkan anak dari pernikahannya dengan Akatpits. Hampir semua orang bersedih dengan kematian Teweraut dengan calon anaknya. Bahkan nDesman, ayah Teweraut mengurung diri di rumah adat karena menyesal menikahkan anaknya dengan Akatpits. Dua bulan kemudian nDesman menyusul kematian putrid kesayangannya, Teweraut.
Analisis Namaku Teweraut sebagai Cerminan Masyarakat Asmat
Setelah kita membaca novel namaku Teweraut karangan Ani Sekarningsih ini, kita akan mengetahui bagaimana sebenarnya gambar kehidupan suku Asmat di Irian Jaya. Ternyata ada banyak sekali kehidupan suku Asmat yang dijadikan objek oleh Ani Sekarningsih dalam novel namaku Teweraut ini. Banyak sekali penggambaran ritual-ritual yang terdapat pada suku Asmat dan menghiasi di dalam novel ini, antara lain:
Ritual Kelahiran Anak
Suku Asmat memiliki ritual unik saat proses kelahiran anak. Sebelum proses persalinan, nDiwi berminggu-minggu menjauhi Endew, karena dinilai tabu seorang suami berada dekat istrinya sewaktu persalinan dan masa nifas, yang dapat mengundang bencana bagi dirinya apabila dilanggar.Â
Nantinya nDiwi akan pergi ke ceserasen, yaitu sepetak hutan yang dikeramatkan, untuk memohon kepada leluhur bagi keselamatan Endew, dan agar anak yang dilahirkan mendapat titisan ndat yumus (roh) yang baik. Nantinya anak yang dilahirkan dilarang meminum air, pantang memakan buah, binatang buruan atau ikan jenis tertentu yang berada di dekat ceserasen.
Setelah beberapa hari bayi itu dilahirkan, Endew akan menyerahkan bayinya ke dalam pengamatan nDamero, seorang dukun yang berhubungan dengan dunia para leluhur. Saat itu akan dilakukan prosesi ritual dorwet, yakni pemberian nama bagi bayi berdasarkan suatu kejadian saat itu.
Riatual Pesta mBis
Dalam ritual upacara mbis ini, panglima perang suku akan mengundang para lelaki untuk mengawali pesta besar tersebut. Mereka masing-masing serempak menghias diri dengan kapur, tanah merah dan jelaga serta mengenakan pakaian kebesaran prajurit. Selanjutnya, perahu-perahu dikapuru dan dihias. Kemudian bunyi tiupan lokan dan bumbung bamboo mengantarkan para lelaki berangkat ke hutan untuk menetapkan batang taou yang akan dijadikan patung tonggak leluhur.
Tanpa henti orang memukul-mukul gendering, menari, menyanyi daiso (nyanyian keramat, berupa rintihan kehilangan) membaur dengan lengkingan alat tiup yang menyayat-nyayat langit. Nyanyian daiso mengandung tenaga gaib. Setelah para lelaki pergi ke hutan. Di bawah pimpinan casema cowut, wanita tua yang menguasai ilmu perang dan hokum adat inilah acara menabuh gendering dan menari diteruskan sampai para leluhur pulang.
Sementara itu para lelaki yang pergi ke hutan, dibagi menjadi 3 kelompok. Sebagian berburu dan mencari daun-daun sagu muda untuk dihiaskan pada batang pohon calon patung mbis yang telah disepakati bersama.Â
Sesudah itu mereka mensucikan batang tou tersebut. Kelompok ketiga tetap tinggal mengawasi perahu. Selesai menghias, batang tou mereka pergi menuju "dusun sagu". Menebang sebanyak-banyaknya batang yang guna menternakkan ulat, lalu membuat lubang-lubang dan memasukkan bulu ketiak dan "semak-semak bagian tubuh yang sacral" sebagai bahan bagi guna merangsang tumbuhnya ulat-ulat sagu.
Sekelompok orang bersama keluarga menjadi dusun sagu. Termasuk di dalamnya keluarga korban yang berhajat, dan bertanggung jawab mengawasi serta menyiapkan keperluan sagu dalam berlangsungnya pembuatan patung mbis. Mereka yang pergi kemudian mendandani pohon dengan pucuk daun-daun sagu dan daun rotan lalu memercikkan kapur dari sebuah bumbung bamboo.Â
Disambut sorak-sorai para pengikut lainnya, batang tou pun ditebang. Orang yang pertama menebang adalah panglima perang yang diikuti oleh sebagian para lelaki secara bergantian. Sepanjang mendayung pulang ke perkampungan mereka mengumandangkan nyanyian daiso lain disertai tarian sehingga menimbulkan gelombang dan perahu oleng semakin membuat seru suasana.
Mereka pun disambut meriah. Ketika perahu mendekat, para lelaki bermain perang-perang dan saling melukai dan diikuti beberapa wanita yang berusaha menjadi barisan benteng mempertahankan kampung. Upacara pengukiran cemen merupakan tahap awal atau pegerjaan diikuti upacara berburu babi serta mengundang para wanita santap bersama di dalam jew.Â
Sejak upacara tinau basakam, yaitu upacara awal pengukiran mbis, dengan menentukan bagian-bagian kepala patung yang akan diukir. Menjelang tahap penyelesaian, mereka berangkat lagi untuk berburu dan mengumpulkan ulat sagu serta membungkusnya dengan daun tawasbirin. Namun orang masih menabuh genderang dan menari tidak henti.Â
Bagi para warga yang telah menikah, mereka melakukan hubungan intim dengan jalan pertukaran istri diantara para sahabat, hal ini sebagai upacara suci bertukar pasangan yang diadakan dalam batas-batas tertentu. Dan hanya bersifat suci dan rahasia, tentunya dengan aturan tertentu.
Pesta upacara mbis dilaksanakan di rumah adat. Sebelumnya rumah adat diperbaiki terlebih dahulu. Di dekat api utama nantinya akan ditempati tokoh-tokoh tua panglima panah, tetua adat dan pemangku hokum adat untuk bermusyawarah. Di atas api utama terdapat para-para penyimpan benda-benda yang dikeramatkan, seperti tengkorak-tengkorak hias para panglima perang, dowukus yakni tengkorang-tengkorak prajurit musih. Selain itu pakaian roh, perahu arwah, genderang, tombak dan perisai-perisai milik panglima perang yang keramat juga disimpan. Ada juga beberapa an baru, wadah yang terbuat dari sematan pelepah nipah. Pada saat acara akhir nanti an digunakan sebagai wadah ulat-ulat sagu sebagai suguhan utama.
Dibelakang barisan terdapat ruang tempat penyimpanan patung mbis selama pembuatannya. Akan tetapi tabu bagi para wanita dan anak-anak untuk mendekati rumah adat selama pembuatan mbis sampai hari puncak. Pada puncak acara sebuah para-para terbuat dari batang dolken disiapkan orang di depan halaman jew. Mbis dibawa keluar disertai ratapan kehilangan. Setelah itu orang menari disertai deburan pukulan tifa. Kemudian mbis disandarkan pada penopangnya di depan rumah adat. Masyarakat juga percaya jika patung mbis terukir sempurna memberi pertanda si empunya hajat bakal memperoleh kebahagian.
Dongeng Asal Usul Upacara mBis
Versi pertama cerita asal usul upacara mbis:
Mbis adalah wanita yang memiliki tubuh sintal, sesubur dan sepadat induk sagu yang sarat pati. Matanya secemerlang bintang malam, suaranya halus. Ia dikawinkan dengan lelaki pencemburu  bernama Dawer, yang tidak memberinya kebebasab bergerak. Bahkan kepada semua orang dan keluarganya, mbis tidak diizinkan melihatnya.Â
Sampai suatu hari ketika Dawer pergi berburu, mbis dibawa ayahnya yang merasa kasihan melihat anaknya menjadi kurus dan tidak terawat. Mbis disuruh pergi naik perahu ke hutan.Â
Sampai suatu hari mbis bertemu dengan Pupurpits, jodohnya. Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia. Pupurpits adalah seorang pengukir handal. Suatu saat Pupurpits ingin sekali mengabadikan kecantikan mbis baik lahir maupun budi pekertinya lewat sebuah patung. Berbulan-bulan kemudian ia mengukir pada sebatang tou yang besar. Namun setelah selesai patung terukir, mendadak mbis pun meninggal tapi arwahnya menjadi abadi menitis dalam patung itu.
Versi kedua cerita asal usul upacara mbis:
Dahulu kala, nun jauh di hulu sungai Sirets tinggal sepasang suami istri di Sitan, yaitu Beworpits dan Teweraut yang hidup makmur. Sementara itu di muara sungan Sirets hidup kakak adik bernama Seitakap dan Tawer. Seitakap sebagai seorang pengembara yang murah hati dan suka menolong sesama. Namun Tawer sering menasehati agar terlalu berlebihan menolong orang yang dilanda kesusahan.Â
Pada suatu hari Beworpits pergi berburu. Tetapi tak seekor pun binatang buruan dijumpainya, sampai ia bertemu dengan dua bersaudara itu. Akhirnya terjadi perkelahian dan Beworpits memenggal kepala dan tubuh Seitakap, sementara itu Tawer lari ke dalam hutan. Ketika Beworpits pulang ia disambut istrinya dengan tebaran kapur dari bumbung bamboo, sebagai penyataan gembira karena Beworpits pulang membawa daging yang banyak. Akhirnya mereka makan bersama sambil menabuh em atau genderang dan menari. Sisa tulang belukang kemudian dilempar ke dalam tungku api. Kemudian Beworpits mendengar permintaan roh Seitakap yang dibunuhnya.Â
Roh Seitakap minta dibuatkan sebuah patung mbis yang disertakan sebuah nyanyian daiso, yaitu nyanyian keramat yang iramanya memilukan, memuat kerinduan dan dinyanyikan selama pembuatan patung mbis tersebut. Konon para leluhur berjanji akan menjamin kesejahteraan dan kebahagian bagi setiap mereka yang mengabadikan orang-orang yang meninggal dalam bentuk patung mbis. Sejak saat itu Beworpits membuat patung mbis dan dirangkaikan dengan nyanyian daiso dan sejak saat itulah upacara mbis kemudian diikuti masyarakat Asmat hingga kini.
Ritual Perkawinan Suku Asmat
Ritual pada perkawinan suku Asmat pertama dilakukan oleh pihak laki-laki yang telah mengumumkan secara resmi rencana pernikahan yang dianggap dapat mengeratkan hubungan antar kampung. Lalu diadakan awaipetei, yakni pertukaran makanan antara kedua besan pengantin. Si wanita yang akan menikah akan sibuk menganyam ese atau noken, tapin. Dan keluarga akan membawa awer baru untuk anak gadisnya itu, juga tak lupa an baru yang dirangkaikan menggunakan bulu-bulu kasuari. Setelah itu Endew akan memeriksa awer baru.Â
Awer yang terbuat dari daun-daun muda putih kehijauan. Bulu-bulu cenderawasih dan bulu bangau memenuhi bagian penutup kepala. Bagian dada ditutp anyaman daun sagu dengan rumbai-rumbai bulu kasuari yang padat, menyembunyikan bukit-bukit yang masih ranum dan tidak terlalu besar. Enam buah kalung gigi anjing dengan bandulan taring-taring babi yang besar kekuningan menghiasi leher pengantin wanita.
Deburan pukulan genderang dari rumah mempelai pria berdentam tatkala rombongan wanita mendekati rumah keluarga pria. Kemudian berlangsung upacara seyborouw yang dihadiri kerabat dekat dari pihak wanita dan pria serta dari pihak istri-istrinya terdahulu. Kemudian nDiwi meratap dalam bentuk nyanyian weseyen. Akhirnya pengantin lelaki datang dengan berpakaian lengkap dan ditemani seorang lelaki dari rumah adat untuk menjadi berlangsungnya upacara. Ia lalu mendekati nDiwi dan mencoretkan pola-pola hias pada bagian tubuhnya dengan tanah merah. Baru menyusul upacara okonbi, yakni menggambari pola tertentu dengan tepung sagu jelaga. Kemudian si pria akan menghadiahi perempuannya dengan barang-barang yang menentukan martabat leluhurnya pengantin pria.
Kemudian kedua pengantin duduk berdekatan. Saatnya kakaku mengucapkan beberapa kata sebagai petuah setelah itu pengantin wanita secara sah menjadi seorang istri. Selanjutnya pengantin wanita akan menjalani upacara amas aminn, yakni membakar dan membagikan bola-bola sagu. Pertama kedua pengantin saling menyuapi, lalu saling menggosokkan dahi pasangannya sebagai pernyataan cinta. Baru menyuapi orang tua dan keluarga yang hadir. Keesokkan harinya pihak keluarga laki-laki akan menguji keterampilan memangkur wanita.
Ritual nDat Pokmbu
Ritual nDat Pokmbu merupakan upacara mengundang arwah leluhur sehubungan dengan merajarelanya wadah penyakit yang merenggut banyak korban jiwa. Biasanya nama-nama orang yang meninggal dan semasa hidupnya berpengaruh umumnya diabadikan dalam upacara ritual dengan mengundang arwahnya. Hal ini dimaksudkan agar tidak lain untuk menghidupkan kembali keseimbangan sendi-sendi nafas kehidupan dengan cara menghadirkannya kembali mereka yang sudah bersifat semesta.
Ritual Kematian
Sesuai tradisi yang berlaku di suku Asmat, wanita yang meninggal bersama bayi dalam kandungannya akan segera ditempatkan di bawah pohon cu di hutan keramat. Nantinya tokoh-tokoh tua nDamero, cesmbub dan inampits akan langsung memerintahkan orang-orang muda berangkat bersama-sama menyiapkan sebuah dangau. Nantinya jenazah wanita itu akan didudukkan di bawah dangau yang segera akan dibuat orang sebagai tempat tinggalnya.
Sementara itu keluarga yang ditinggalkan akan mencukur halus kepala mereka dan membalurkan seluruh tubuh mereka dengan Lumpur setebal-tebalnya. Wajah mereka disembunyikan ke dalam semacam topi-topi yang terbuat dari daun pandan besar agar roh-roh gentayangan yang ingin berbuat jahil tidak mengenai mereka lagi.
Jenazah akan didandani lengkap dengan perhiasan-perhiasan,lalu dibaringkan di atas sehelai tapi yang telah digunakan semasa hidupnya. Semua perhiasaan, alat pakai, yang pernah digunakannya diiukutkan dalam upacara pemakaman tersebut. Termasuk sejumlah sagu dan hasil menjaring lannya. Selama jasadnya belum hancur, setiap laki-laki di kampung tabu berada di luar rumah untuk bertandang atau berpergian setelah matahari tergelincir dengan beberbagai macam alasan. Ada kekhawatiran kalau arwah jenazah yang meninggal akan mencari teman dan mengajaknya serta ke dunia para arwah. Nantinya para kerabat dekat almarhum harus selalu menengok ke dangau, serta mengantarkan sesaji berupa sagu dan ikan kesenangan almahum, sekaligus memantau proses pembusukan jenazahnya.
Orang Asmat Percaya Ritual
Sebagai makhluk insani, orang Asmat belajar dari setiap kejadiandi alam sekitarnya, bahwa Sang Maha Pencipta telah melengkapi sarana untuk mempertahankan hidup sebagaimana hewan dengan nalurinya, tumbuhan dengan bijinya. Duri atau racun sekalipun merupakan benteng pertahanan, begitu pula manusia bertahan dengan akal budinya.Â
Manusia tidak dapat mengalahkan kematian. Itu sebabnya mengapa kemudian orang Asmat amat tergantung pada kekuatan gaib, pada roh para leluhurnya melalui serangkaian upacara ritual dan mantra-mantra sebagai ungkapan permohonan kesuburan, kesejahteraan, keamanan, kemujuran dan kebahagian. Keyakinan pada religi ini sangat memegang peran penting dalam memotivasi kehadiran seni ukir Asmat pada umumnya. Benda-benda ukir itu merupakan alat pemujaan pada arwah nenek moyang yang bersifat universal.
Nampak pula mengakarnya hubungan system kepercayaan tradisional yang murni sebagai salah satu unsure kebudayaan dengan tatanan social masyarakatnya. Sekalipun suku Asmat telah diperkenalkan dengan agama Kristen, dengan lambing salibnya, Hindu dan Budha dengan arcanya. Bahkan Islam sangat percaya pada tenaga kata. Orang Asmat misalnya saja percaya bahwa ritual papisy itu selalu diawasi seekor ular raksaksa dengan cara mencium kaki para pelanggar ketentuan adat. Apabila dilanggar tanpa ampun ular itu akan melahap orang yang membangkang.
Orang Asmat sangat cermat mempelajari siklus kehidupan alam. Sehingga nantinya akan tercipta bentuk-bentuk upacara ritual. Hal ini tidak lain karena di dorong oleh sikap hormatnya pada daya kekuatan tersembunyi yang mengendalikankehadiran pohon-pohon, margasatwa, makhluk-makhluk di air dan udara.Â
Kedudukan Perempuan Asmat
Ani Sekarningsih mencoba menggambarkan peranan perempuan di dalam suku Asmat itu sendiri. Seorang perempuan dari suku Asmat memang tidak dapat memegang kendali dalam beberapa ritual kepercayaannya. Bahkan pada ritual upacara mbis misalnya, kaum perempuan harus menjauhi rumah adat saat pembuatan patung ambis tersebut. Kaum perempuan Asmat sama sekali tidak mempunyai hak sama sekali. Hal ini dikarenakan sejak awal leluhur suku Asmat ini telah menggariskan, pekerjaan perempuan Asmat itu hanya cukup hanya mengayomi keluarga, melahirkan anak, merawat dan mengasuhnya dan mencari makan yang bagus. Dan biasanya si wanita Asmat tidak diizinkan untuk menuntut ilmu atau bersekolah. Hanya kaum lelaki saja yang boleh menutunt ilmu.
Padahal wanita selalu siap mencerdaskan diri, ia juga mampu memberikan kecerdasan pada anaknya. Intinya hanya kesabaran dan ketekunan menimba pengetahuan-pengetahuan pendukung untuk mendidik. Wanita memang sudah ditakdirkan terlahir sepanjang hidupnya belajar pada setiap perubahan. Wanita akan menikah, punya anak, mendidik anak-anak dan pada saatnya mengawinkan anaknya. Kemudian ia harus bisa menerima status barunya sebagai orang yang ditinggalkan anak-anaknya karena telah berkeluarga. Beradaptasi dengan kesendirinnya karena peran wanita sebagai ibu tidak dibutuhkan lagi dalam sosialisasi keluarga.
Pantangan Wanita Hamil Asmat
Bagi seorang wanita Asmat yang sedang mengandung, mereka tidak diperbolehkan sembarangan emamakan ikan. Hal ini dikarenakan para leluhur juga tidak sembarangan memakan ikan ketika hamil. Perempuan hamil akan dilarang memakan ikan sembilang, ikan kakap batu, ikan pari, ikan gergaji dan pengewang yang dikenal sebagai penunggu air. Padahal sebenarnya seorang wanita yang sedang hamil diharuskan banyak makan ikan agar anaknya kelak menjadi cerdas.
Kesimpulan
      dalam kehidupan suku Asmat yang dijadikan inspirasi oleh Ani Sekarningsih sebagai ide cerita dalam novel Namaku Teweraut. Si pengarang menciptakan tokoh Teweraut yaitu seorang anak perempuan Asmat yang dilahirkan dengan impian mewujudkan pendidikan perempuan Asmat yang lebih baik lagi. Namun saying sekali, sebelum impian mewujudkan suku Asmat menjadi lebih baik lewat pendidikannya, ia harus meninggal tanpa sempat melahirkan anaknya.
Tradisi kehidupan romantis masyarakat Asmat, belenggu kekentalan budaya dengan peran adat yang dikuasai kaum lelaki, sungguh luar biasa. Jalinan kisahnya mengantarkan potongan-potongan mozaik yang otentik dan berani. Sebagai bacaan orang dewasa yang jujur, lugu tanpa kehilangan kebuasan birahi! Diramu dengan babak-babak ritual yang selama ini terkesan magis, tertutup, namun menggetarkan.
Ketika gempuran 'kemajuan' datang, kesadaran terbangun dan mencari jatidiri baru, namun ternyata para pelakunya terhempas ke dalam ketidak-berdayaan, khususnya saat menyaksikan praktek pembangunan 'modern' yang terpola dari atas, infrastruktur yang mengenaskan, komunikasi searah yang mengabaikan kebijaksanaan para leluhur mereka.
Dalam keseluruhan alurnya, roman ini mau mengatakan, betapa berat perjuangan seorang 'perempuan dari komunitas adat terpencil' dalam upaya meningkatkan pendidikan kaumnya. Dan betapa terjal jalan itu. Menuntut ketabahan dan pengorbanan. Dan Nama perempuan itu: Teweraut.Â
Setelah kita membaca Namaku Teweraut kita akan mengetahui bagaimana gambaran suku Asmat sebenarnya. Orang Asmat memiliki kepribadian yang teguh. Percaya diri. Perkasa. Kesederhanaan tidak membuatnya rendah diri hingga membatasi ruang gerak mereka sendiri. Mereka tampil apa adanya dengan penuh harga diri dan perasaan bangga. Semangat dan gairah mereka telah menjadi satu ungkapan yang nyata sebagai bangsa yang besar penuh percaya diri saat mereka membaur di tengah gemuruh kemajuan teknologi dan informasi.
Dari pendekatan sosiologis yang diterapkan dalam Namaku Teweraut ini, bisa dikatakan fungsi dari pendekatan sosilogis sastra ini berhasil. Hal ini dikarenakan bahwa hampir seluruh isi dari novel Namaku Teweraut ini dipengaruhi oleh norma-norma kehidupan yang terdapat di dapat suku Asmat di pedalaman Agats, Irian Jaya.Â
Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa ritual-ritual yang dimunculkan dalam Namaku Teweraut ini memang ritual sebenarnya yang terdapat pada suku Asmat. Dan ditambah lagi bahwa keterlibatan pengarang sendiri, yaitu Ani Sekarningsih yang memiliki pengalaman berada dan beradaptasi dengan suku Asmat di Agats. Bahkan sekarang ini ia terlibat langsung dengan kemajuan pendidikan yang ada di Asmat.
Daftar Pustaka
Luxemburg, Jan van. Pengantar Ilmu Sastra. 1989. PT. Gramedia: Jakarta.
Ratna, Nyoman Kutha Prof. Dr. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (dari   Strukturalisme hingga Postrukturalisme). 2004. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Sekarningsih, Ani. Namaku Teweraut. 2000. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H