Kunaikkan kerah kaos menutupi leher. Lalu kupalingkan wajah yang terasa agak panas. Untuk apa dia mengamatiku sedemikian? Apa pentingnya hal-hal kecil itu?Â
"Bagiku wanita yang seperti itu menarik."
"Apa?!" tanggapku heran.
Berani sekali dia bicara begitu padahal baru saja bertemu.Â
Kutatap wajahnya. Sebuah tatapan lembut terhampar di depanku. Jantungku berdetak cepat. Kupalingkan wajah. Jangan sampai ia melihat wajahku memerah.
"Riyanti, ayo sini!"
Seorang teman memanggilku. Aku segera pergi. Kutinggalkan Bayu. Jangan sampai keadaan memburuk.
---
"Ibu sudah ingin menimang cucu."
Sebuah kalimat pendek yang bagiku serupa hantaman palu di dada. Apalagi itu diucapkan ibu. Ibu, yang tahu benar keadaanku. Namun tetap ibu ucapkan saat aku pulang berlibur tahun ini.Â
"Keluar dari kelompok tari itu. Kelompok itu membuatmu lupa diri. Kembalilah pada dirimu yang dulu."
Ibu melanjutkan pembicaraan. Bukan. Bukan pembicaraan. Tepatnya perintah. Karena aku tak diberi kesempatan bicara. Toh aku sudah berkali-kali menjelaskan bukan teman-teman tari yang membuatku seperti ini.Â