"Lelaki itu kasar-kasar. Aku tak suka. Teman-teman lelakiku kasar. Bapak juga kasar."
Ibu terdiam. Bapak memang kasar. Tak hanya kasar lisan. Bapak juga kasar laku. Aku masih mampu menahan diri jika lisan dan laku kasar itu ditujukan padaku. Tapi jika dilayangkan pada ibu, aku tak bisa paham. Semakin tak paham lagi karena ibu diam saja menerima kekasaran bapak.
Bahkan kematian bapak terjadi akibat kekasarannya sendiri. Bapak marah karena baju yang akan dipakai belum disetrika. Bapak membentak dan menarik tangan ibu yang sedang menuang minyak ke dalam wajan. Minyak di tangan ibu tumpah ke lantai. Bapak reflek menjauh, tapi terpeleset minyak yang tumpah. Bapak jatuh terjengkang, kepala bagian belakangnya terantuk pinggiran meja. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, bapak tiada.
Barangkali orang menganggapku anak durhaka karena tak setetes pun air mata tumpah sejak kudengar kabar bapak meninggal, hingga akhir prosesi pemakaman. Dalam hati muncul kelegaan, tak akan ada lagi lelaki yang menyakitiku dan ibu. Mungkin Tuhan juga marah. Tetapi itulah perasaanku yang sesungguhnya.
---
Masih tiga hari lagi waktu liburku berakhir. Kuputuskan menenangkan diri ke kebun teh desa Kemuning. Berlama-lama diam di rumah hanya membuat susah hati. Wajah ibu selalu muram. Aku tak tahan melihatnya.Â
Lokasi kebun teh sepi. Bukan hari libur umum. Aku sengaja mengambil libur saat seperti ini. Jalan dan tempat-tempat wisata biasanya sepi. Aku dapat puas menikmati tempat yang kukunjungi.Â
Aku berjalan pelan ke arah hamparan kebun teh. Telapak tanganku menyusuri permukaan daun teh. Basah karena embun. Langit biru bersih. Kuhirup udara segar. Kurentangkan tangan selebar mungkin sembari menghirup udara sebanyak-banyaknya.Â
Dari arah bawah kudengar suara tawa. Ternyata sekelompok remaja berjalan naik ke arahku. Mereka saling bercanda. Di bagian belakang rombongan, tiga orang berkaos biru berjalan dengan semangat. Salah satunya adalah anggota tim yang mendampingi kelompokku saat datang dulu. Bukan Bayu.
Hah! Apa ini? Mengapa mencarinya?
Cepat aku berbalik. Lanjut berjalan ke arah kebun teh yang lebih tinggi. Kembali kunikmati hijau daun teh, biru langit, dan sejuknya udara. Sekelompok remaja tadi melewatiku. Semakin jauh. Tak terdengar lagi suara mereka. Syukurlah. Aku tak ingin diganggu.
"Karet rambutmu jatuh."
 Suara bariton yang kukenal mengejutkanku.Â