Mohon tunggu...
Demitri
Demitri Mohon Tunggu... Freelancer - Biarkan kata bicara

- Ibu rumah tangga. Suka utak-atik kata -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebuah Pengakuan

26 Juni 2022   12:58 Diperbarui: 26 Juni 2022   13:31 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture by Aan Dwi Suwanto


SEBUAH PENGAKUAN

"Karet rambutmu jatuh," sebuah suara bariton mengejutkanku.

Di tangan seorang pemuda berjenggot kulihat karet rambut beludru berwarna merah. Milikku.

"Terima kasih," bisikku sembari mengambil karet rambut dari tangan pemuda itu.

"No problem," jawabnya dengan senyum lebar. Segaris gigi putih hiasi wajahnya.

Aku mengangguk dengan senyum kecil, segera pergi menyusul teman-teman yang telah lebih dulu berjalan ke pendopo. Sebuah Pendopo yang disiapkan untuk rombonganku. Acara piknik ke kebun teh Desa Kemuning, telah kunanti jauh-jauh hari. Tempat yang sejuk. Cocok untuk hilangkan penat dan gundah hati.

Tas ransel kuletakkan di atas tikar. Kuamati sekitar. Hijau daun-daun teh dari pohon teh terhampar. Segar.

Beberapa teman berfoto di antara pohon teh. Mereka melambaikan tangan mengajakku ikut berfoto. Kubalas dengan lambaian. Aku tak ingin berfoto.

Di depan mushola dekat pendopo, kulihat pemuda tadi duduk di lantai. Sendiri. Agak aneh melihat seseorang sendirian di tempat seperti ini. Tempat wisata yang cukup ramai. Tapi apa peduliku?

Seorang teman menarik tanganku.

"Ayo foto," katanya.

Jadilah aku ikut berfoto. Sampai terdengar suara pemimpin rombongan meminta kami berkumpul. Acara akan segera dimulai.

Di depan pendopo pemuda berjenggot tadi berdiri tegak. Kali ini tak sendiri. Ia bersama tiga orang, berkaos biru yang serupa dengannya. 

Dia mengenalkan diri dan teman-temannya. Dia pemimpin tim. Bayu, itu namanya. Bicara penuh wibawa. Terselip canda. Beberapa teman kulihat berbisik-bisik sembari meliriknya. Rupa-rupanya dia cukup menarik bagi teman-temanku. Bagiku? Ugh, aku tak suka jenggotnya. 

Acara terus berjalan. Permainan-permainan silih berganti. Seru!

"Karet rambutmu jatuh lagi," sebuah suara bariton terdengar dari belakangku. 

Kusaksikan sederet gigi putih dan mata bening menatapku.

"Oh, terima kasih," kataku.

Dia tampak ingin berkata sesuatu, namun seorang teman timnya memanggil. Kegiatan permainan telah usai. Waktunya makan siang, lalu kegiatan bebas.
----


"Tak ikut berfoto dengan teman-temanmu?"

Aku terkejut. Tapi suara itu sudah kukenal.

"Tidak. Aku lebih suka menikmati alam," kataku. 

"Namamu Riyanti, 'kan? Aku mendengar temanmu memanggilmu begitu. "

"Ya, begitulah," jawabku sedikit menghela nafas.

Keningnya berkerut. Barangkali heran melihatku menghela nafas. Tapi tak bertanya apa-apa. Toh jika bertanya hanya akan kujawab tak mengapa.

"Kamu berbeda dengan teman-temanmu."

"Maksudmu?" sambarku.

Aku khawatir dia dapat melihat bahwa aku sesungguhnya memang berbeda.

"Maaf. Maksudku kamu menarik," jawab Bayu cepat.

"Teman-temanmu asyik berfoto. Kamu tidak. Teman-temanmu melempar tas begitu saja. Kamu menata tas-tas yang berserakan. Kamu tak peduli riasan wajah, yang lain berkali-kali bercermin."

"Oh..eh..Detil sekali pengamatanmu," tanggapku sedikit tergagap. 

Kunaikkan kerah kaos menutupi leher. Lalu kupalingkan wajah yang terasa agak panas. Untuk apa dia mengamatiku sedemikian? Apa pentingnya hal-hal kecil itu? 

"Bagiku wanita yang seperti itu menarik."

"Apa?!" tanggapku heran.

Berani sekali dia bicara begitu padahal baru saja bertemu. 

Kutatap wajahnya. Sebuah tatapan lembut terhampar di depanku. Jantungku berdetak cepat. Kupalingkan wajah. Jangan sampai ia melihat wajahku memerah.

"Riyanti, ayo sini!"

Seorang teman memanggilku. Aku segera pergi. Kutinggalkan Bayu. Jangan sampai keadaan memburuk.
---


"Ibu sudah ingin menimang cucu."

Sebuah kalimat pendek yang bagiku serupa hantaman palu di dada. Apalagi itu diucapkan ibu. Ibu, yang tahu benar keadaanku. Namun tetap ibu ucapkan saat aku pulang berlibur tahun ini. 

"Keluar dari kelompok tari itu. Kelompok itu membuatmu lupa diri. Kembalilah pada dirimu yang dulu."

Ibu melanjutkan pembicaraan. Bukan. Bukan pembicaraan. Tepatnya perintah. Karena aku tak diberi kesempatan bicara. Toh aku sudah berkali-kali menjelaskan bukan teman-teman tari yang membuatku seperti ini. 

"Lelaki itu kasar-kasar. Aku tak suka. Teman-teman lelakiku kasar. Bapak juga kasar."

Ibu terdiam. Bapak memang kasar. Tak hanya kasar lisan. Bapak juga kasar laku. Aku masih mampu menahan diri jika lisan dan laku kasar itu ditujukan padaku. Tapi jika dilayangkan pada ibu, aku tak bisa paham. Semakin tak paham lagi karena ibu diam saja menerima kekasaran bapak.

Bahkan kematian bapak terjadi akibat kekasarannya sendiri. Bapak marah karena baju yang akan dipakai belum disetrika. Bapak membentak dan menarik tangan ibu yang sedang menuang minyak ke dalam wajan. Minyak di tangan ibu tumpah ke lantai. Bapak reflek menjauh, tapi terpeleset minyak yang tumpah. Bapak jatuh terjengkang, kepala bagian belakangnya terantuk pinggiran meja. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, bapak tiada.

Barangkali orang menganggapku anak durhaka karena tak setetes pun air mata tumpah sejak kudengar kabar bapak meninggal, hingga akhir prosesi pemakaman. Dalam hati muncul kelegaan, tak akan ada lagi lelaki yang menyakitiku dan ibu. Mungkin Tuhan juga marah. Tetapi itulah perasaanku yang sesungguhnya.
---


Masih tiga hari lagi waktu liburku berakhir. Kuputuskan menenangkan diri ke kebun teh desa Kemuning. Berlama-lama diam di rumah hanya membuat susah hati. Wajah ibu selalu muram. Aku tak tahan melihatnya. 

Lokasi kebun teh sepi. Bukan hari libur umum. Aku sengaja mengambil libur saat seperti ini. Jalan dan tempat-tempat wisata biasanya sepi. Aku dapat puas menikmati tempat yang kukunjungi. 

Aku berjalan pelan ke arah hamparan kebun teh. Telapak tanganku menyusuri permukaan daun teh. Basah karena embun. Langit biru bersih. Kuhirup udara segar. Kurentangkan tangan selebar mungkin sembari menghirup udara sebanyak-banyaknya. 

Dari arah bawah kudengar suara tawa. Ternyata sekelompok remaja berjalan naik ke arahku. Mereka saling bercanda. Di bagian belakang rombongan, tiga orang berkaos biru berjalan dengan semangat. Salah satunya adalah anggota tim yang mendampingi kelompokku saat datang dulu. Bukan Bayu.
Hah! Apa ini? Mengapa mencarinya?

Cepat aku berbalik. Lanjut berjalan ke arah kebun teh yang lebih tinggi. Kembali kunikmati hijau daun teh, biru langit, dan sejuknya udara. Sekelompok remaja tadi melewatiku. Semakin jauh. Tak terdengar lagi suara mereka. Syukurlah. Aku tak ingin diganggu.

"Karet rambutmu jatuh."

 Suara bariton yang kukenal mengejutkanku. 

Aku berbalik. Di depanku berdiri Bayu dengan mata bening dan senyum lebar menghias wajah. Tunggu dulu. Aku tak melihat jenggot di dagunya.

"Lupa padaku?" tanyanya.

Ini memang dia. Bayu, namun tanpa janggut.
Mataku membesar. Mulut sedikit terbuka. Jantungku berdegup kencang. Dia sungguh memesona. 

Aku ingin berkata sesuatu, namun mulutku tercekat. Tangan kananku menutup mulut yang terbuka. 

"Senang bertemu denganmu lagi," katanya dengan wajah cerah.

Kuakui aku juga senang. Perlahan kutenangkan diri. Jantungku mulai berdetak normal. Kubenahi tali tas yang agak melorot. Kutahan tali tas di bahu. Punggung tangan yang menggenggam tali tas menyentuh leherku. Seketika sebuah kesadaran menyeruak.

Aku berlari turun. Kutinggalkan Bayu. Kubiarkan dia memanggil-manggilku.

"Ri! Riyanti! Ada apa?"

Masih berlari, teringat pembicaraanku dengan ibu. Ibu yang memintaku kembali pada diriku yang dulu. Aku, Riyanto. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun