Proses ini terjadi karena mereka bermain di ruang antara sebagai ruang ketiga untuk menegosiasikan kepentingan lokal mereka dalam suasana modern-global. Mereka mengambil dan menggunakan beberapa bagian dari budaya global dan kemajuan finansial sebagai elemen pendukung dalam keberadaan identitas, kepercayaan, dan praktik budaya mereka.
Alih-alih mengurangi kepercayaan lokal mereka, budaya global dan kemajuan finansial menjadi “struktur yang dapat didekonstruksi dan dimainkan” untuk memberdayakan kekuatan lokal.
Kondisi tersebut merupakan hasil persilangan ideologis antara budaya global dan budaya lokal. Sebagai proses persilangan ideologis, warga Tengger tidak pernah menolak dan meniadakan kekuatan budaya global ke dalam kehidupan mereka.
Namun, mereka juga tidak mengambil semua kekuatan global, hanya sebagian saja, dan mengartikulasikan beberapa pola yang bermanfaat ke dalam budaya mereka (Setiawan, 2008a; 2008b).
Artikulasi parsial ini menuntut komitmen yang kuat terhadap kekuatan lokal karena warga Tengger tidak mempraktikkan budaya berbasis religi dan tradisinya sebagai pertunjukan ritual belaka, tetapi juga sebagai ideologi yang membimbing mereka dalam menjalani semua aspek kehidupan.
Ideologi dalam konteks ini bukanlah konsep over-deterministik seperti yang didefinisikan oleh Marx, tetapi merupakan kerangka kognisi sosial, disebarkan untuk dan dijalani oleh anggota kelompok sosial. Ideologi dibentuk melalui pemilihan nilai-nilai sosio-kultural yang relevan dan diorganisir oleh skema ideologis yang merepresentasikan definisi diri kelompok.
Ideologi berfungsi sebagai kognisi untuk mengatur representasi sosial (sikap dan pengetahuan) kelompok, dan secara alami menjadi pengawasan terhadap praktik sosial budaya, teks, dan percakapan sehari-hari kelompok (Althusser, 1971: 162 -177; Hall, 1982: 71, 1997: 26; van Dijk: 1995: 284).
Bagi komunitas Tengger, segala aktivitas dan praktik mereka, baik dalam ranah ekonomi sosial budaya, maupun pariwisata, merupakan kontestasi strategis mereka untuk menegosiasikan identitas serta memperkuat dan memberdayakan akar budaya dan agama mereka, tanpa takut bersentuhan dengan fenomena budaya global.
Beberapa contoh dari pandangan tersebut adalah bagaimana mereka memaknai kembali kehidupan keluarga dan ritual keagamaan mereka dalam konteks budaya ekonomi global yang menekankan akumulasi modal dalam semua aspek bisnis, termasuk pertanian.
Rumah dan kehidupan keluarga merupakan tempat untuk melihat bagaimana pemahaman dan kontestasi strategis warga Tengger terhadap globalisasi. Ketika mereka mendapatkan banyak uang dari pertanian sayuran, mereka membangun kembali rumah mereka dengan arsitektur yang lebih modern, seperti yang mereka lihat di kota dan televisi, dan itu membuat rumah kayu semakin jarang.
Mereka juga mulai banyak membeli produk industri untuk perlengkapan rumah tangganya. Meski rumah modern menjadi populer, mereka masih mempertahankan beberapa ruang kuno dari desain rumah mereka.