Kemampuan mereka untuk melakukan negosiasi dinamis dengan budaya lokal muncul sebagai kesadaran ideologis yang dimiliki melalui representasi tradisional-lisan secara terus-menerus dalam ritual yang dipandu oleh para dhukun pandita dan ajaran kolektif aktif yang mereka sosialisasikan atau ajaran pribadi yang dibimbing oleh orang tua.
Dalam pelaksanaan ritual, warga lintas generasi, baik laki-laki maupun perempuan, terlibat aktif sehingga membuat mereka berbagi makna budaya yang sama sebagai identitas kolektif dan, akhirnya, bangga dengan tradisi lokal mereka sendiri.Â
Dhukun pandita secara teratur memberikan ajaran agama kepada generasi muda di Pura Desa dan datang ke sekolah dasar setiap minggu untuk mengajar siswa tentang warisan budaya Tengger dan pentingnya untuk mempertahankannya di masa kini. Para ibu dalam kegiatan memasak di pagi atau sore hari berbicara dengan anaknya tentang beberapa praktik budaya yang penting untuk diikuti.Â
Proses-proses ini menciptakan kesadaran budaya secara normal melalui praktik dan formasi diskursif dan mengarah pada kesepakatan konsensual terhadap pelaksanaan budaya-lokal.
Masyarakat Tengger mampu memobilisasi identitas untuk bertahan dan mempertahankan tradisi lokalnya; bukan dengan menolak kekuatan budaya global, tetapi dengan bermain di ruang antara yang menekankan kemampuan kontestasi untuk mendefinisikan kembali hegemoni budaya global dan membuat mimikri yang menyebabkan kehidupan sehari-hari menjadi hibrid.Â
Pada saat yang sama, mereka membuat ejekan yang menunjukkan lemahnya struktur dan kekuatan budaya global dengan mempertahankan tradisi mereka sendiri. Hegemoni budaya global didekonstruksi dan diperebutkan melalui gerakan anti-hegemoni yang unik secara diskursif dan praksis, yang melahirkan lokalitas baru yang dipandu oleh kekuatan lokal.Â
Masyarakat Tengger tidak menganggap proses tersebut ini sebagai kekuatan negatif yang disebarluaskan oleh pemimpin adat, tetapi mereka meyakininya sebagai kontestasi strategis dan ideologis dalam menggantungkan dan meneruskan budaya lokal di masa mendatang.
Kesimpulan: Memberdayakan Sang Lokal dengan Beberapa Syarat
Saya percaya bahwa budaya lokal memiliki peran strategis sebagai kekuatan strategis esensial dalam perjuangan ideologi dan budaya dalam konteks budaya global. Beberapa gerakan radikal di Amerika Serikat dan Amerika Latin menggunakan isu politik dan ekonomi sebagai tema utama untuk menyebarkan bahaya globalisasi ke seluruh dunia (Seoane dan Taddei, 2002).Â
Namun, resistensi budaya dalam konteks Indonesia memiliki bentuk dan pola tersendiri yang diwarnai oleh dua posisi ideologis utama: (1) memiliki resistensi terhadap semua produk dan pola budaya global dan (2) memiliki praktik hibridisasi dalam mengartikulasikan sebagian budaya global ke dalam budaya lokal.
Posisi kedua memiliki dua bentuk: (1) menerima dan mengadaptasi budaya ekonomi global sebagai mitra penting dalam mempertahankan budaya lokal dalam masyarakat transformatif dan (2) mencampur produk dan pola budaya global dengan produk lokal sebagai sumber utama untuk membuat produk budaya hibrida yang lebih baru.Â
Masyarakat Baduy Dalam menunjukkan perlawanan terhadap pengaruh budaya luar dan global dengan mempraktikkan ritual dan budaya lokal lainnya secara berkelanjutan dan bercocok tanam secara subsisten.Â