Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Percumbuan Budaya dalam Geliat Kabut Bromo

14 Maret 2023   14:58 Diperbarui: 16 Maret 2023   01:22 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dhukun memimpin Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum

Peniruan ini, sekali lagi, bukan berarti mereka telah kehilangan tradisi dalam konteks rumah, tetapi lebih menunjukkan proses transformasi ideologis kultural yang dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi sebagai akibat kerja ekonomi produksi di ladang sayur-mayur.

Hal serupa juga terjadi dalam konsep wasis. Pencarian ilmu pengetahuan dalam pandangan tradisional Tengger merupakan satu kebutuhan mutlak. Pada zaman dulu masih sangat jarang orang yang menempuh pendidikan formal karena faktor ekonomi dan transportasi. 

Hanya para dukunlah yang dianggap berilmu lebih karena mereka belajar ilmu tentang ritual maupun mantra.  Bagi keluarga biasa, pendidikan anak lebih banyak dilakukan oleh ibu, meskipun hanya sebatas cara berperilaku dalam kehidupan sosial serta wejangan (nasehat) lain terkait adat-istiadat, sembari memasak di dapur. 

Selebihnya, anak-anak akan memperoleh ilmu tentang tradisi dari praktik peribadatan maupun ritual yang mereka ikuti. Praktik mulai bergeser ketika para petani Tengger mulai menanam sayur-mayur yang memberikan peningkatan dalam segi finansial sehingga para orang tua yang mau dan mampu mulai berpikir menyekolahkan anak-anak mereka. 

Pak Soeradjad, mantan Kades Wonokerso, menuturkan:

Dulu ketika saya masih duduk di SR (Sekolah Rakyat), jalan menuju Sumber masih makadam dan licin kalau musim hujan. Kalau mau ke Sumber ya harus naik kuda sehingga waktu yang dibutuhkan lama. 

Waktu jalan masih jelek, penduduk di sini masih jarang yang menanam sayur, ya, karena jalannya jelek itu, sehingga tidak ada pedagang yang mau ke sini karena butuh biaya banyak untuk truknya. 

Baru pada tahun 90-an ketika jalan mulai diaspal, banyak orang sini yang menanam sayur, terutama kentang, kubis, dan wortel. Nah, setelah itu tingkat ekonomi warga menjadi lebih baik. Mulailah mereka mengganti rumah kayu dengan rumah tembok. 

Kendaraan bermotor jadi lebih banyak. Anak-anak semakin banyak yang sekolah SMP dan SMA, baik di Sumber maupun Probolinggo. (Wawancara, 10 Mei 2006)

Wasis bagi warga Tengger merupakan sebuah upaya untuk bisa bertahan di tengah-tengah perkembangan zaman. Memang tidak semua anak-anak Wonokerso melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, namun ada beberapa dari mereka yang kuliah, termasuk dua anak Pak Soeradjad. 

Anak laki-lakinya memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Universitas Brawijaya Malang. Sementara anak perempuannya mendapatkan gelar Ahli Madya dari Program Studi Bahasa Inggris dari Universitas Jember. Beberapa warga perempuan juga mengatakan bahwa kelak kalau anak pertamanya sudah lulus SMA di Probolinggo, ia ingin menguliahkannya di perguruan tinggi negeri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun