Masyarakat Tengger merupakan contoh bagaimana memaknai kembali kehadiran modernitas sebagai jejak makna peninggalan kolonial dan berlanjut hingga masa pascakolonial ke dalam konteks tradisi mereka.Â
"Ruang antara pascakolonial" yang mempertemukan kultur modern sebagai akibat peningkatan ekonomi warga dan kultur tradisi telah menjadi ruang untuk terus mendefinisikan dan meredefinisikan makna identitas yang selalu bergerak dan bertransformasi dalam perkembangan zaman.Â
Dalam banyak hal, terutama dalam persoalan makna simbolis kehadiran benda-benda modern, kehidupan kultural memang tengah bertransformasi mengkuti apa-apa yang terjadi dalam dunia luar.Â
Pertumbuhan ekonomi warga sebagai akibat revolusi hijau dalam bidang pertanian telah menjadikan mereka sebagai konsumen benda-benda modern yang sekaligus memberikan citra simbolis bagi posisi sosial mereka di tengah-tengah masyarakat.
Kemajuan ekonomi dan masuknya budaya modern ternyata tidak mampu menghegemoni kesadaran kultural dan mengubah atau menghilangkan praktik reliji yang mereka yakini. Kemajuan ekonomi, dalam beberapa hal, cenderung dijadikan strategi dan alat untuk memaknai kembali ajaran-ajaran tradisional yang mereka warisi dari para leluhur.Â
Bekerja giat di ladang untuk mendapatkan hasil finansial yang maksimal tidak semata-mata digunakan untuk mengkonsumsi benda-benda modern, namun digunakan sebagai sarana untuk terus mewujudkan ajaran-ajaran yang sudah ada, seperti cukup pangan, sandang, papan, memperoleh pengetahuan, maupun terjaganya kesehatan jasmani dan ruhani.Â
Dengan demikian, "percumbuan di ruang antara" yang beraroma mimikri dan hibriditas dari budaya tradisional dan modern telah menjadi strategi kedirian dan identitas yang bisa membangun dan menjaga kesadaran ideologis warga Tengger Wonokerso di tengah-tengah zaman yang dipenuhi oleh ideologi konsumsi sebagai akibat percepatan kapitalisme lanjut secara nasional.Â
Masyarakat Tengger memiliki keliatan kultural dalam menyikapi modernitas yang sudah mampu menembus dinginnya pegunungan dan putihnya kabut Bromo, tanpa harus kehilangan warisan leluhur mereka, meskipun beberapa desa Tengger yang lain sudah tidak menjadi Tengger lagi.
Rujukan
Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.
Aschroft, Bill, Garret Griffiths, & Helen Tiffin. 1995. "General Introduction." Dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, & Helen Tiffin. The post-colonial studies reader. London: Routledge.