Masyarakat Tengger selama ini seringkali dideskripsikan sebagai sekelompok orang yang masih kukuh dalam mempertahankan dan melestarikan tradisi nenek moyang, baik dalam praktik reliji maupun adat-istiadat.Â
Sutarto (2001; 2003a; 2003b) menjabarkan bagaimana warga Tengger menjalani kehidupan dengan penuh penghargaan terhadap ajaran moralitas, reliji, serta praktik ritual yang bersumber pada warisan leluhur dan disosialisasikan secara ajeg oleh para dukun.Â
Dalam konteks tersebut, masyarakat Tengger menempati posisi cukup unik dalam ranah kajian budaya karena di tengah-tengah modernitas, mereka masih mampu menghargai dan melanjutkan keyakinan tradisi yang dianggap sebagai paugeran dalam menjalani kehidupan sehari-hari.Â
Masyarakat Tengger, dengan demikian, merupakan gambaran bagaimana usaha pemertahanan tradisi lokal di tengah-tengah wacana dan praktik kultural yang mengarah pada tradisi asing yang dianggap lebih maju.
Namun, kemajuan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan kerja-kerja ekonomi-produksi dalam bidang pertanian (dalam hal ini sayur-mayur), secara langsung juga membawa implikasi berupa perubahan sosio-kutlural dalam kehidupan masyarakat.Â
Sebelum menjadi petani komersil, orang Tengger adalah petani subsisten yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok untuk meneruskan kehidupan dengan menanam jagung.Â
Perubahan jenis tanaman dan pola tanam yang diperkenalkan oleh Belanda mulai abad ke-19 dan lebih diintensifkan lagi dengan revolusi hijau pada era rezim Orde Baru dengan keuntungan berlimpah telah membawa pengaruh cukup signifikan dalam konstruksi dan struktur sosial serta gaya hidup wong Tengger.
Hefner (1999: 187-264), dengan menggunakan perspektif ekonomi-politik dan analisis sejarah interpretif dalam penelitiannya di wilayah Kecamatan Tosari Pasuruan pada 1970-an, mencatat beberapa perubahan yang cukup mencolok dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Tengger.
Pertama, sebagaimana terjadi pada wilayah-wilayah pertanian di dataran rendah, di wilayah Tengger juga terjadi perubahan dalam hal tenaga kerja pertanian.Â
Sebelum memasuki era pertanian komersil, masyarakat Tengger mengenal beberapa pola tenaga kerja seperti kroyokan (pola tenaga kerja dari kerabat dekat), gentenan (pola tenaga kerja berkelompok yang menuntu balasan setimpal dari kerja yang sudah dilakukan), dan rewang (pola tenaga kerja yang melibatkan kerabat jauh dari generasi yang sama dan tanpa menuntu balasan).Â
Ketika pertanian komersil berkembang, tenaga kerja upahan (kuli bulanan dan kuli tetap) menjadi pilihan untuk lebih mengefektifkan kerja dibandingkan dengan hitungan pada pola tradisional.Â
Berubahnya pola tenaga kerja tersebut tidak serta-merta mengarah pada tradisi patron-klien, tetapi tetap mengedepankan semangat persamaan sesama warga Tengger yang tidak patut diperbincangkan berdasarkan kaya dan miskin.
Kedua, berkembangnya masyarakat konsumsi. Konsumsi dalam masyarakat Tengger lebih terkait dengan mobilisasi dan penggunaan kebutuhan rumah tangga dan benda-benda modern (dari pakaian, kendaraan, alat elektronik, dan lain-lain).Â
Sebagai akibat komersialisasi pertanian, kemajuan ekonomi memang berakibat pada pembelian benda-benda yang menunjukkan kemodernan sebagaimana terlihat pada kehidupan masyarakat dataran rendah.Â
Masyarakat Tengger, jelas, tidak bisa menolak keberadaan benda-benda tersebut dalam kehidupan mereka, apalagi dengan semakin baiknya jalan dan alat transportasi yang memungkinkan mereka untuk berbelanja ke pasar di wilayah yang lebih bawah ataupun kota.Â
Hal ini berbeda jauh dengan keyakinan mereka sebelumnya untuk menolak benda atau budaya yang berasal dari wilayah ngare (bawah) yang dianggap bisa merusak ketentraman dan keharmonisan kultural. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari keluarga yang lebih kaya tetap tidak ingin menunjukkan kemewahan konsumsi yang dijalani, karena hal itu dianggap tabu oleh tradisi Tengger.
Masyarakat Tengger, sebagaimana masyarakat Jawa lainnya, memang mengalami beberapa perubahan signifikan dalam hal ekonomi, konsumsi, dan gaya hidup sebagai akibat komersialisasi pertanian dan persinggungan dengan budaya di luar Tengger.Â
Namun, perubahan tersebut tidak serta-merta melepaskan 'baju tradisi' yang sudah diyakini selama ini sehingga akan lebih tepat kalau masyarakat Tengger saat ini disebut sebagai "masyarakat yang sedang bertransformasi".Â
Dalam konteks transformasi akan bisa dilihat bagaimana masyarakat Tengger memaknai dan merekonstruksi kedirian dan tradisi mereka di dalam ruang ketiga (third space) yang mempertemukan aspek kerja pertanian komersil dan aspek ketradisian.Â
Tulisan ini merupakan analisis deskriptif-interpretatif terhadap pertemuan antara budaya tradisi dan praktik kerja pertanian komersil dalam konteks masyarakat Tengger pascakolonial yang mewarisi nilai dan praktik tradisi sekaligus mengambil nilai dan praktik modern yang ditawarkan oleh kolonial dan berlanjut hingga saat ini dalam desain pembangunan nasional.
Orang Tengger di Ruang AntaraÂ
Apa yang terjadi dengan kehidupan masyarakat Tengger hari ini tentu tidak bisa dilepaskan dari proses dan transformasi historis yang berlangsung dari masa awal perkembangan, kolonial, hingga pascakolonial.Â
Sebagai sebuah proses historis yang melampaui bermacam zaman dan pandangan dunianya, tradisi yang direpresentasikan dalam ritual dan praktik kehidupan sehari-hari bisa diasumsikan menjadi ruang silang-pertemuan bermacam wacana dan praktik sosio-kultural, baik yang berasal dari warisan nenek moyang maupun dari jagat luar.Â
Pilihan untuk menjalani kerja ekonomi-produktif pertanian menandakan kontekstualisasi dari asumsi tersebut. Ekonomi pertanian yang diperkenalkan oleh pihak kolonial sejak abad ke-19, bagaimanapun juga, merupakan bukti bahwa wong Tengger sejak dulu mampu melakukan proses kolaborasi dan adaptasi dalam sebuah ruang sosio-kultural yang diwarnai dengan peniruan dan hibridasi.
Dalam konteks masyarakat pascakolonial, apa yang dilakoni wong Tengger memang menunjukkan bagaimana pengaruh wacana dan praktik dari subjek penjajah (the colonizer) terhadap praktik hidup subjek terjajah (the colonized).Â
Praktik pertanian komersil yang menjadi trend pada masyarakat di dataran rendah dianggap mampu memberikan keuntungan secara ekonomis yang lebih besar dibandingkan pola pertanian subsisten jagung.Â
Pihak penjajah sendiri, semisal dalam kasus di wilayah Tosari (Hefner, 1999: 105), menetapkan kebijakan untuk memaksimalkan potensi pertanian dengan memperkenalkan tanaman sayur-mayur seperti kentang, wortel, maupun kubis di lereng pegunungan atas guna memenuhi kebutuhan warga Eropa dan Tionghoa.Â
Kebijakan tersebut ditopang dengan pembuatan jalan-jalan baru untuk semakin mempermudah akses menuju wilayah Tengger. Keberhasilan secara ekonomis dari praktik pertanian yang semakin mengintensifkan relasi wong Tengger dengan pihak kolonial dan masyarakat di dataran rendah tidak berhenti hanya pada kepuasan materi.Â
Praktik kultural ikut terdampak proses ekonomi tersebut. Rumah-rumah kayu khas Tengger mulai digantikan dengan rumah tembok yang pada awalnya diperkenalkan oleh pihak kolonial dan berlangsung hingga saat ini. Namun, di balik proses mimikri tersebut, orang Tengger masih menyimpan satu kekuatan tradisi yang dimainkan dalam ruang persilangan.
Ruang persilangan ini oleh Bhabha (1994) disebut "ruang ketiga" (the third space) atau "ruang antara" (in-between space). Dalam pandangan Bhabha, ruang antara menyediakan (1) medan untuk mengelaborasi strategi kedirian, baik tunggal maupun komunal, yang memunculkan tanda baru identitas dan (2) situs inovatif untuk kolaborasi dan kontestasi dalam usaha untuk mendefinisikan ide kemasyarakatan itu sendiri.Â
Pihak terjajah melakukan apropriasi terhadap budaya yang dimiliki oleh pihak penjajah dari perspektif mereka sehingga terjadi keterikatan kultural yang dikerangkai melalui perbedaan-perbedaan yang ada di antara mereka.Â
Kondisi negosiasi dan artikulasi ini memungkinkan terjadinya hibriditas yang ditandai dengan munculnya peniruan oleh pihak terjajah sehingga mereka seolah-olah masuk ke dalam lingkaran kuasa kolonial sehingga batas antara tradisi lokal dan tradisi modern menjadi kabur dalam keterikatan hibrid tersebut.
Apa yang harus dicatat adalah bahwa proses mimikri yang menghasilkan hibridasi kultural memiliki fungsi politis bagi pihak penjajah dan terjajah. Bagi pihak penjajah kesediaan pihak terjajah untuk meniru budaya mereka dianggap sebagai keberhasilan untuk melakukan penaklukan secara kultural sehingga penaklukan lain yang lebih berwarna ekonomi-politik bisa dengan mudah dicapai.Â
Alih-alih menaklukkan, mimikri sebenarnya menjadi arena bagi pihak terjajah untuk menjalankan "strategi bunglon" karena pihak terjajah tidak sepenuhnya meniru tetapi sekaligus mengejek (mockery) dengan kesadaran yang tetap berbasis tradisi lokal sehingga mereka tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh penjajah.Â
Artinya, mereka memang meniru, tetapi peniruan tersebut sekaligus menjadi perlawanan terhadap kesempurnaan kuasa wacana dan praktik kolonial karena apa-apa yang mereka miliki, meskipun pada kenyataannya berbeda dengan yang ada di masyarakat setempat, mampu diadopsi, demi kepentingan  pihak terjajah itu sendiri.Â
Fungsi pengawasan yang diharapkan berhasil oleh kolonial, ternyata bisa diganggu dengan peniruan yang hampir sama tetapi tidak sepenuhnya sama dan dirayakan oleh pihak terjajah secara kreatif. Seperti diungkapkan Foucault (1988: 95-96), bahwa akan selalu muncul resistensi di tengah-tengah kuasa yang dibangun secara diskursif.Â
Hal itu bisa terjadi ketika subjek-subjek yang dikuasai secara diskursif mampu membangun strategi dan kreativitas yang bisa mendefinisikan dan mendekonstruksi kembali kuasa tersebut secara simultan dan mobile.
Dari proses inilah identitas dan tradisi-lokal yang masih dijalani masyarakat lokal hingga saat ini terbentuk; sebuah persilangan terus-menerus bernuansa negosiasi, rekonstruksi, dan resistensi yang ajeg dan transformatif dari masa kolonial hingga poskolonial (Ashcroft, Griffiths, Tiffin, 1995: 2).Â
Dengan demikian, membicarakan identitas sosio-kultural atau tradisi lokal tentu tidak bisa hanya berpijak pada esensialisme karena semua itu merupakan "proses yang terus menjadi" yang ditandai dengan fragmentasi kode-kode, pluralisasi, dan persilangan wacana dan praktik kultural (Hall, 1992).Â
Lebih-lebih pada era globalisasi saat ini di mana segala yang berbau asing seakan sudah menjadi "anggota keluarga sendiri" pada sebuah masyarakat lokal (Steger, 2006).Â
Tradisi bukan lagi menjadi praktik dan wacana yang selamanya diposisikan secara stereotip karena ragam kultural tentu akan semakin banyak mengisi imajinasi dan realitas sehingga sangat mungkin akan muncul pluralisasi kultural yang diwarnai kontestasi produk "budaya glokal" (hibridari budaya global dan lokal) terhadap budaya global arus utama (Robertson, 1995).
Penjelasan di atas tidak untuk menunjukkan bahwa masyarakat lokal telah kehilangan sepenuhnya identitas dan orientasi kultural yang diyakini selama ini. Permasalahannya adalah sejauh mana masyarakat lokal mampu mengendalikan permainan diskursif dalam peniruan dan hibridasi dengan budaya asing, baik yang berasal dari era kolonial maupun pascakolonial atau global saat ini.Â
Ketika mereka secara kreatif menyadari proses tersebut, maka masyarakat lokal tentu akan mampu mempertahankan pola dan bentuk kultural lokalnya sesuai dengan perkembangan jaman tanpa harus menolak kehadiran "sesuatu yang baru", seperti yang terlihat dalam kasus kesenian populer Using, Banyuwangi (Setiawan, 2007).Â
Sebaliknya, ketika mereka hanya larut dalam budaya asing, maka masyarakat tentu hanya memiliki budaya lokal secara simbolis tanpa bisa mengembangkannya dan masuk tanpa bisa merasakan ke dalam kuasa hegemoni kekuatan-kekuatan asing yang terus bertransformasi dalam produk-produk budaya pascamodern.
Kekuatan tradisi lokal, meskipun sudah bertransformasi dalam ruang ketiga poskolonial, akan tetap dijalani dalam praktik hidup sehari-hari ketika sudah menjadi ideologi dan diyakini oleh masyarakat pelakunya.Â
Ideologi dalam konteks kuasa (power) memang cenderung melayani kepentingan hegemonik kelas pengarah (the leading class) dengan politik representasi yang terus menyebar sehingga menjadi kesadaran dan praktik konsensual bagi kelas-kelas lain dalam masyarakat (Boggs, 1984; Gramsci, 1981; Laclau & Mouffe, 1981; Thompson, 1984).Â
Ideologi dalam konteks tulisan ini bukanlah nilai dan ide yang bersifat utopis-deterministik, tetapi lebih sebagai kerangka bagi kognisi sosial, menyebar dan dijalani oleh anggota kelompok sosial, dibentuk oleh seleksi-seleksi relevan dari nilai sosio-kultural, dan diorganisir dengan skema ideologis yang merepresentasikan definisi-diri dari kelompok tersebut.Â
Di samping fungsi sosialnya untuk kepentingan kelompok, ideologi juga mempunyai fungsi kognisi untuk mengorganisir representasi sosial (sikap, pengetahuan) dari kelompok, sehingga secara tidak langsung mengawasi praktik sosial yang berkaitan dengan kelompok serta pembicaraan dari masing-masing anggotanya (Althusser, 1971: 162-177; Hall, 1982: 71, 1997: 26; van Dijk: 1995: 284).
Tradisi bagi masyarakat pascakolonial merupakan kekuatan ideologis yang akan menuntun mereka untuk memilih bentuk, norma, dan praktik kultural yang dipertahankan dalam ruang ketiga, meskipun mereka juga melihat, meniru, dan mengadaptasi tradisi baru yang berasal dari luar. Sekilas, masyarakat pascakolonial, memang tampak tidak bisa mempertahankan kemurnian tradisi mereka.Â
Namun, apakah ada identitas ataupun yang benar-benar murni dalam konteks dan kondisi terkini? Masyarakat pascakolonial adalah masyarakat yang mempunyai mekanisme untuk selalu "melihat ke dalam" sekaligus "mengidealkan" praktik dan wacana yang diasumsikan lebih modern.Â
Hal itu disebabkan kuatnya pengaruh kolonial yang bertransformasi hingga masa kolonial, sehingga mereka sebenarnya tidak sepenuhnya berada dalam kuasa wacana dan praktik tersebut atau bahkan melawannya dengan cara-cara peniruan sekaligus pengejekan di ruang ketiga hibriditas (Faruk, 2007: 14-15).Â
Pun demikian dengan masyarakat Tengger. Mereka memang tidak menolak modernitas dari era  kolonial hingga sekarang sebagai akibat dari pertanian komersil, namun mereka justru mampu menggunakan semua itu sebagai sebuah motivasi ideologis baru untuk terus meyakini dan menjalani praktik tradisi yang mereka warisi dari para leluhur; sebuah percumbuan di ruang antara.
Setya Laksana: Tradisi yang Membutuhkan Kesiapan Ekonomi
Masyarakat Tengger memang terkenal dengan beragam tradisi yang masih diyakini dan dijalani hingga saat ini. Mereka adalah masyarakat yang taat membayar pajak, baik mereka yang tinggal di wilayah Probolinggo, Malang, Pasuruan, maupun Lumajang. Mereka juga dikenal tidak pernah mau mencuri milik orang lain sehingga wilayah Tengger mendapat julukan zero crime zone.Â
Di samping itu, masyarakat Tengger juga masih setia menjalani ritual seperti Kasada, Entas-entas, Unan-unan, dan lain-lain. Praktik tradisi dalam lingkup sosial tersebut memang lebih banyak berasal dari ajaran turun-temurun, namun, nyatannya mampu memberikan pengaruh positif bagi warga Tengger.
Dalam ranah keluarga, masyarakat Tengger juga mempunyai kearifan yang disebut setya laksana (Sutarto, 2003a). Dalam pandangan masyarakat Tengger, seorang suami dan istri dalam sebuah keluarga, sudah seharusnya mau dan mampu dalam menjalankan kesetiaan untuk mewujudkan setya laksana berupa walima.Â
Konsep walima berisi wareg (cukup makan), waras (sehat jasmani), wastra (cukup sandang), wasis (cukup ilmu pengetahuan), dan wisma (mempunyai tempat tinggal yang layak). Kearifan tersebut tentu sudah bertransformasi karena perkembangan zaman yang sangat dinamis.Â
Bagi warga Tengger sebelum zaman kolonial, untuk mencapai tahapan wareg, misalnya, mereka mungkin cukup menanam jagung putih atau talas untuk menghilangkan rasa lapar. Namun, saat ini, jagung dan talas sudah tidak banyak dikonsumsi sebagai makanan pokok dan digantikan oleh beras.Â
Apa yang menarik dicermati dari konsep walima tersebut adalah dibutuhkannya kesiapan secara ekonomis untuk mewujudkan kelima orientasi ideologis tersebut.
Kesiapan secara ekonomis inilah yang membutuhkan kerja keras bagi keluarga Tengger. Tidak hanya para suami sebagai kepala keluarga, para istri juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk mewujudkan walima.Â
Tidak heran kalau dari pagi hingga siang atau petang banyak perempuan Tengger yang ikut bekerja di ladang, dari mencangkul lahan, menanam, ngubat (menyemprotkan pestisida), hingga memanen.Â
Semua itu dilakukan demi mendapatkan hasil panen sayur-mayur yang melimpah sehingga mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup, baik yang berkaitan dengan pangan, sandang, papan, ilmu, hingga kesehatan. Pertanian komersil yang menuntut kerja produksi modern, dengan demikian, mampu menjadi alat untuk mewujudkan impian-impian kebaikan dan kesejahteraan bagi keluarga Tengger.Â
Praktik pertanian yang dulunya oleh pemerintah kolonial digunakan untuk sekedar memenuhi kebutuhan mereka dan penduduk asing lain, seperti Eropa, China dan Arab, ternyata bisa dimaknai kembali oleh warga Tengger untuk kepentingan ekonomi yang secara ideologis berlandaskan pada kearifan mereka sendiri.Â
Intensifikasi pertanian dengan pengguanaan pupuk dan bibit unggul sebagai bagian revolusi hijau rezim Orba untuk memenuhi ambisi politik pangan demi terciptanya stabilitas nasional dan percepatan pertumbuhan ekonomi, bagi orang Tengger bukan dibaca strategi diskursif penaklukan oleh negara.Â
Alih-alih, intensifikasi pertanian digunakan untuk mengoptimalkan penghasilan finansial mereka demi memantapkan kekuatan ekonomi keluarga yang akan berpengaruh pada pencapaian-pencapaian maksimal setya laksana. Â
Ambivalensi memang terjadi dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Tengger. Mereka saat ini bukan lagi orang-orang gunung yang cukup tinggal di rumah berbahan kayu cemara gunung. Rumah tembok menghiasi lanskap pegunungan seperti sebuah mozaik yang menempel pada sebuah kertas.Â
Pada tahun 2006, ketika masuk ke rumah Kepala Desa Wonokerso, Kecamatan Sumber, Probolinggo, saya merasa seperti masuk ke dalam rumah orang kota. Televisi, almari, sofa, lantai keramik maupun pernik-pernik hiasan dinding tertata dengan rapi.
Semua gambaran tentang warga Tengger yang sederhana, sejenak sirna ketika melihat keberadaan perabot itu. Menurut istri kepala desa, semua perabot itu tidak dihasilkan dari jabatan suaminya sebagai seorang Kades, melainkan dari hasil panen kentang dan wortel yang melimpah dengan harga jual yang lumayan sebagai imbalan dari kerja keras mereka berdua di ladang (Wawancara, 2 Juni 2006).Â
Meskipun demikian, di ruang tengah tetap disediakan tungku sebagai penghangat percakapan yang berlangsung dengan para tamu Pak Kades, karena hawa dingin pegunungan Tengger tentu tidak bisa diusir dengan kompor minyak tanah ataupun kompor gas.
Apa yang terlihat dari rumah kepala desa, bisa diinterpretasikan sebagai sebuah penanda yang menunjukkan bahwa rumah ala orang kota telah menjadi orientasi ideologis baru bagi wong Tengger ketika mereka berusaha mewujudkan konsepsi wisma yang ideal.Â
Rumah modern yang dulu hanya bisa dinikmati oleh orang-orang kota kaya, ternyata telah menjadi ruang hunian keseharian bagi keluarga Tengger dengan adanya revolusi hijau dan kerja keras di ladang.Â
Memang tidak semua keluarga Tengger bisa menikmati fasilitas seperti yang terdapat di rumah Pak Kades, minimal, rumah mereka yang berstatus ekonomi rendah maupun menengah tetap terbuat dari tembok, dan sangat sedikit yang terbuat dari kayu. Namun, apa yang harus diperhatikan dari realitas tersebut adalah adanya transformasi ideologi kultural-tradisional dari konsep wisma.Â
Masyarakat Tengger yang semakin sering melihat praktik modernitas dari pemaknaan sebuah rumah di wilayah bawah, kota, maupun televisi, berusaha meniru dan mengaplikasikan dalam bangunan rumah mereka, tetapi tidak sepenuhnya sama, karena mereka masih mempertahankan karakteristik lama dari sebuah rumah; tungku di dapur maupun ruang tamu untuk menghangatkan tubuh.Â
Peniruan ini, sekali lagi, bukan berarti mereka telah kehilangan tradisi dalam konteks rumah, tetapi lebih menunjukkan proses transformasi ideologis kultural yang dipengaruhi oleh kemajuan ekonomi sebagai akibat kerja ekonomi produksi di ladang sayur-mayur.
Hal serupa juga terjadi dalam konsep wasis. Pencarian ilmu pengetahuan dalam pandangan tradisional Tengger merupakan satu kebutuhan mutlak. Pada zaman dulu masih sangat jarang orang yang menempuh pendidikan formal karena faktor ekonomi dan transportasi.Â
Hanya para dukunlah yang dianggap berilmu lebih karena mereka belajar ilmu tentang ritual maupun mantra. Â Bagi keluarga biasa, pendidikan anak lebih banyak dilakukan oleh ibu, meskipun hanya sebatas cara berperilaku dalam kehidupan sosial serta wejangan (nasehat) lain terkait adat-istiadat, sembari memasak di dapur.Â
Selebihnya, anak-anak akan memperoleh ilmu tentang tradisi dari praktik peribadatan maupun ritual yang mereka ikuti. Praktik mulai bergeser ketika para petani Tengger mulai menanam sayur-mayur yang memberikan peningkatan dalam segi finansial sehingga para orang tua yang mau dan mampu mulai berpikir menyekolahkan anak-anak mereka.Â
Pak Soeradjad, mantan Kades Wonokerso, menuturkan:
Dulu ketika saya masih duduk di SR (Sekolah Rakyat), jalan menuju Sumber masih makadam dan licin kalau musim hujan. Kalau mau ke Sumber ya harus naik kuda sehingga waktu yang dibutuhkan lama.Â
Waktu jalan masih jelek, penduduk di sini masih jarang yang menanam sayur, ya, karena jalannya jelek itu, sehingga tidak ada pedagang yang mau ke sini karena butuh biaya banyak untuk truknya.Â
Baru pada tahun 90-an ketika jalan mulai diaspal, banyak orang sini yang menanam sayur, terutama kentang, kubis, dan wortel. Nah, setelah itu tingkat ekonomi warga menjadi lebih baik. Mulailah mereka mengganti rumah kayu dengan rumah tembok.Â
Kendaraan bermotor jadi lebih banyak. Anak-anak semakin banyak yang sekolah SMP dan SMA, baik di Sumber maupun Probolinggo. (Wawancara, 10 Mei 2006)
Wasis bagi warga Tengger merupakan sebuah upaya untuk bisa bertahan di tengah-tengah perkembangan zaman. Memang tidak semua anak-anak Wonokerso melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, namun ada beberapa dari mereka yang kuliah, termasuk dua anak Pak Soeradjad.Â
Anak laki-lakinya memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Universitas Brawijaya Malang. Sementara anak perempuannya mendapatkan gelar Ahli Madya dari Program Studi Bahasa Inggris dari Universitas Jember. Beberapa warga perempuan juga mengatakan bahwa kelak kalau anak pertamanya sudah lulus SMA di Probolinggo, ia ingin menguliahkannya di perguruan tinggi negeri.Â
Menurut mereka, dengan pendidikan yang baik, anak-anak akan bebas untuk memilih masa depannya; apakah kembali ke Tengger atau hidup di kota.Â
Orientasi ideologis untuk menyekolahkan anak setinggi-tingginya juga dilontarkan seorang ibu single parent. Ia sangat ingin menguliahkan anak semata wayangnya yang kini duduk di bangku SMA karena ia mempunyai kekuatan ekonomi dengan ladang dari warisan orang tuanya yang selalu menghasilkan rejeki melimpah ketika panen (Wawancara, 22 Juli 2006).Â
Pendidikan modern memang menjadi wacana hegemonik bagi masyarakat Tengger, namun mereka tetap tidak melupakan pendidikan tradisi yang bisa diperoleh anak-anaknya dengan terlibat dalam ritual maupun wejangan-wejangan orang tua, terutama ibu.
Panen Melimpah, Slametan Meriah
Slametan dalam tradisi masyarakat Tengger sudah menjadi kewajiban yang harus dijalankan berdasarkan siklus kehidupan manusia; dari lahir hingga mati. Meskipun demikian, terdapat beberapa slametan yang bersifat besar dalam kategori pelaksanaannya, yakni Kasada, Entas-entas, Unan-unan, Walagara, dan Karo.Â
Di antara slametan tersebut, Entas-entas merupakan ritual yang membutuhkan biaya lumayan besar. Entas-entas merupakan upacara terakhir kematian bagi warga Tengger. Tidak seperti pemeluk Hindu di Bali yang melaksanakan ngaben, wong Tengger melakukan ritual yang berbeda, meskipun maksudnya sama.Â
Jasad tetap dikubur dengan kepala menghadap ke arah Gunung Bromo. Adapun yang dibakar adalah boneka yang terbuat dari tumbuhan semak dan batang pepohonan (petra). Boneka ini mewakili jasad orang yang sudah meninggal. Pelaksanaan ritual ini biasanya dilaksanakan beberapa tahun setelah jasad dikubur.Â
Alasan utamanya jelas faktor ekonomi karena ritual ini membutuhkan biaya yang lumayan banyak sehingga pihak keluarga membutuhkan waktu untuk menabung terlebih dahulu mengingat harga barang-barang yang harus dipersiapkan untuk pelaksanaan ritual.Â
Banyaknya biaya yang dibutuhkan biasanya disiasati dengan pelaksanaan Entas-entas secara bersamaan oleh beberapa keluarga yang masih mempunyai hubungan kerabat sehingga ada beberapa arwah yang dientas dalam satu kali ritual.
Sewaktu mengikuti ritual Entas-entas yang dilaksanakan sebelum ritual Walagara (pernikahan) pada bulan Juli 2006 yang diselenggarakan oleh salah satu kepala desa Tengger dan beberapa kerabatnya, saya tidak bisa memperoleh data pasti berapa anggaran yang diperlukan karena bagi wong Tengger mengungkapkan besarnya biaya bisa masuk kategori kurang sopan.Â
Namun dari persiapan hingga pelaksanaan ritual, bisa diketahui bahwa biaya yang dibutuhkan cukup banyak, baik yang digunakan untuk keperluan hidangan/makanan maupun pertunjukan. Pak Kades dan kerabatnya menyembelih 5 ekor sapi, 2 ekor kambing, dan 10 ekor ayam.Â
Menu masakan yang terbuat dari daging sudah menjadi kewajaran bagi ritual entas-entas, baik yang dimasak rawon, gule, sate, hingga ayam bakar.Â
Dalam konteks ekonomi modern, praktik Entas-entas bisa jadi dianggap sebagai pemborosan. Namun, dalam konteks masyarakat Tengger yang masih begitu kukuh dalam menjalani tradisi, biaya konsumsi untuk ritual semata-mata ditujukan untuk memberikan penghormatan dan penyempurnaan kepada leluhur sebagai generasi yang telah melahirkan mereka. Â
Selain itu, juga bertujuan memberikan kesenangan kepada para tamu, kerabat, dan tetangga yang telah ikut mensukseskan acara. Ketika kebutuhan makanan terpenuhi, maka secara logika orang-orang yang terlibat dalam acara akan melakukannya dengan senang hati sehingga entas-entas bisa berjalan dengan sempurna.Â
Pelaksanaan Entas-entas yang cukup meriah, memang menyisakan beberapa pertanyaan: (a) sejak kapan praktik tersebut berlangsung; (b) mengapa harus demikian; dan, (c) apa yang menyebabkannya?Â
Meskipun saya tidak mendapatkan data sejak kapan praktik tersebut berjalan di kawasan Tengger, informasi yang diberikan Hefner (1999: Â 308) tentang perubahan ritual di Tosari, Kabupaten Pasuraun, bisa membantu interpretasi terhadap permasalahan tersebut.
Secara historis, tingkat kemewahan sebuah perayaan bervariasi menurut kemakmuran ekonomi secara umum.Â
Pada masa sulit, seperti pada tahun 1931 dan 1950, dan kembali awal 1960-an, perayaan diturunkan skalanya dan dikurangi biayanya. Pada masa peningkatan ekonomi, seperti pada tahun 1920-an, pertengahan 1950-an, dan 1970-an, biaya rata-rata perayaan meningkat.Â
Pada akhir 1970-an, ketika pendapatan petani meningkat akibat sistem pertanian yang baru, biaya nyata rata-rata perayaan melambung tinggi hingga lima atau enam kali lipat dari biaya yang biasa dihabiskan untuk hal yang sama pada tahun 1960-an.
Perayaan yang terbesar dihadiri oleh ribuan tamu, dan masing-masing menghabiskan biaya tiga atau empat ribu dolar, jauh melebihi pendapatan tahunan rata-rata keluarga. Perayaan yang bergengsi tidak lengkap tanpa menyembelih beberapa ternak, penggunaan generator untuk lampu dan musik rekaman, dan kehadiran penari tayuban dan kelompok drama ludruk dari kota di daerah bawah.
Informasi Hefner tersebut memberikan satu gambaran tentang fleksibilitas kontekstual warga Tengger dalam menjalani Entas-entas. Yang pasti, kemerihaan tersebut sangat dipengaruhi oleh peningkatan ekonomi yang berasal dari pertanian sayur-mayur yang sudah berlangsung sejak jaman kolonial dan berlanjut hingga saat ini, meskipun selalu disesuaikan dengan kondisi ekonomi setiap tahun.Â
Kemeriahaan slametan juga bergantung sepenuhnya pada tingkat kemakmuran ekonomi para penyelenggara entas-entas sehingga bagi keluarga yang kurang mampu tidak harus menyelenggarakannya secara meriah.Â
Peningkatan ekonomi, dengan demikian, telah menjadi kekuatan baru yang mampu menghadirkan transformasi kultural. Transformasi ini terkait dengan kebiasaan dalam memaknai perayaan slametan sebagai kewajiban tradisi bagi wong Tengger, terutama bagi mereka yang termasuk golongan ekonomi mampu.
Kebutuhan akan biaya yang banyak dalam Entas-entas tentu memerlukan tabungan yang tidak cukup hanya dilakukan dalam satu tahun. Wajar kiranya kalau ritual Entas-entas biasanya dilaksanakan beberapa tahun setelah almarhum dikubur. Maka dari itu, keluarga Tengger perlu mempersiapkannya dengan cara bekerja giat di ladang sehingga mereka bisa menabung dari setiap hasil panen.Â
Motivasi kultural untuk memberikan yang terbaik kepada orang tua atau kerabat yang sudah meninggal melalui perayaan slametan Entas-entas telah menjadi kekuatan untuk melakukan kerja-kerja pertanian dari pagi hingga petang di ladang. Apakah ini menjadi beban bagi wong Tengger?Â
Kenyataannya, tidak tampak kesan tersebut ketika mereka bekerja giat di ladang, karena itu semua merupakan laku kehidupan yang harus dijalani apabila mereka ingin memperoleh kebahagiaan; kebahagiaan yang berbasis pada keyakinan kultural.
Kesan munculnya "gengsi sosial" dalam masyarakat Tengger memang tidak bisa dihindari. Keluarga-keluarga kaya seolah ingin menunjukkan kemeriahaan slametan sebagai penegas status sosial yang membedakan mereka dengan warga lainnya. Apakah benar kemewahan perayaan terkait erat dengan gengsi sosial?Â
Mengikuti pemikiran Bordieu (1994), kemewahan dalam entas-entas memang bisa memunculkan habitus, struktur kebiasaan yang terstrukturkan dalam praktik sehari-hari, yang ditopang oleh kekuatan modal ekonomi sehingga bisa menjadi "modal kultural" (cultural capital) yang mampu mewujud sebagai moda untuk menegaskan status sosial keluarga tertentu.Â
Memang kesan tersebut muncul, tetapi hal itu bukan untuk menunjukkan perbedaan kelas sosial yang sengaja diperkuat secara simbolis melalui kemewahan. Bagaimanapun juga, kemajuan ekonomi telah melahirkan pemaknaan baru terhadap sebuah perayaan.Â
Warga Tengger juga tidak bisa menghindarkan diri dari usaha untuk menunjukkan kemajuan tersebut, sebagaimana banyak dijumpai di wilayah-wilayah pedesaan Tengger dan Jawa lainnya. Namun, apa yang harus dicatat adalah bahwa kehadiran kemewahan tersebut tetap dibingkai dalam kerangka ideologis kultural yang hidup dan berkembang dalam konteks zaman yang sedang 'bergerak.'
Artinya, transformasi kultural terkait ritual dan adat lain yang terjadi berlangsung pada "level permukaan", sedangkan pada "level dalam" masyarakat Tengger tetap memaknainya sebagai sebuah kewajiban tradisi. Â
Dalam level permukaan, mereka bisa berpesta menikmati suguhan makanan dan minuman, sembari menari atau menikmati pertunjukan tayub. Namun dalam hati mereka, ada kepuasan ketika mereka bisa memenuhi panggilan tradisi serta bisa menghindari hadirnya walat (hukuman atas sebuah kesalahan di dunia) ketika mereka tidak menjalankan ritual tersebut.
Pesona-pesona Modernitas (yang Kontesktual)
Di samping slametan dan setya laksana, masuknya masyarakat Tengger ke dalam wacana dan praktik modernitas juga bisa dilihat dalam praktik hidup keseharian. Benda-benda yang menandakan hadirnya modernitas begitu melimpah dalam kehidupan wong Tengger.Â
Televisi, mobil, sepeda motor, pakaian-pakaian pabrikan, telepon seluler/HP, maupun makanan-makanan instan dengan mudah dijumpai dan sudah seperti menjadi bagian sah dari budaya masyarakat Tengger itu sendiri. Paling tidak, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kehadiran benda-benda industri budaya dalam kehidupan.Â
Pertama, gencarnya iklan di televisi atau media baru berbasis internet yang mereka tonton semakin mempersering "kontak imajinatif" mereka dengan produk-produk modernitas yang selalu menawarkan kemudahan.Â
Kedua, semakin seringnya mereka pergi ke wilayah bawah maupun kota, baik untuk kepentingan bejalar, belanja, maupun pemerintahan, menjadikan warga Tengger semakin biasa dengan kehidupan modern yang banyak ditandai oleh kehadiran produk tersebut. Ketiga, perkembangan ekonomi pertanian yang menyediakan kekuatan finansial untuk menghadirkan produk tersebut.
Ketika berada di rumah salah satu kerabat perangkat desa Wonokerso untuk kepentingan observasi persiapan ritual, saya melihat beberapa orang laki-laki menonton televisi sambil mempersiapkan kebutuhan ritual di ruang tamu. Sementara ibu-ibu memasak makanan di dapur.Â
Beberapa kali si perangkat desa menerima telepon dari warganya yang hendak mengurus KTP di kantor desa besok pagi. Menurut keterangannya, penggunaan HP sudah sangat biasa bagi wong Tengger dan dalam beberapa hal sangat membantu.
Dengan adanya HP, saya dan juga warga lainnya sangat terbantu, Mas. Dulu kami selalu kesulitan untuk ngontak kerabat yang ada di luar desa, kalaupun bisa kami harus menempuh perjalanan berjam-jam dengan kondisi jalan yang bertebing dan gelap kalau malam.Â
Yang repot lagi, kalau kami hendak menjual hasil panen karena kami harus menunggu sampai pembeli datang. Orang-orang Telkom males nyambung telepon ke sini karena membutuhkan biaya terlalu banyak.Â
Nah, dengan HP yang murah, kami bisa ngontak mereka ketika sayur sudah selesai dipanen. Cuma, susahnya di sini kadang-kadang sinyalnya putus-putus, maklum di nggunung. (Wawancara, 3 Juli 2006).
Pak Soeradjad, dengan kasus yang berbeda menambahkan bahwa dengan adanya HP untuk urusan-urusan penting dengan sesepuh Tengger, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan ritual, di wilayah lain bisa lebih mudah, tanpa harus berlama-lama menempuh perjalanan jauh (Wawancara, 10 Mei 2006).Â
Penjelasan Pak Soponyono dan Pak Soeradjad tersebut menunjukkan adanya sinergitas antara penggunaan HP dengan kepentingan ekonomi maupun sosial bagi wong Tengger.
Televisi juga sudah menjadi pelengkap kehidupan wong Tengger Wonokerso. Dari beberapa keluarga yang saya datangi, di ruang tamu selalu ada televisi berwarna, meskipun ukurannya berbeda-beda (dari 14 inch hingga 21 inch).Â
Keluarga Tengger biasanya tidak menikmati semua acara yang disajikan beberapa stasiun televisi. Mereka menonton hanya pada waktu-waktu tertentu, setelah semua pekerjaan ladang selesai di sore hari. Istri Kepala Desa Wonokerso menuturkan:
Nonton teve itu ya hanya sekedar hiburan, Mas. Ya, itung-itung melepas lelah, setelah bekerja di ladang, soalnya di sini jarang ada hiburan, kecuali tayuban dan wayang topeng. Biasanya saya suka nonton sinetron, tapi ya selalu tidak sampai selesai karena sudah lelah, ngantuk, sehabis bekerja di ladang.Â
Kalau bapaknya lebih suka nonton Seputar Indonesia atau Liputan Enam. Kalau anak saya yang SD suka film kartun dan yang SMP lebih suka sinetron anak-anak SMA, itu yang di SCTV. (Wawancara 2 Juni 2006).
Menonton televisi, dengan demikian, menjadi aktivitas rekreatif bagi keluarga Tengger untuk melepas rasa lelah dan capek setelah bekerja di ladang. Sementara untuk sepeda motor maupun mobil, penggunaannya lebih diarahkan untuk mempermudah mobilitas mereka, terkait dengan urusan pertanian, pemerintahan, maupun kekeluargaan.
Memang, warga Tengger, dengan menikmati produk-produk modernitas tersebut, bisa saja membayangkan diri mereka sebagai bagian dari budaya luar yang tengah berkembang ke arah konsumsi modern berciri pemenuhan gaya hidup dan sekaligus menunjukkan status sosial yang berbeda (Douglas & Isherwood, 1979: 75; Ewen, 2000: 47-56; Fuat, 1995: 120; McCraken, 1988: 59 & 68).Â
Mereka telah melakukan orientasi kultural ke luar sebagai usaha untuk mengikuti wacana ideologis kemajuan pembangunan secara nasional, namun mereka tidak sepenuhnya menganggap luar sebagai yang terbaik. Mereka tetap saja menemukan kontekstualisasi dari proses adaptasi terhadap budaya modern yang semakin banyak hadir dalam ruang desa.Â
Masyarakat Tengger Wonokerso memaknai kehadiran produk-produk budaya modern sebagai bagian dari kehidupan mereka, tetapi melalui pemahaman kontekstual yang bisa mempermudah urusan-urusan mendesak, terkait transaksi hasil pertanian maupun urusan sosio-kultural.Â
Mereka memang tidak bisa menolak lagi HP, televisi, mobil, motor, maupun pakaian-pakaian terbaru, tetapi mereka tetap saja mempersepsikan dirinya sebagai wong gunung yang masih berpegang teguh pada tradisi yang berlaku. Mereka tetap saja melakukan slametan maupun sesembahan meskipun oleh banyak pihak dikampanyekan sebagai praktik pemborosan. Â Â
Simpulan: Berdaya di Ruang Antara
Masyarakat Tengger merupakan contoh bagaimana memaknai kembali kehadiran modernitas sebagai jejak makna peninggalan kolonial dan berlanjut hingga masa pascakolonial ke dalam konteks tradisi mereka.Â
"Ruang antara pascakolonial" yang mempertemukan kultur modern sebagai akibat peningkatan ekonomi warga dan kultur tradisi telah menjadi ruang untuk terus mendefinisikan dan meredefinisikan makna identitas yang selalu bergerak dan bertransformasi dalam perkembangan zaman.Â
Dalam banyak hal, terutama dalam persoalan makna simbolis kehadiran benda-benda modern, kehidupan kultural memang tengah bertransformasi mengkuti apa-apa yang terjadi dalam dunia luar.Â
Pertumbuhan ekonomi warga sebagai akibat revolusi hijau dalam bidang pertanian telah menjadikan mereka sebagai konsumen benda-benda modern yang sekaligus memberikan citra simbolis bagi posisi sosial mereka di tengah-tengah masyarakat.
Kemajuan ekonomi dan masuknya budaya modern ternyata tidak mampu menghegemoni kesadaran kultural dan mengubah atau menghilangkan praktik reliji yang mereka yakini. Kemajuan ekonomi, dalam beberapa hal, cenderung dijadikan strategi dan alat untuk memaknai kembali ajaran-ajaran tradisional yang mereka warisi dari para leluhur.Â
Bekerja giat di ladang untuk mendapatkan hasil finansial yang maksimal tidak semata-mata digunakan untuk mengkonsumsi benda-benda modern, namun digunakan sebagai sarana untuk terus mewujudkan ajaran-ajaran yang sudah ada, seperti cukup pangan, sandang, papan, memperoleh pengetahuan, maupun terjaganya kesehatan jasmani dan ruhani.Â
Dengan demikian, "percumbuan di ruang antara" yang beraroma mimikri dan hibriditas dari budaya tradisional dan modern telah menjadi strategi kedirian dan identitas yang bisa membangun dan menjaga kesadaran ideologis warga Tengger Wonokerso di tengah-tengah zaman yang dipenuhi oleh ideologi konsumsi sebagai akibat percepatan kapitalisme lanjut secara nasional.Â
Masyarakat Tengger memiliki keliatan kultural dalam menyikapi modernitas yang sudah mampu menembus dinginnya pegunungan dan putihnya kabut Bromo, tanpa harus kehilangan warisan leluhur mereka, meskipun beberapa desa Tengger yang lain sudah tidak menjadi Tengger lagi.
Rujukan
Althusser, Louis.1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.
Aschroft, Bill, Garret Griffiths, & Helen Tiffin. 1995. "General Introduction." Dalam Bill Aschroft, Garret Griffiths, & Helen Tiffin. The post-colonial studies reader. London: Routledge.
Bhabha, Hommi K.1994. The Location of Culture. London: Routledge.
Boggs, Carl.1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.
Bordieu, Pierre. 1994. "Structur, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic Power. Dalam Nicholas B.Dirk, Geoff Eley, & Sherry B. Ortner. Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Social Theory. Pricenton: Pricenton University Press.
Douglas, Mary & Isherwood, Mary.1979. The World of Goods, Toward an Anthropology of Consumption. New York: Routledge.
Ewen, Stuart.2000. "Images without Bottom." Dalam Juliet B. Schor & Douglas B. Holt. The Consumer Reader. London: The New Press.
Faruk.2007. Belenggu Pascakolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Palajar.
Foucault, Michel.1998. The Will to Knowledge, The History of Sexuality Volume IÂ (English translation by Robert Hurtley). London: Penguin Books.
Fuat, Firat.1995. "Consumer Culture or Culture Consumed?." Dalam Janeen A. Costa & Gary J. Bamossy (eds). Marketing in Multicultural World, Ethnicity, Nationalism, and Cultural Identity. London: Sage Publication.
Gramsci, Antonio. 1981. "Class, Culture, and Hegemony." Dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, & Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Hall, Stuart. 1982. "The Rediscovery of 'ideology': return of the repressed in media studies." Dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennet, James Curran, and Janet Woollacott (eds). Culture, Society, and the Media. London: Metheun.
_______. 1992.  "The Question of Cultural Identity." Dalam Stuart Hall, D. Held, & T. McGrew (eds). Modernity and Its Future. Cambridge: Polity Press.
_______. 1997. "The problem of ideology, Marxism without guarantees." Dalam David Morley and Kuan-Hsing Chen (ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.
Hefner, Robert W.1999. Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (terj. A. Wisnu Hardana & Imam Ahmad). Yogyakarta: LKiS.Â
McCracken, Grant.1988. "Clothing as Language: An Object Lesson in the Study of the Expressive Properties of Material Culture." Dalam Culture and Consumption, New Approaches to the Symbolic Character of Consumer Goods and Acitivities. Indiana: Indiana University Press.
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 1981. "Hegemony and Ideology in Gramsci." Dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, & Janet Woolacott (eds). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.
Robertson, Roland. 1995. "Globalization and 'Glocalization': Time-Space and Homogenity-Heterogenity." Dalam Mike Featherstone, Scott Lash, & Roland Robertson (Eds). Global Modernities. London: Sage Publication.
Steger, Manfred B.2006. Globalisme, Bangkitnya Ideologi Pasar (terj. Heru Prasetya). Yogyakarta: Iafadl.
Setiawan, Ikwan. 2007. "Transformasi Masa Lalu dalam Nyanyian Masa Kini: Hibridasi dan Negosiasi Lokalitas dalam Musik Populer Using.", Kultur, Vol. 1(2).Â
Sutarto, Ayu. 2001. Di Balik Mitos Gunung Bromo. Surabaya: Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.
___________2003a. "Perempuan Tengger: Sosok yang Setia kepada Tradisi." Bende, 1.
___________2003b. "Etnografi Masyarakat Tengger." Laporan Penelitian (belum dipublikasikan). Surabaya: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Thompson, John B.1984. Studies in The Theory of Ideology. California: California University Press.
van Dijk, Teun A. 1995. "Discourses semantics and ideology." Discourse and Society, Vol. 6(2).Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H