Penjelasan Pak Soponyono dan Pak Soeradjad tersebut menunjukkan adanya sinergitas antara penggunaan HP dengan kepentingan ekonomi maupun sosial bagi wong Tengger.
Televisi juga sudah menjadi pelengkap kehidupan wong Tengger Wonokerso. Dari beberapa keluarga yang saya datangi, di ruang tamu selalu ada televisi berwarna, meskipun ukurannya berbeda-beda (dari 14 inch hingga 21 inch).Â
Keluarga Tengger biasanya tidak menikmati semua acara yang disajikan beberapa stasiun televisi. Mereka menonton hanya pada waktu-waktu tertentu, setelah semua pekerjaan ladang selesai di sore hari. Istri Kepala Desa Wonokerso menuturkan:
Nonton teve itu ya hanya sekedar hiburan, Mas. Ya, itung-itung melepas lelah, setelah bekerja di ladang, soalnya di sini jarang ada hiburan, kecuali tayuban dan wayang topeng. Biasanya saya suka nonton sinetron, tapi ya selalu tidak sampai selesai karena sudah lelah, ngantuk, sehabis bekerja di ladang.Â
Kalau bapaknya lebih suka nonton Seputar Indonesia atau Liputan Enam. Kalau anak saya yang SD suka film kartun dan yang SMP lebih suka sinetron anak-anak SMA, itu yang di SCTV. (Wawancara 2 Juni 2006).
Menonton televisi, dengan demikian, menjadi aktivitas rekreatif bagi keluarga Tengger untuk melepas rasa lelah dan capek setelah bekerja di ladang. Sementara untuk sepeda motor maupun mobil, penggunaannya lebih diarahkan untuk mempermudah mobilitas mereka, terkait dengan urusan pertanian, pemerintahan, maupun kekeluargaan.
Memang, warga Tengger, dengan menikmati produk-produk modernitas tersebut, bisa saja membayangkan diri mereka sebagai bagian dari budaya luar yang tengah berkembang ke arah konsumsi modern berciri pemenuhan gaya hidup dan sekaligus menunjukkan status sosial yang berbeda (Douglas & Isherwood, 1979: 75; Ewen, 2000: 47-56; Fuat, 1995: 120; McCraken, 1988: 59 & 68).Â
Mereka telah melakukan orientasi kultural ke luar sebagai usaha untuk mengikuti wacana ideologis kemajuan pembangunan secara nasional, namun mereka tidak sepenuhnya menganggap luar sebagai yang terbaik. Mereka tetap saja menemukan kontekstualisasi dari proses adaptasi terhadap budaya modern yang semakin banyak hadir dalam ruang desa.Â
Masyarakat Tengger Wonokerso memaknai kehadiran produk-produk budaya modern sebagai bagian dari kehidupan mereka, tetapi melalui pemahaman kontekstual yang bisa mempermudah urusan-urusan mendesak, terkait transaksi hasil pertanian maupun urusan sosio-kultural.Â
Mereka memang tidak bisa menolak lagi HP, televisi, mobil, motor, maupun pakaian-pakaian terbaru, tetapi mereka tetap saja mempersepsikan dirinya sebagai wong gunung yang masih berpegang teguh pada tradisi yang berlaku. Mereka tetap saja melakukan slametan maupun sesembahan meskipun oleh banyak pihak dikampanyekan sebagai praktik pemborosan. Â Â
Simpulan: Berdaya di Ruang Antara