Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Percumbuan Budaya dalam Geliat Kabut Bromo

14 Maret 2023   14:58 Diperbarui: 16 Maret 2023   01:22 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dhukun memimpin Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum

Masyarakat Tengger selama ini seringkali dideskripsikan sebagai sekelompok orang yang masih kukuh dalam mempertahankan dan melestarikan tradisi nenek moyang, baik dalam praktik reliji maupun adat-istiadat. 

Sutarto (2001; 2003a; 2003b) menjabarkan bagaimana warga Tengger menjalani kehidupan dengan penuh penghargaan terhadap ajaran moralitas, reliji, serta praktik ritual yang bersumber pada warisan leluhur dan disosialisasikan secara ajeg oleh para dukun. 

Dalam konteks tersebut, masyarakat Tengger menempati posisi cukup unik dalam ranah kajian budaya karena di tengah-tengah modernitas, mereka masih mampu menghargai dan melanjutkan keyakinan tradisi yang dianggap sebagai paugeran dalam menjalani kehidupan sehari-hari. 

Masyarakat Tengger, dengan demikian, merupakan gambaran bagaimana usaha pemertahanan tradisi lokal di tengah-tengah wacana dan praktik kultural yang mengarah pada tradisi asing yang dianggap lebih maju.

Namun, kemajuan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan kerja-kerja ekonomi-produksi dalam bidang pertanian (dalam hal ini sayur-mayur), secara langsung juga membawa implikasi berupa perubahan sosio-kutlural dalam kehidupan masyarakat. 

Sebelum menjadi petani komersil, orang Tengger adalah petani subsisten yang lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok untuk meneruskan kehidupan dengan menanam jagung. 

Perubahan jenis tanaman dan pola tanam yang diperkenalkan oleh Belanda mulai abad ke-19 dan lebih diintensifkan lagi dengan revolusi hijau pada era rezim Orde Baru dengan keuntungan berlimpah telah membawa pengaruh cukup signifikan dalam konstruksi dan struktur sosial serta gaya hidup wong Tengger.

Hefner (1999: 187-264), dengan menggunakan perspektif ekonomi-politik dan analisis sejarah interpretif dalam penelitiannya di wilayah Kecamatan Tosari Pasuruan pada 1970-an, mencatat beberapa perubahan yang cukup mencolok dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat Tengger.

Pertama, sebagaimana terjadi pada wilayah-wilayah pertanian di dataran rendah, di wilayah Tengger juga terjadi perubahan dalam hal tenaga kerja pertanian. 

Sebelum memasuki era pertanian komersil, masyarakat Tengger mengenal beberapa pola tenaga kerja seperti kroyokan (pola tenaga kerja dari kerabat dekat), gentenan (pola tenaga kerja berkelompok yang menuntu balasan setimpal dari kerja yang sudah dilakukan), dan rewang (pola tenaga kerja yang melibatkan kerabat jauh dari generasi yang sama dan tanpa menuntu balasan). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun