Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Percumbuan Budaya dalam Geliat Kabut Bromo

14 Maret 2023   14:58 Diperbarui: 16 Maret 2023   01:22 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dhukun memimpin Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum

Salah satu bagian dalam ritual Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum Belanda
Salah satu bagian dalam ritual Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum Belanda

Kondisi negosiasi dan artikulasi ini memungkinkan terjadinya hibriditas yang ditandai dengan munculnya peniruan oleh pihak terjajah sehingga mereka seolah-olah masuk ke dalam lingkaran kuasa kolonial sehingga batas antara tradisi lokal dan tradisi modern menjadi kabur dalam keterikatan hibrid tersebut.

Apa yang harus dicatat adalah bahwa proses mimikri yang menghasilkan hibridasi kultural memiliki fungsi politis bagi pihak penjajah dan terjajah. Bagi pihak penjajah kesediaan pihak terjajah untuk meniru budaya mereka dianggap sebagai keberhasilan untuk melakukan penaklukan secara kultural sehingga penaklukan lain yang lebih berwarna ekonomi-politik bisa dengan mudah dicapai. 

Alih-alih menaklukkan, mimikri sebenarnya menjadi arena bagi pihak terjajah untuk menjalankan "strategi bunglon" karena pihak terjajah tidak sepenuhnya meniru tetapi sekaligus mengejek (mockery) dengan kesadaran yang tetap berbasis tradisi lokal sehingga mereka tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh penjajah. 

Artinya, mereka memang meniru, tetapi peniruan tersebut sekaligus menjadi perlawanan terhadap kesempurnaan kuasa wacana dan praktik kolonial karena apa-apa yang mereka miliki, meskipun pada kenyataannya berbeda dengan yang ada di masyarakat setempat, mampu diadopsi, demi kepentingan  pihak terjajah itu sendiri. 

Fungsi pengawasan yang diharapkan berhasil oleh kolonial, ternyata bisa diganggu dengan peniruan yang hampir sama tetapi tidak sepenuhnya sama dan dirayakan oleh pihak terjajah secara kreatif. Seperti diungkapkan Foucault (1988: 95-96), bahwa akan selalu muncul resistensi di tengah-tengah kuasa yang dibangun secara diskursif. 

Hal itu bisa terjadi ketika subjek-subjek yang dikuasai secara diskursif mampu membangun strategi dan kreativitas yang bisa mendefinisikan dan mendekonstruksi kembali kuasa tersebut secara simultan dan mobile.

Dari proses inilah identitas dan tradisi-lokal yang masih dijalani masyarakat lokal hingga saat ini terbentuk; sebuah persilangan terus-menerus bernuansa negosiasi, rekonstruksi, dan resistensi yang ajeg dan transformatif dari masa kolonial hingga poskolonial (Ashcroft, Griffiths, Tiffin, 1995: 2). 

Dengan demikian, membicarakan identitas sosio-kultural atau tradisi lokal tentu tidak bisa hanya berpijak pada esensialisme karena semua itu merupakan "proses yang terus menjadi" yang ditandai dengan fragmentasi kode-kode, pluralisasi, dan persilangan wacana dan praktik kultural (Hall, 1992). 

Lebih-lebih pada era globalisasi saat ini di mana segala yang berbau asing seakan sudah menjadi "anggota keluarga sendiri" pada sebuah masyarakat lokal (Steger, 2006). 

Tradisi bukan lagi menjadi praktik dan wacana yang selamanya diposisikan secara stereotip karena ragam kultural tentu akan semakin banyak mengisi imajinasi dan realitas sehingga sangat mungkin akan muncul pluralisasi kultural yang diwarnai kontestasi produk "budaya glokal" (hibridari budaya global dan lokal) terhadap budaya global arus utama (Robertson, 1995).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun