Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Percumbuan Budaya dalam Geliat Kabut Bromo

14 Maret 2023   14:58 Diperbarui: 16 Maret 2023   01:22 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dhukun memimpin Entas-entas di Podokoyo, Pasuruan, sekira 1941-1953. Sumber: Tropenmuseum

Namun dari persiapan hingga pelaksanaan ritual, bisa diketahui bahwa biaya yang dibutuhkan cukup banyak, baik yang digunakan untuk keperluan hidangan/makanan maupun pertunjukan. Pak Kades dan kerabatnya menyembelih 5 ekor sapi, 2 ekor kambing, dan 10 ekor ayam. 

Menu masakan yang terbuat dari daging sudah menjadi kewajaran bagi ritual entas-entas, baik yang dimasak rawon, gule, sate, hingga ayam bakar. 

Dalam konteks ekonomi modern, praktik Entas-entas bisa jadi dianggap sebagai pemborosan. Namun, dalam konteks masyarakat Tengger yang masih begitu kukuh dalam menjalani tradisi, biaya konsumsi untuk ritual semata-mata ditujukan untuk memberikan penghormatan dan penyempurnaan kepada leluhur sebagai generasi yang telah melahirkan mereka.  

Selain itu, juga bertujuan memberikan kesenangan kepada para tamu, kerabat, dan tetangga yang telah ikut mensukseskan acara. Ketika kebutuhan makanan terpenuhi, maka secara logika orang-orang yang terlibat dalam acara akan melakukannya dengan senang hati sehingga entas-entas bisa berjalan dengan sempurna. 

Pelaksanaan Entas-entas yang cukup meriah, memang menyisakan beberapa pertanyaan: (a) sejak kapan praktik tersebut berlangsung; (b) mengapa harus demikian; dan, (c) apa yang menyebabkannya? 

Meskipun saya tidak mendapatkan data sejak kapan praktik tersebut berjalan di kawasan Tengger, informasi yang diberikan Hefner (1999:  308) tentang perubahan ritual di Tosari, Kabupaten Pasuraun, bisa membantu interpretasi terhadap permasalahan tersebut.

Secara historis, tingkat kemewahan sebuah perayaan bervariasi menurut kemakmuran ekonomi secara umum. 

Pada masa sulit, seperti pada tahun 1931 dan 1950, dan kembali awal 1960-an, perayaan diturunkan skalanya dan dikurangi biayanya. Pada masa peningkatan ekonomi, seperti pada tahun 1920-an, pertengahan 1950-an, dan 1970-an, biaya rata-rata perayaan meningkat. 

Pada akhir 1970-an, ketika pendapatan petani meningkat akibat sistem pertanian yang baru, biaya nyata rata-rata perayaan melambung tinggi hingga lima atau enam kali lipat dari biaya yang biasa dihabiskan untuk hal yang sama pada tahun 1960-an.

Perayaan yang terbesar dihadiri oleh ribuan tamu, dan masing-masing menghabiskan biaya tiga atau empat ribu dolar, jauh melebihi pendapatan tahunan rata-rata keluarga. Perayaan yang bergengsi tidak lengkap tanpa menyembelih beberapa ternak, penggunaan generator untuk lampu dan musik rekaman, dan kehadiran penari tayuban dan kelompok drama ludruk dari kota di daerah bawah.

Informasi Hefner tersebut memberikan satu gambaran tentang fleksibilitas kontekstual warga Tengger dalam menjalani Entas-entas. Yang pasti, kemerihaan tersebut sangat dipengaruhi oleh peningkatan ekonomi yang berasal dari pertanian sayur-mayur yang sudah berlangsung sejak jaman kolonial dan berlanjut hingga saat ini, meskipun selalu disesuaikan dengan kondisi ekonomi setiap tahun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun