Radikalisme, terorisme, dan intoleransi merupakan masalah serius yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Fakta masih ditemukannya sel-sel kelompok radikal dan teroris di beberapa daerah menjadi bukti bahwa bangsa ini tidak boleh lengah dalam menghadapi tumbuhnya radikalisme di di tengah-tengah masyarakat dan juga di tengah-tengah aparat pemerintah.Â
Tidak mengherankan kalau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diberikan wewenang penuh untuk melakukan tindakan pencegahan dan penanggulan terhadap radikalisme dan terorisme. Sebagai institusi negara, BNPT melakukan dua pendekatan, yakni hard power dan soft power (BNPT, 2019).Â
Pendekatan hard power melibatkan operasi bersenjata untuk menangangi ancaman kelompok-kelompok teroris. Sementara, soft power dilakukan dengan cara menyiapkan kajian tentang akar radikalisme dan terorisme serta menciptakan perangkat perundang-undangan serta kebijakan yang bisa menyentuh akar permasalahan. Pendekatan tersebut tepat karena radikalisme dan terorisme bukanlah persoalan jangka pendek, tetapi jangka panjang yang tidak bisa selesai hanya dengan penggunaan senjata.
Dalam ranah akademis beberapa literatur juga menegaskan pentingnya tindakan pencegahan dan penanggulangan dalam menangani  radikalisme dan terorisme. Jazuli (2016) menjelaskan hard approach sebagai penindakan dan penegakan hukum terhadap pelaku teroris sehingga dapat dijatuhi hukum sesuai per aturan perundang-undangan yang berlaku.Â
Sementara, soft approach berupa pembinaan terhadap masyarakat (untuk mengantisipasi potensi radikalisme) dan penggalangan terhadap napi teroris dan mantan napi teroris denganmelakukan upaya deradikalisasi baik secara sosial maupun individual serta mengawasi dan mengejar aliran dana (follow the money) teroris.Â
Pendekatan inilah yang sejalan dengan strategi penegakan hukum proaktif sehingga kemungkinan untuk melakukan tindakan pencegahan (preventif) dapat diupayakan lebih dini. Terkait dengan soft power/approach dalam penanganan terorisme dan radikalisme, BNPT juga telah melakukan program-program kreatif di berbagai ranah.Â
Kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya ditingkatkan untuk memberikan wacana dan pengetahuan kepada para mahasiswa dan siswa. BNPT juga bekerjasama dengan para youtuber untuk membuat konten-konten yang kreatif dan cerdas sebagai upaya mencegah tumbuhnya radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme.Â
Yang tidak kalah menariknya, BNPT juga melakukan kajian tentang kontribusi penting kerarifan lokal, termasuk ekspresi kesenian dan budaya, untuk tindakan pencegahan. Kontribusi kearifan lokal menempati urutan pertama, baru kemudian disusul tingkat kesejahteraan, kebebasan, kepercayaan publik, keadilan, pertahanan, dan keamanan (Bisnis.com, 2019).
Selama dua tahun penelitian di Banyuwangi dan Ponorogo (2018-2019) terkait kebijakan budaya saya dan tim menemukan indikasi bahwa budaya lokal bisa memainkan peran penting dalam mencegah berkembangnya radikalisme dan terorisme karena keragaman dan keindahan budaya bisa membentengi kaum muda dari tumbuhnya radikalisme.Â
Terkait upaya pencegahan radikalisme, saya berasumsi bahwa komunitas seni berbasis etnisitas di sebuah wilayah bisa berkontribusi secara signifikan dalam usaha pencegahan radikalisme dan terorisme.Â
Untuk mendikusikan asumsi konseptual tersebut, tulisan ini akan mendeskripsikan: (1) kontribusi komunitas seni terhadap pemunculan kesadaran generasi penerus bangsa akan bahaya radikalisme, pikiran dan tindakan intoleran, dan terorisme; (2) aktivitas komunitas untuk menyukseskan tujuan tersebut; dan, (3) bagaimana seharusnya pemerintah memposisikan kontribusi komunitas seni tersebut dalam desain kebijakan budaya.
RADIKALISME & JALAN BUDAYA
Dalam pemahaman klasik, menurut Schmid (2013: 8), radikalisme merupakan paham yang mendukung perubahan politik berdasarkan keyakinan bahwa status quo tidak bisa diterima, sedangkan pada saat bersamaan sebuah alternatif yang secara fundamental berbeda muncul yang diposisikan sebagai sesuatu yang secara radikal bisa membawa perubahan.Â
Selain itu, radikalisme juga dipahami sebagai sarana yang mampu membawa solusi radikal bagi transformasi sistem untuk pemerintah dan masyarakat yang bisa berupa gerakan non-kekerasan dan demokratis (melalui persuasi dan reformasi) maupun melalui gerakan kekerasan dan non-demokratis (melalui kekerasan dan revolusi).Â
Dalam perkembangannya, sejak gerakan teror mulai marak pada era 2000-an, pemahaman akan radikalisme juga mengalami perubahan. Ancaman teror yang dialami masyarakat di banyak negara, memunculkan pemaknaan baru terhadap radikalisme yang diposisikan sebagai sumber bagi lahirnya radikalisasi dan terorisme, khususnya yang berbasis keyakinan politik atau agama tertentu dan membawa banyak korban. Radikalisasi menjadi istilah yang mulai tumbuh subur di beberapa negara Eropa dan AS.Â
Schmid (2013: 12) menjelaskan beberapa definisi radikalisme yang digunakan di beberapa negara. Danish Security and Intelligence Service (PET) mendefinisikan radikalisme sebagai sebuah proses di mana seseorang menerima penggunaan sarana non-demokratis dan kekerasan, termasuk terorisme, dalam usaha untuk meraih tujuan politik/ideologis khusus.Â
The Netherlands General Intelligence and Security Service (AIVD) memaknai radikalisasi sebagai usaha dan atau dukungan aktif untuk perubahan besar dalam masyarakat yang bisa membahayakan aturan hukum demokratis dengan melibatkan metode tak-demokratis yang bisa merusak tatanan legal yang demokratis.Â
Menurut US Department of Homeland Security (DHS), radikalisasi merupakan proses mengadopsi sistem keyakinan ekstrimis, sebagai metode, termasuk kehendak untuk menggunakan, mendukung, atau memfasilitasi kekerasan, sebagai metode untuk mempengaruhi perubahan sosial.Â
Adapun Swedish Security Service (Spo) menjelaskan radikalisasi sebagai proses yang menggerakkan aktivimse ideologis atau religius untuk mengenalkan perubahan radikal kepada masyarakat serta proses yang menjadikan individu atau kelompok untuk menggunakan, mempromosikan, atau mendukung kekerasan untuk tujuan politik.Â
Dari pengertian-pengertian di atas bisa dibuat pemahaman sederhana bahwa radikalisme merupakan pemikiran atau ideologi yang berusaha mengubah tatanan sosial dan politik masyarakat secara radikal dengan cara-cara kekerasan. Radikalisme bisa mengarah pada radikalisasi yang bisa menggunakan basis politik atau agama tertentu guna mencapai cita-cita kelompok dalam melakukan perubahan mendasar dalam masyarakat.Â
Radikalisme dan radikalisasi telah melahirkan terorisme yang berakibat fatal berupa korban jutaan manusia di berbagai belahan dunia. Kondisi inilah yang harus disikapi secara serius dalam konteks Indonesia. Apalagi sejak awal 2000 sampai sekarang, teror yang dilakukan oleh kelompok radikal telah membunuh tidak sedikit warga negara Indonesia atau warga negara asing yang berada di wilayah negara ini. Selain itu, adalah kenyataan bahwa  penyebaran paham radikal berbasis agama di Indonesia masih menguat.
Secara kuantitatif, aparat keamanan Indonesia memang mampu mengurangi gerak para teroris. Namun, masih permasalahan-permasalahan politik yang menghambat usaha sistematis pembasmian radikalisme dan terorisme. Salah satunya adalah masih kuatnya anggapan bahwa pembasmian teroris memiliki agenda untuk melemah dunia Islam di mana Indonesia adalah salah satunya (Smith, 2005).Â
Kedua, kuatnya mobilisasi kebencian dan intoleransi untuk mewujudkan kepentingan politik kelompok atau tokoh politik tertentu seperti yang tampak pada kasus pemilihan gubernur Jakarta tahun 2016 (Mietzner & Muhtadi, 2018; Lim, 2017). Ketiga, masih kuatnya mobilisasi populisme agama tertentu yang memposisikan kesadaran dan sentimen populer berbasis agama  sebagai cara utama untuk mewujudkan tujuan politik tertentu (Hadiz, 2018, 2013, 2008; Hadiz & Robison, 2012).Â
Untuk itulah dibutuhkan strategi dan mekanisme yang tepat untuk mencegah berkembangnya radikalisme dan radikalisasi di Indonesia. Sebenarnya, masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki modal sosial dan kultural yang cukup untuk mencegah radikalisme dan radikalisasi. Ikatan, solidaritas, dan kohesi sosio-kultural yang relatif masih bagus di tengah-tengah masyarakat bisa menjadi modal penting.Â
Ruang kultural (cultural sphere) bisa menjadi alternatif untuk mencegah penyebaran radikalisme. Secara konseptual,ruang kultural merupakan ruang ekspresi di mana semua warga bisa berpartisipasi untuk menjalankan agenda-agenda bersama dalam suasana guyub, rukun, dan bergembira, dengan tujuan menegosiasikan dan terus mengembangkan kekayaan tradisi.Â
Semua warga berhak memberikan masukan terkait pelestarian dan pengembangan serta berhak terlibat langsung, baik secara aktif maupun pasif, dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama, tanpa memandang status sosial mereka. Konsep ini memodifikasi konsep ruang publik yang ditawarkan Harbermas (1989).Â
Secara sederhana, ruang publik (public sphere), dalam pemahaman Harbermas, merupakan sebuah area dalam kehidupan sosial di mana semua individu berkumpul bersama-sama untuk membahas dan mengidentifikasi permasalahan-permasalahan sosial. Dalam lingkup masyarakat lokal, banyak tempat yang dijadikan ruang kultural, seperti balai desa, balai dusun, tanah lapang, komunitas/sanggar seni, dan lain-lain.Â
Kerangka konseptual di atas akan menjadi pijakan untuk menganalisis data primer dari penelitian di Kabupaten Banyuwangi dan Ponorogo Jawa Timur dengan fokus kebijakan budaya untuk memberdayakan komunitas seni dan mencegah radikalisme. Data primer berasal dari observasi terlibat dan wawancara mendalam dengan para pelaku kesenian di komunitas seni dari dua kabupaten tersebut.Â
Selain itu, saya juga menganalisis data sekunder dari media online yang terkait persoalan untuk memperkuat konsep yang ditawarkan. Analisis diarahkan untuk mengungkap krontribusi penting komunitas seni sebagai ruang kultural yang berperan menyemaikan kreativitas estetik.Â
Imajinasi dan konstruksi berpikir yang beorientasi kepada keindahan dan kreativitas karya mendorong anggota sanggar seni untuk menolak paham-paham radikal yang bertujuan menghancurkan bangunan kerukunan, solidaritas, dan kebangsaan. Pada bagian akhir saya akan mengusulkan agar pemerintah membuat kebijakan budaya yang menempatkan komunitas seni lokal sebagai bagian strategis dalam penumbuhan kesadaran kreatif dan kesadaran berbangsa yang bisa mencegah radikalisme.
MENJADI KREATIF MELALUI KERJASAMA & TOLERANSIÂ
 Di Banyuwangi, terdapat dua kategori sanggar (komunitas seni). Pertama, sanggar seni yang hanya berkegiatan ketika mendapatkan job pertunjukan. Biasanya sanggar seni seperti ini mengelola seni rakyat berbasis etnis seperti gandrung (tari pergaulan), janger (drama tradisional), jaranan, dan reyog.Â
Kedua, sanggar seni yang menjadi tempat pelatihan tari dan musik kreasi berbasis kesenian rakyat. Sanggar seni ini dikelola secara modern dengan sistem pelatihan sistematis. Saya, pertama-tama, akan menganalisis aktivitas kreatif yang dilakukan di sanggar seni melatih para anggotanya skill tari dan musik.Â
Komuntias seni merupakan ruang kultural tempat di mana para pengurus dan anggota memiliki kesempatan dan kesetaraan dalam memperoleh kemampuan dan pengetahuan seni. Selain itu, di ruang ini, mereka bisa belajar untuk mengembangkan kreativitas melalui penciptaan tari kreasi yang mengkolaborasikan kesenian etnis dan kesenian-kesenian lain.Â
Salah satu kegiatan utama di komunitas seni di Banyuwangi adalah latihan rutin di mana para anggota didampingi seorang atau beberapa pelatih berlatih gerakan-gerakan tari dasar ataupun tari garapan. Gerakan tari dasar bertujuan untuk memberikan kemampuan dan pengetahuan dasar kepada para anggota tentang dasar-dasar koreografi sehingga mereka memiliki bekal kreatif untuk berlatih tari-tari kreasi.Â
Latihan dasar ini tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi berulang kali sampai para anggota komunitas memahami. Meskipun tampak biasa dan tidak bernilai apa-apa selain proses pembelajaran tari seperti di tempat-tempat lain, dari latihan dasar ini para anggota mendapatkan beberapa pengalaman yang akan bermanfaat.Â
Pertama, mereka bisa merasakan kegembiraan dan kebahagiaan meskipun harus mengurus tenaga. Kegembiraan dan kebahagiaan tersebut muncul karena mereka bisa bertemu dan berlatih bersama kawan sebaya dan pelatih. Mereka juga mendapatkan pengetahuan yang bisa jadi belum pernah mereka dapatkan. Pengalaman sederhana tersebut akan menghadirkan ingatan positif tentang keindahan proses berkesenian.Â
Kedua, belajar gerakan-gerakan dasar tari yang membutuhkan waktu tidak hanya sekali, bisa melatih para anggota untuk mengembangkan sikap sabar yang penting untuk proses pembentukan diri dan pembuatan karya, baik di sanggar seni maupun di tempat-tempat lainnya.Â
Ketiga, sejak dini mereka akan mendapatkan pelajaran estetika yang memosisikan keindahan sebagai orientasi untuk menghasilkan karya seni. Kecintaan terhadap keindahan ini bisa menghindarkan mereka dari hasrat destruktif. Pengalaman dan pengetahuan estetik itulah yang menjadikan mereka tidak mudah dipengaruhi dengan dogma-dogma radikal karena terbiasa memahami dan mempraktikkan estetik.Â
Latihan untuk penciptaan tari kreasi berbasis kesenian lokal/etnis bersifat lebih kompleks, karena tidak hanya membutuhkan kesabaran, tetapi juga pikiran kreatif untuk menghasilkan sebuah karya. Menurut Dwi Agus Cahyono, Ketua Sanggar Seni Kuwung Wetan, Desa Rejoagung, Kecamatan Srono, Banyuwangi, tidak semua sanggar seni di Banyuwani bisa menghasilkan tari kreasi berbasis kesenian etnis karena beberapa alasan.Â
Pertama, kurangnya pengetahuan estetik terkait koreografi dan pemahaman budaya lokal sebagai konteks. Banyak pelatih bisa membuat tari garapan seperti gabungan seni drama, drama dan tari. Namun tidak banyak yang bisa menjadikan karya mereka memiliki kekuatan kultural karena tidak sesuai dengan konteks sejarah dan budaya.Â
Kedua, kurangnya kemauan untuk belajar dari banyak pihak tentang proses penciptaan sebuah karya dan kekayaan makna kulturalnya. Ketiga, kurangnya keberanian keluar dari zona nyaman. Seringkali pengurus sebuah sanggar sudah merasa puas kalau mereka sudah bisa mempersembahkan karya di hadapan pejabat pemerintah. Masalahnya, gelaran pertunjukan yang disaksikan pejabat seringkali tidak membutuhkan persiapan  complicated sehingga tidak perlu tenaga dan pikiran yang terlalu serius.
Kompleksitas penciptaan karya tersebut bukan hanya menjadi arena untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan pengurus dan anggota sanggar. Lebih dari itu, mereka dituntut untuk berimajinasi secara merdeka, tetapi tetap menimbang kompleksitas sejarah dan budaya lokal.Â
Dengan pemahaman itu karya yang akan dhasilkan tentu bisa memiliki kekayaan dan kekuatan estetik sekaligus memiliki pesan tertentu yang disampaikan kepada publik karena berkorelasi dengan permasalahan-permasalahan tertentu dalam masyarakat. Diskusi rutin antara pengurus dan anggota untuk memecahkan permasalahan dan menemukan ide-ide inovatif selama proses penciptaan bisa memperkaya perspektif mereka tentang kebersamaan serta "imajinasi dan praksis relasional antarsubjek".Â
Pemahaman tersebut akan berkontribusi pada penumbuhan pemikiran konstruktif tentang peran penting kerjasama dengan banyak pihak. Pemahaman ini penting karena tanpa harus terjebak dalam model pedagogi, para pengurus dan anggota akan masuk ke dalam dimensi komunalisme dan kerjasama yang menghormati dan menghargai kontribusi semau pihak. Spirit untuk terus menghargai kontribusi positif orang lain, sekecil apapun, akan mengajarkan sikap "toleransi" dalam hubungan antarmanusia.
Kemampuan untuk memproduksi tari berbasis budaya lokal yang dikombinasikan dengan pengetahuan dan skills modern mengindikasikan keberanian untuk melakukan dialog antarperadaban. Menerima nilai kultural dan bentuk estetik yang berbeda dari budaya para seniman sanggar tentu bukan pekerjaaan mudah.Â
Apalagi mereka berkarya di sebuah daerah di mana persoalan pakem bisa menjadi perdebatan dan sumber konflik. Ketika para seniman berani menempuh jalan dialog dan dialektika antarperadaban mereka akan terbiasa untuk membangun "jembatan kreatif" dengan prinsip yang lokal tidak kalah dengan yang global.Â
Prinsip mempertemukan gerakan-gekaran tari lokal non-Banyuwangi ke dalam tari kreasi berbasis kesenian lokal Banyuwangi tentu akan membiasakan para seniman muda dengan bermacam perbedaan dalam menjalani kehidupan ataupun dalam menjalani penciptaan kreatif. Satu pelajaran berharga yang bisa diambil adalah karya yang memadukan bermacam elemen tanpa harus kehilangan elemen lokal merupakan buah dari keterbukaan dan toleransi dalam hal pemikiran dan budaya.
Keberhasilan menciptakan sebuah karya merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagi pelatih dan anggota sanggar. Apalagi karya tersebut merupakan hasil eksplorasi budaya lokal secara artikulatif dan kreatif. Budaya lokal merupakan penanda identitas sebuah komunitas yang memiliki kesamaan historis, karakteristik, dan solidaritas.Â
Salah satu kekuatan budaya lokal adalah kekuatannya untuk menumbuhkan dan mengikat solidartias antarwarga dalam gerak dinamis peradaban modern. Karya-karya yang diciptakan dari kekayaan dan keragaman budaya lokal bisa menjadi tawaran kreatif-strategis kepada anggota masyarakat, khususnya generasi muda, agar mereka selalu menumbuhkan kebanggaan akan identitas komunal.Â
Kebanggaan tersebut merupakan kebanggan konstruktif karena tidak berhenti sekedar bangga, tetapi mengembangkannya melalui penciptaan yang bisa dipertontonkan di hadapan publik. Pertunjukan publik, setidaknya, bisa membuat warga bangga akan budaya lokal mereka melalui kecintaan terhadap estetika yang dihasilkan dari eksplorasi lokalitas.Â
Budaya lokal, dalam kondisi demikian, bisa ditransformasi menggunakan formula modern seperti disiplin dalam penciptaan, keterbukaan untuk berdialektika, dan format karya yang dibatasi durasinya. Kebanggan kreatif itulah yang akan menjadikan mereka berpikir seribu kali untuk menerima ideologi atau ajaran yang ingin menghancurkannya, sebagaimana disampaikan oleh para radikalis.
EVEN-EVEN YANG MEMBANGGAKAN & MEMPERKUAT SOLIDARITASÂ
Contoh sederhana dari konsepsi tersebut adalah kebanggaan dan kecintaan warga Ponorogo ketika menyakiskan Festival Nasional Reyog Ponorogo 2019Â (selanjutnya disingkat FNRP), 26-30 Agustus 2019. Ribuan warga Ponorogo dan kabupaten tetangga seperti Madiun, Trenggalek, Pacitan, dan Wonogori.Â
Kehadiran mereka menunjukkan bahwa karya kreatif berbasis pakem reyog yang dikemas dalam bentuk festival dengan panggung spektakuler mampu menarik perhatian warga untuk datang. Masih banyaknya warga yang menggemari kesenian reyog bisa menghambat dan mencegah pengaruh ideologi radikal yang berbahaya bagi masyarakat di tingkat lokal.Â
Ketika ada para penyebar radikalisme hadir, mereka akan memanggil-kembali semua nilai dan praktik kultural yang membanggakan untuk digunakan sebagai filter dan tameng. Hal itu diperkuat dengan komunalisme antarwarga yang sama-sama penikmat reyog. Mereka rela turun dari wilayah perbukitan di sekitar Ponorogo menuju alun-alun kota dengan naik truk dan pick up.Â
Alun-alun Ponorogo menjadi ruang kultural tempat mereka bisa betergur-sapa dengan kawan, merawat kecintaan terhadap pertunjukan reyog yang menjadi identitas komunal dan kultural mereka. Kehadiran 36 Â komunitas reyog dari Ponorogo dan kabupaten/kota di Indonesia merupakan pengikat solidaritas kebudayaan yang terus berkembang secara dinamis dan bisa menjadi kekuatan untuk meredam tumbuhnya ideologi radikal.Â
Warga dengan karakteristiknya yang egaliter sudah memiliki orientasi budaya yang kuat sehingga ketika muncul wacana ideologis baru bersifat ekstrim dan cenderung menghilangkan keyakinan terhadap budaya lokal akan ditolak secara komunal. Â
Terlepas dari kemeriahan festival reyog, apa yang tidak kalah menarik untuk diungkap adalah keseriusan dan komitmen para seniman muda dalam arahan para seniman senior untuk berlatih. Tentu saja persiapan yang dilakukan tidak cukup 1 minggu atau 2 minggu. Idealnya, persiapan sebuah komunitas seni yang akan berkompetisi dalam FNRP adalah setahun.Â
Bisa dibayangkan betapa para anggota harus mengatur jadwal, menyiapkan tenaga fisik, dan mematangkan pikiran sebelum memutuskan ikut proses kreatif di komunitasnya masing-masing. Bukan persoalan mudah. Semua proses, dari latihan dasar reyog hingga komposisi koreografis harus mereka ikuti dengan disiplin tinggi.Â
Para anggota yang kehadirannya di latihan tidak konsisten akan dievaluasi dan digantikan anggota lain yang lebih siap. Mekanisme ini bukan sekedar cara pendisiplinan, tetapi cara untuk menumbuhkan semangat untuk mencintai budaya lokal secara serius, bukan sekedar untuk senang-senang.Â
Keseriusan dalam berlatih itulah yang akan memperkuat solidaritas di antara para seniman muda serta menghargai semua proses kreatif. Tidak mengherankan, mayoritas para seniman reyog yang pernah aktif di sanggar terus menunjukkan solidaritas dan kecintaan mereka terhadap kesenian ini. Bagi mereka mencintai reyog adalah proses yang sudah nggetih, benar-benar menyatu dalam pikiran dan gerak tubuh. Â
Peristiwa serupa tentang kebanggaan masyarakat terhadap hasil karya para seniman muda yang aktif di sanggar adalah Festival Gandrung Sewu, 12 Oktober 2019, di Pantai Boom, Banyuwangi. Seribu lebih penari yang berasal dari sanggar dan perwakilan sekolah SMP dan SMA se-Banyuwangi berkumpul di pinggir pantai.Â
Meskipun panas menyengat, mereka tetap bersemangat untuk mempersembahkan tari kolosal berbasis kesenian gandrung, salah satu identitas budaya Banyuwangi. Meskipun acara ini di-inisiasi oleh pemerintah kabupaten, para pelatih dan musisi yang terlibat dalam persiapan hingga pelaksanaan adalah para seniman muda di bawa kepemimpinan Dwi Agus Cahyono.Â
Even spektakuler yang dilaksanakan sejak tahun 2012 ini selain menjadi atraksi pariwisata yang digemari wisatawan domestik maupun mancanegara juga menjadi event untuk terus mentransformasi kesenian gandrung ke dalam kehidupan kontemporer masyarakat.Â
Meskipun menjadi tarian massal yang mempesona para penonton, para pelatih tetap mempertahankan pakem pertunjukan gandrung, tetapi sudah dimodifikasi untuk pertunjukan publik. Kesadaran untuk datang ke arena pertunjukan menandakan bahwa warga Banyuwangi bisa menerima tari gandrung massal dan mereka masih memiliki ikatan komunal yang terus dipertahankan hingga kini.
Selain itu, generasi muda yang terlibat dalam Festival Gandrung Sewu mendapatkan pengalaman berharga, sejak proses latihan hingga pertunjukan. Meskipun tidak sampai setahun untuk persiapan, para penari remaja akan pelajaran tentang kedisiplinan dan pengetahuan tentang tari gandrung.Â
Ikatan kebersamaan dalam proses latihan hingga pertunjukan akan menjadi nilai yang terus diingat sebagai kebaikan dalam menjalani proses budaya. Selain itu, mereka akan menjaga kecintaan dan solidaritas itu sebagai modal kultural dalam menjalani kehidupan sehingga tidak akan mudah dipengaruhi oleh wacana dan ideologi radikal.Â
Proses demikian menegaskan bahwa pencegahan radikalisme tidak harus melalui kampanye dan seminar, tetapi proses kebudayaan yang bisa memperkuat perspektif generasi muda tentang kreativitas dan kekayaan budaya lokal.
MENYIAPKAN KEBIJAKAN BUDAYAÂ
Pemerintah sudah seharusnya memikirkan mekanisme untuk mengelola kontribusi penting sanggar dalam mencegah radikalisme. Seminar dan kampanye memang penting, tetapi mengabaikan kontribusi sanggar akan menimbulkan kerugian. Mengapa? Sanggar seni selama ini menjadi tempat untuk mengembangkan kreativitas seni dan kultural.Â
Anak-anak, remaja, dan kaum muda mendapatkan pelatihan seni dan merasakan indahnya proses kreatif. Itu semua yang akan mengisi pikiran dan batin mereka dengan kecintaan terhadap karya estetik, bukan kecintaan terhadap tindakan radikal. Dengan demikian pencegahan radikalisme bisa dilakukan dengan cara-cara gembira.Â
Sudah semestinya pemerintah pusat dan darah membuat kebijakan budaya yang  tidak hanya berdimensi pengembangan dan pemberdayaan budaya, tetapi juga bisa mencegah berkembangnya pikiran dan tindakan radikal.
Banyak ahli memperingatkan bahwa pemerintah harus membuat kajian serius sebelum membuat kebijakan budaya. Bennet (2007) berpendapat bahwa tata kelola pemerintah berkontribusi terhadap keberhasilan kebijakan karena dapat membuat program yang disesuaikan dengan kebutuhan publik.Â
Pemerintahan yang baik akan menghasilkan kebijakan yang dapat mendorong terbentuknya subyek masyarakat yang terkena dampak. McGuigan (1996, 2003, 2004) menekankan bahwa kebijakan budaya memang memunculkan konsep regulasi dan kontrol, tetapi maknanya tidak harus terbatas pada tindakan operasional dan administratif oleh pejabat pemerintah.Â
Kebijakan budaya yang baik adalah kebijakan yang mampu memadukan berbagai aspek, seperti pertumbuhan teknologi, kemampuan manajerial pemerintah, dan bagaimana kekuatan kebijakan menyebar secara diskursif, bukan paksaan, kepada para pelaku budaya dan masyarakat luas di tengah-tengah situasi sosial, ekonomi, dan sosial. perubahan politik.
Dengan pemahaman tersebut bisa dikatakan bahwa kebijakan budaya bisa digunakan secara efektif untuk pengembangan budaya asalkan pemerintah juga memiliki konsep-konsep yang jelas dan bisa berdampak secara luas. Tentu saja, kebijakan budaya ini tidak hanya berkaitan dengan pelestarian dan pengembangan budaya.Â
Pemerintah juga bisa memanfaatkannya untuk mencegah radikalismes dan terorisme. Menggunakan model integrasi, kebijakan budaya bisa didesain untuk menumbuhkan dan memperkuat kreativitas generasi muda sehingga mereka akan memiliki modal berupa pengetahuan dan skills yang bisa akan membentuk pikiran dan batin mereka.Â
Selain siap menjadi generasi yang siap menyabut tantangan zaman dengan kreativitas, mereka juga akan terus mengembangkan kecintaan terhadap budaya lokal. Dengan demikian ketika menghadapi tawaran ide dan tindakan radikalisme, mereka sudah memiliki kekuatan kultural untuk menolaknya.
Â
RUJUKAN
Bennet, Tony. 2007. Critical Trajectories: Culture, Society, Intellectuals. Sydney: Blackwell Publishing.
Hadiz, V. R. 2013. "A New Islamic Populism and the Contradictions of Development." Journal of Contemporary Asia. Doi: 10.1080/00472336.2013.832790.
Hadiz, V. R., & Robison, R. 2012. "Political Economy and Islamic Politics: Insights from the Indonesian Case." New Political Economy, 17(2): 137-155. Doi: 10.1080/13563467.2010.540322.
Hadiz, V. R. 2008. "Towards a Sociological Understanding of Islamic Radicalism in Indonesia." Journal of Contemporary Asia, 38(4): 638-647.Â
Jazuli, A. 2016. "Strategi Pencegahan Radikalisme dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 10(2): 197-209.Â
Lim, Merlyna. 2017. "Freedom to hate: social media, algorithmic enclaves, and the rise of tribal nationalism in Indonesia." Critical Asian Studies. Doi: 10.1080/14672715.2017.1341188.
Smith, A. L. 2005. "The Politics of Negotiating the Terrorist Problem in Indonesia." Studies in Conflict & Terrorism, 28(1): 33-44.
Marcus, M., & Muhtadi, B. 2018. "Explaining the 2016 Islamist Mobilisation in Indonesia: Religious Intolerance, Militant Groups and the Politics of Accommodation." Asian Studies Review. Doi: 10.1080/10357823.2018.1473335.
McGuigan, Jim. 2004. Rethinking Cultural Policy. London: Sage Publications.Â
McGuigan, Jim. 2003. "Cultural Policy Studies". Dalam Justin Lewis dan Toby Miller (ed). Critical Cultural Policy Studies: Reader. Oxford: Blackwell Publishing.Â
McGuigan, Jim. 1996. Culture and Public Sphere. London: Routledge.Â
Repro Antara. 2019, 29 Agustus. "BNPT: Kearifan Lokal Bantu Tangkal Radikalisme." Kabar24.com. https://kabar24.bisnis.com/read/20190829/15/1142200/bnpt-kearifan-lokal-bantu-tangkal-radikalisme.
Schmid, Alex. 2013. "Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review". ICCT Research Paper. Netherland: International Centre for Counter-Terrorism.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H