Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Komunitas dan Even Seni: Ruang Kultural untuk Mencegah Radikalisme

21 Oktober 2022   11:29 Diperbarui: 4 November 2022   21:03 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komuntias seni merupakan ruang kultural tempat di mana para pengurus dan anggota memiliki kesempatan dan kesetaraan dalam memperoleh kemampuan dan pengetahuan seni. Selain itu, di ruang ini, mereka bisa belajar untuk mengembangkan kreativitas melalui penciptaan tari kreasi yang mengkolaborasikan kesenian etnis dan kesenian-kesenian lain. 

Salah satu kegiatan utama di komunitas seni di Banyuwangi adalah latihan rutin di mana para anggota didampingi seorang atau beberapa pelatih berlatih gerakan-gerakan tari dasar ataupun tari garapan. Gerakan tari dasar bertujuan untuk memberikan kemampuan dan pengetahuan dasar kepada para anggota tentang dasar-dasar koreografi sehingga mereka memiliki bekal kreatif untuk berlatih tari-tari kreasi. 

Latihan dasar ini tidak hanya dilakukan satu kali, tetapi berulang kali sampai para anggota komunitas memahami. Meskipun tampak biasa dan tidak bernilai apa-apa selain proses pembelajaran tari seperti di tempat-tempat lain, dari latihan dasar ini para anggota mendapatkan beberapa pengalaman yang akan bermanfaat. 

Pertama, mereka bisa merasakan kegembiraan dan kebahagiaan meskipun harus mengurus tenaga. Kegembiraan dan kebahagiaan tersebut muncul karena mereka bisa bertemu dan berlatih bersama kawan sebaya dan pelatih. Mereka juga mendapatkan pengetahuan yang bisa jadi belum pernah mereka dapatkan. Pengalaman sederhana tersebut akan menghadirkan ingatan positif tentang keindahan proses berkesenian. 

Kedua, belajar gerakan-gerakan dasar tari yang membutuhkan waktu tidak hanya sekali, bisa melatih para anggota untuk mengembangkan sikap sabar yang penting untuk proses pembentukan diri dan pembuatan karya, baik di sanggar seni maupun di tempat-tempat lainnya. 

Ketiga, sejak dini mereka akan mendapatkan pelajaran estetika yang memosisikan keindahan sebagai orientasi untuk menghasilkan karya seni. Kecintaan terhadap keindahan ini bisa menghindarkan mereka dari hasrat destruktif. Pengalaman dan pengetahuan estetik itulah yang menjadikan mereka tidak mudah dipengaruhi dengan dogma-dogma radikal karena terbiasa memahami dan mempraktikkan estetik. 

Latihan untuk penciptaan tari kreasi berbasis kesenian lokal/etnis bersifat lebih kompleks, karena tidak hanya membutuhkan kesabaran, tetapi juga pikiran kreatif untuk menghasilkan sebuah karya. Menurut Dwi Agus Cahyono, Ketua Sanggar Seni Kuwung Wetan, Desa Rejoagung, Kecamatan Srono, Banyuwangi, tidak semua sanggar seni di Banyuwani bisa menghasilkan tari kreasi berbasis kesenian etnis karena beberapa alasan. 

Pertama, kurangnya pengetahuan estetik terkait koreografi dan pemahaman budaya lokal sebagai konteks. Banyak pelatih bisa membuat tari garapan seperti gabungan seni drama, drama dan tari. Namun tidak banyak yang bisa menjadikan karya mereka memiliki kekuatan kultural karena tidak sesuai dengan konteks sejarah dan budaya. 

Kedua, kurangnya kemauan untuk belajar dari banyak pihak tentang proses penciptaan sebuah karya dan kekayaan makna kulturalnya. Ketiga, kurangnya keberanian keluar dari zona nyaman. Seringkali pengurus sebuah sanggar sudah merasa puas kalau mereka sudah bisa mempersembahkan karya di hadapan pejabat pemerintah. Masalahnya, gelaran pertunjukan yang disaksikan pejabat seringkali tidak membutuhkan persiapan  complicated sehingga tidak perlu tenaga dan pikiran yang terlalu serius.

Kompleksitas penciptaan karya tersebut bukan hanya menjadi arena untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan pengurus dan anggota sanggar. Lebih dari itu, mereka dituntut untuk berimajinasi secara merdeka, tetapi tetap menimbang kompleksitas sejarah dan budaya lokal. 

Dengan pemahaman itu karya yang akan dhasilkan tentu bisa memiliki kekayaan dan kekuatan estetik sekaligus memiliki pesan tertentu yang disampaikan kepada publik karena berkorelasi dengan permasalahan-permasalahan tertentu dalam masyarakat. Diskusi rutin antara pengurus dan anggota untuk memecahkan permasalahan dan menemukan ide-ide inovatif selama proses penciptaan bisa memperkaya perspektif mereka tentang kebersamaan serta "imajinasi dan praksis relasional antarsubjek". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun