Pemahaman tersebut akan berkontribusi pada penumbuhan pemikiran konstruktif tentang peran penting kerjasama dengan banyak pihak. Pemahaman ini penting karena tanpa harus terjebak dalam model pedagogi, para pengurus dan anggota akan masuk ke dalam dimensi komunalisme dan kerjasama yang menghormati dan menghargai kontribusi semau pihak. Spirit untuk terus menghargai kontribusi positif orang lain, sekecil apapun, akan mengajarkan sikap "toleransi" dalam hubungan antarmanusia.
Kemampuan untuk memproduksi tari berbasis budaya lokal yang dikombinasikan dengan pengetahuan dan skills modern mengindikasikan keberanian untuk melakukan dialog antarperadaban. Menerima nilai kultural dan bentuk estetik yang berbeda dari budaya para seniman sanggar tentu bukan pekerjaaan mudah.Â
Apalagi mereka berkarya di sebuah daerah di mana persoalan pakem bisa menjadi perdebatan dan sumber konflik. Ketika para seniman berani menempuh jalan dialog dan dialektika antarperadaban mereka akan terbiasa untuk membangun "jembatan kreatif" dengan prinsip yang lokal tidak kalah dengan yang global.Â
Prinsip mempertemukan gerakan-gekaran tari lokal non-Banyuwangi ke dalam tari kreasi berbasis kesenian lokal Banyuwangi tentu akan membiasakan para seniman muda dengan bermacam perbedaan dalam menjalani kehidupan ataupun dalam menjalani penciptaan kreatif. Satu pelajaran berharga yang bisa diambil adalah karya yang memadukan bermacam elemen tanpa harus kehilangan elemen lokal merupakan buah dari keterbukaan dan toleransi dalam hal pemikiran dan budaya.
Keberhasilan menciptakan sebuah karya merupakan kebahagiaan yang luar biasa bagi pelatih dan anggota sanggar. Apalagi karya tersebut merupakan hasil eksplorasi budaya lokal secara artikulatif dan kreatif. Budaya lokal merupakan penanda identitas sebuah komunitas yang memiliki kesamaan historis, karakteristik, dan solidaritas.Â
Salah satu kekuatan budaya lokal adalah kekuatannya untuk menumbuhkan dan mengikat solidartias antarwarga dalam gerak dinamis peradaban modern. Karya-karya yang diciptakan dari kekayaan dan keragaman budaya lokal bisa menjadi tawaran kreatif-strategis kepada anggota masyarakat, khususnya generasi muda, agar mereka selalu menumbuhkan kebanggaan akan identitas komunal.Â
Kebanggaan tersebut merupakan kebanggan konstruktif karena tidak berhenti sekedar bangga, tetapi mengembangkannya melalui penciptaan yang bisa dipertontonkan di hadapan publik. Pertunjukan publik, setidaknya, bisa membuat warga bangga akan budaya lokal mereka melalui kecintaan terhadap estetika yang dihasilkan dari eksplorasi lokalitas.Â
Budaya lokal, dalam kondisi demikian, bisa ditransformasi menggunakan formula modern seperti disiplin dalam penciptaan, keterbukaan untuk berdialektika, dan format karya yang dibatasi durasinya. Kebanggan kreatif itulah yang akan menjadikan mereka berpikir seribu kali untuk menerima ideologi atau ajaran yang ingin menghancurkannya, sebagaimana disampaikan oleh para radikalis.
EVEN-EVEN YANG MEMBANGGAKAN & MEMPERKUAT SOLIDARITASÂ
Contoh sederhana dari konsepsi tersebut adalah kebanggaan dan kecintaan warga Ponorogo ketika menyakiskan Festival Nasional Reyog Ponorogo 2019Â (selanjutnya disingkat FNRP), 26-30 Agustus 2019. Ribuan warga Ponorogo dan kabupaten tetangga seperti Madiun, Trenggalek, Pacitan, dan Wonogori.Â
Kehadiran mereka menunjukkan bahwa karya kreatif berbasis pakem reyog yang dikemas dalam bentuk festival dengan panggung spektakuler mampu menarik perhatian warga untuk datang. Masih banyaknya warga yang menggemari kesenian reyog bisa menghambat dan mencegah pengaruh ideologi radikal yang berbahaya bagi masyarakat di tingkat lokal.Â