RADIKALISME & JALAN BUDAYA
Dalam pemahaman klasik, menurut Schmid (2013: 8), radikalisme merupakan paham yang mendukung perubahan politik berdasarkan keyakinan bahwa status quo tidak bisa diterima, sedangkan pada saat bersamaan sebuah alternatif yang secara fundamental berbeda muncul yang diposisikan sebagai sesuatu yang secara radikal bisa membawa perubahan.Â
Selain itu, radikalisme juga dipahami sebagai sarana yang mampu membawa solusi radikal bagi transformasi sistem untuk pemerintah dan masyarakat yang bisa berupa gerakan non-kekerasan dan demokratis (melalui persuasi dan reformasi) maupun melalui gerakan kekerasan dan non-demokratis (melalui kekerasan dan revolusi).Â
Dalam perkembangannya, sejak gerakan teror mulai marak pada era 2000-an, pemahaman akan radikalisme juga mengalami perubahan. Ancaman teror yang dialami masyarakat di banyak negara, memunculkan pemaknaan baru terhadap radikalisme yang diposisikan sebagai sumber bagi lahirnya radikalisasi dan terorisme, khususnya yang berbasis keyakinan politik atau agama tertentu dan membawa banyak korban. Radikalisasi menjadi istilah yang mulai tumbuh subur di beberapa negara Eropa dan AS.Â
Schmid (2013: 12) menjelaskan beberapa definisi radikalisme yang digunakan di beberapa negara. Danish Security and Intelligence Service (PET) mendefinisikan radikalisme sebagai sebuah proses di mana seseorang menerima penggunaan sarana non-demokratis dan kekerasan, termasuk terorisme, dalam usaha untuk meraih tujuan politik/ideologis khusus.Â
The Netherlands General Intelligence and Security Service (AIVD) memaknai radikalisasi sebagai usaha dan atau dukungan aktif untuk perubahan besar dalam masyarakat yang bisa membahayakan aturan hukum demokratis dengan melibatkan metode tak-demokratis yang bisa merusak tatanan legal yang demokratis.Â
Menurut US Department of Homeland Security (DHS), radikalisasi merupakan proses mengadopsi sistem keyakinan ekstrimis, sebagai metode, termasuk kehendak untuk menggunakan, mendukung, atau memfasilitasi kekerasan, sebagai metode untuk mempengaruhi perubahan sosial.Â
Adapun Swedish Security Service (Spo) menjelaskan radikalisasi sebagai proses yang menggerakkan aktivimse ideologis atau religius untuk mengenalkan perubahan radikal kepada masyarakat serta proses yang menjadikan individu atau kelompok untuk menggunakan, mempromosikan, atau mendukung kekerasan untuk tujuan politik.Â
Dari pengertian-pengertian di atas bisa dibuat pemahaman sederhana bahwa radikalisme merupakan pemikiran atau ideologi yang berusaha mengubah tatanan sosial dan politik masyarakat secara radikal dengan cara-cara kekerasan. Radikalisme bisa mengarah pada radikalisasi yang bisa menggunakan basis politik atau agama tertentu guna mencapai cita-cita kelompok dalam melakukan perubahan mendasar dalam masyarakat.Â
Radikalisme dan radikalisasi telah melahirkan terorisme yang berakibat fatal berupa korban jutaan manusia di berbagai belahan dunia. Kondisi inilah yang harus disikapi secara serius dalam konteks Indonesia. Apalagi sejak awal 2000 sampai sekarang, teror yang dilakukan oleh kelompok radikal telah membunuh tidak sedikit warga negara Indonesia atau warga negara asing yang berada di wilayah negara ini. Selain itu, adalah kenyataan bahwa  penyebaran paham radikal berbasis agama di Indonesia masih menguat.
Secara kuantitatif, aparat keamanan Indonesia memang mampu mengurangi gerak para teroris. Namun, masih permasalahan-permasalahan politik yang menghambat usaha sistematis pembasmian radikalisme dan terorisme. Salah satunya adalah masih kuatnya anggapan bahwa pembasmian teroris memiliki agenda untuk melemah dunia Islam di mana Indonesia adalah salah satunya (Smith, 2005).Â