Pernyataan Renjani sekaligus menjadi kritik keras terhadap keluarga yang membuang atau menitipkan anak-anaknya karena lahir dalam kondisi fisik tidak normal atau tidak sehat. Anak-anak itu dianggap sebagai aib yang bisa membuat malu dan turunnya harga diri orang tua.
Di samping itu, kelahiran mereka seringkali diasumsikan sebagai hilangnya bentuk perhatian orang tua, terutama siibu, ketika si anak masih berada dalam kandungan, lagi-lagi perempuan dipersalahkan.
Terlepas dari anggapan-anggapan general tersebut, mereka merupakan amanah Tuhan yang seburuk apapun harus tetap disyukuri dan dibahagiakan melalui usaha-usaha untuk menyembuhkannya, meskipun dalam kehidupan tetap tidak bisa sesempurna kawan-kawan lainnya.
Kesediaan Renjani untuk merawat mereka sekaligus menjadi kritik terhadap kebijakan pemerintah yang tidak banyak berpihak kepada anak-anak cacat atau yang menderita sakit parah, terutama yang berasal dari keluarga miskin.
Kalau Renjani dan Mbak Wid saja bisa melakukannya, sudah semestinya pemerintah bisa membuat kebijakan strategis untuk menyelamatkan, atau, minimal, menumbuhkan harapan hidup bagi mereka yang sebenarnya berhak hidup dan merasakan kebahagiaan di “secuil tanah surga ini”.
Renjani dengan masa lalunya yang begitu menyakitkan ternyata memilih tidak berhenti pada proses dan pengalaman meratapi dosa. Ia mampu melakukan satu tindakan untuk ‘memberikan harapan hidup’ bagi mereka yang secara medis divonis tidak bisa bertahan lama dan secara sosial diasingkan oleh keluarga yang seharunya bertanggung jawab.
“Kemungkinan hidup mereka memang tipis, tapi selama jantung mereka masih berdetak dan mereka masih bernafas harus ada yang memikirkan mereka sampai ajal mereka tiba,” tutur Renjani.
Keyakinan dan pilihannya untuk ‘memberikan kehidupan’, minimal sebelum ajal menjemput anak-anak tersebut, menegaskan kemauan dan keoptimisan dalam memperlakukan mereka, sehingga tidak harus menyerah kepada mekanisme medis ataupun takdir.
Pertimbangan untuk berbagi dalam konteks kemanusiaan, selama mereka masih bernafas, lebih menjadi pertimbangan utamanya. Mereka yang punya keterbatasan secara medis juga harus diperhatikan, sehingga, mungkin, akan muncul keajaiban karena mereka ada yang memperhatikan secara manusiawi.
Keyakinan Renjani untuk ‘memberikan kehidupan’, pada dasarnya menghadirkan kembali pengetahuan klasik tentang peran seorang perempuan dalam melahirkan dan melangsungkan kehidupan di bumi, tidak semata-mata sebagai ibu secara biologis, tetapi sebagai ibu transendental yang menghadirkan kehidupan awal di muka bumi, sebagaimana diceritakan dalam legenda-legenda penciptaan manusia.
Konsep tersebut dalam legenda maupun dongeng biasa disebut sebagai Tellus Mater/ Terra Mater atau Mother of Earth,Ibu Bumi yang bisa ditemukan di seluruh dunia dalam bentuk serta varian yang beragam.