MEMAKNAI-ULANG DOSA MASA LALU
Secara umum film ini menceritakan kehidupan Renjani yang menjadi ibu asuh bagi anak-anak difabel ataupun sakit parah yang dibuang atau dititipkan oleh orang tua mereka. Terdapat dua faktor yang mendasari pilihan ideologis tersebut.Â
Pertama, ketika berada dalam kereta menuju Yogyakarta untuk menenangkan pikiran akibat masalah yang dihadapinya, ia bertemu dengan seorang perempuan yang disuruh membuang anak cacat oleh orang tuanya sendiri.Â
Kedua, Renjani pernah mengalami peristiwa yang menimbulkan trauma dan penderitaan fisik, yakni ketika ia dipaksa untuk melakukan aborsi karena kehamilan yang tidak dikehendakinya akibat tindakan guru balet yang memperkosanya, sehingga untuk menebus dosa itu ia memutuskan untuk menjadi ibu asuh. Dua faktor itulah yang mendorongnya untuk menggunakan rumah warisan neneknya sebagai rumah asuh bagi anak-anak cacat ataupun sakit parah.
Mbak Wid juga punya alasan traumatik masa lampau yang membuatnya rela mengabdikan kepandaiannya sebagai dokter untuk merawat anak-anak yang diasuh Renjani. Dia adalah anak seorang perempuan yang menjadi pelacur demi menyekolahkan Mbak Wid.Â
Dalam praktiknya, siibu seringkali ‘kebobolan’ (hamil) dan digugurkan agar tetap bisa menjalani profesinya. Dengan kata lain, Mbak Wid mengabdikan dirinya bagi kerja kemanusiaan: demi menebus dosa lampau sang ibu.Â
Dalam sebuah dialog, Renjani menganggap Dewa, salah satu anak difabel yang ia asuh, sebagai pengganti anak yang tidak pernah ia lahirkan dan hanya berada dalam rahimnya sebelum diaborsi dan Mbak Wid sangat kecewa terhadap apa yang telah dilakukan oleh Renjani.Â
Perkataan Renjani tentang Dewa yang mungkin bisa menggantikan anaknya serta kemarahan Mbak Wid karena mengetahui tindakan aborsi yang dilakukan Renjani, memperlihatkan beroperasinya wacana tentang kehadiran anak bagi seorang perempuan yang sangat penting, meskipun ia tidak pernah menghendakinya: perempuan sebagai ibu.Â
Posisi ibu bagi perempuan, bagaimanapun juga, telah menyebar dalam formasi diskursif seperti seorang perempuan harus rela mengandung, merawat, dan menjaga janin dalam kandungannya sehingga ia akan lahir dengan selamat.Â
Formasi diskursif tersebut mewujud dalam sistem sosial, keagamaan, pendidikan, maupun media hingga melahirkan person-person, aparatus, dan kebijakan yang berhak membicarakannya seperti bidan, dokter, ahli agama, maupun panduan-panduan bagi ibu hamil maupun menyusui.
Sepanjang sejarah manusia, figur ibu adalah perempuan itu sendiri yang harus mengandung, melahirkan, dan membesarkan bayi sehingga bisa meneruskan cerita kehidupan yang bersifat domestik (Reed, 2006: 58-66).Â