“Perasaan bersalah” memang menandakan ketidakmampuan Renjani untuk keluar dari jerat-jerat kuasa patriarki melalui pewacanaan peran perempuan sebagai ibu yang dikontraskan dengan perbuatan dosa yang terjadi pada masa lampau sebagaimana yang diakui oleh Renjani.
Meskipun demikian, dalam adegan berikutnya, film ini meyuguhkan wacana menarik yang dilontarkan Mbak Wid terkait penyikapan dosa masa lampau dan bagaimana dengan kedewasaan pikiran mereka memahami keberadaan dosa yang lebih besar dibandingkan aborsi yang dilakukan Renjani serta profesi pelacur dan aborsi yang dilakukan Ibu Mbak Wid.
Mbak Wid secara tegas mengkontestasi pemaknaan dosa yang dilontarkan Renjani dan banyak dipahami sebagai kebenaran oleh masyarakat. Memang Renjani berdosa karena telah membunuh bayi dalam kandungannya, tetapi apa yang dialami Mbak Wid dengan masa kecilnya, terutama dengan perilaku melacur sang ibu, bisa jadi lebih berat.
Di-aborsinya calon-calon adik Mbak Wid merupakan dosa besar, tetapi ada alasan-alasan yang melatarbelakanginya. Pun sampai sekarang, wacana dan praktik aborsi masih debatable, sehingga di samping melakukan kontestasi dalam memaknai dosa, dialog di atas juga menawarkan satu pandangan alternatif bahwa aborsi tidak bisa digeneralisir secara hitam-putih; tidak semata-mata dari aspek agama atau medis, tetapi juga kepentingan dan pilihan (pro choice).
Apa yang diungkapkan merupakan wacana tandingan yang dimasukkan oleh sineas terhadap makna dosa karena selalu ada alasan yang melatarbelakanginya, tetapi dengan terlebih dahulu mengakui akan dosa tersebut. Label dosa yang diberikan kepada tindakan aborsi Renjani, misalnya, bukanlah kesalahan mutlaknya.
Dia melakukannya karena kehamilannya disebabkan pemerkosaan. Renjani adalah korban kekerasan seksual sebagai akibat kuatnya sistem patriarki dalam masyarakat, sampai-sampai seorang guru balet laki-laki yang sangat dipercayai tega melakukan perbuatan yang menyakitkan itu.
Dengan demikian, ungkapan Mbak Wid mewacanakan keharusan untuk mencari akar permasalahan dalam pemaknaan dosa. Perempuan yang melakukan aborsi memang bersalah, tetapi ketika janin itu hadir sebagai akibat kekerasan seksual, apakah ia tidak berhak menggugurkannya?
Mbak Wid sendiri tidak bisa melupakan masa lampaunya, pengalaman menyaksikan dosa yang dilakukan ibunya dengan ‘mempekerjakan’ tubuh serta membunuh calon adik-adiknya, agar bisa terus bekerja demi masa depan Mbak Wid yang lebih baik.
Cerita Mbak Wid tentang masa lampaunya merupakan keberanian untuk membongkar pemaknaan stereotip tentang pelacur dan semua tindakan haramnya. Ibunya memang penuh dengan dosa apalagi setelah membunuh calon adik-adiknya, tapi Mbak Wid tidak pernah mau menyalahkan perilaku tersebut karena sang ibu melakukannya itu semua untuk membesarkan dan menyekolahkannya.
Adanya pengakuan akan dosa yang dilakukan ibunya, sekali lagi, menjadi ekspresi bagi pengakuan kebenaran yang berasal dari pengetahuan agama yang sudah menjadi nalar ideologis bersama dalam masyarakat; bahwa melacur maupun aborsi itu dosa dan betapa hinanya perempuan yang melakukan perbuatan itu.
Stigmatisasi perempuan yang melacur selalu identik dengan dunia hitam yang penuh dosa memang sudah menjadi rezim kebenaran dalam masyarakat, sehingga mereka perlu diregulasikan ke dalam kompleks-kompleks pelacuran yang khusus maupun “dikejar-kejar” dalam operasi ketertiban yang digelar polisi, polisi pamong praja, serta gerombolan laskar berlabel agama tertentu yang mengaku menegakkan panji-panji aqidah.