Kenyataan itu pula yang dialami Drupadi ketika dengan sadar ia merelakan dirinya ditelanjangi oleh Kurawa dalam cerita Mahabarata. Di balik peristiwa itu, terdapat kepentingan yang lebih besar yang mesti diselamatkan melalui tindakan-tindakan berani dalam ruang abu-abu.
Mbak Wid remaja juga memilih ‘sikap abu-abu’ dengan tidak menyalahkan dan memberontak terhadap perbuatan sang ibu karena itu semua dilakukan untuk memberikan yang terbaik bagi masa depannya, meskipun ia sendiri tidak sepenuhnya sepakat.
Membesarkan dan menyekolahkan Mbak Wid menjadi alasan ideologis bagi sang ibu untuk melacur, karena ketika ia tidak melacur, apa yang bisa ia lakukan, sementara (mungkin?) ia tidak mempunyai keahlian lain. Ketika calon-calon adiknya dibiarkan hidup, tentu saja Mbak Wid susah untuk meneruskan sekolah hingga menjadi seorang dokter anak.
Narasi tersebut menghadirkan satu pesan resisten "melacur dan aborsi" sebagai bentuk perjuangan. Kalau sudah demikian, apakah si ibu harus disalahkan untuk melacur dan mengaborsi janin-janinya? Dengan kata lain, melacur dan melakukan aborsi, sebenarnya, tidak harus dipersalahkan ketika ada alasan-alasan logis yang mendasarinya, begitu pula aborsi yang telah dilakukan Renjani.
IBU SEBAGAI KEHIDUPAN
Dalam memberikan wacana tandingan terhadap konsepsi dosa, aborsi, dan ke-pelacur-an, BTB tidak hanya berhenti pada satu titik kritis belaka. Dosa yang mereka alami ataupun mereka saksikan di masa lampau, memang, pada satu sisi, melahirkan trauma maupun penderitaan fisik, tetapi hal itu tidak harus menjadikan mereka terus meratapi atau menjadikannya beban hidup berkepanjangan.
Apalagi, sampai menjerumuskan mereka ke dalam tindakan destruktif, seperti melakukan balas dendam terhadap pihak yang pernah menyakiti mereka, sebagaimana banyak direpresentasikan dalam film-film di era Orba.
Pilihan untuk tidak meratapi apa yang sudah terjadi memberikan “kekuatan baru” bagi Renjani dan Mbak Wid untuk memainkan peran “ke-ibu-an” demi ‘menghidupkan kehidupan yang sudah hampir mati’.
Renjadi memilih untuk menjadi ‘ibu’ sekaligus pemilik rumah asuh bagi anak-anak cacat atau berpenyakit serius yang dibuang oleh keluarganya. Sementara, Mbak Wid menjadi dokter sukarelawan yang merawat secara medis anak-anak tersebut.
Dalam sejarah pemikiran feminis, perdebatan seputar ibu dan peran ke-ibu-an terkait dengan opresi yang dialami perempuan sebagai akibat dari sistem seks dan jender menempati posisi dominan, terutama yang berlangsung diantara para pemikir feminis radikal.
Menurut Tong (2006: 69), terdapat beberapa konsep feminisme radikal. Pertama, perempuan secara historis merupakan kelompok teropresi yang pertama. Kedua, opresi terhadap perempuan bersifat paling menyebar pada hampir setiap masyarakat di dunia dan bersifat yang terdalam, sulit dihapuskan dengan perubahan sosial lain, misalnya dengan penghapusan masyarakat kelas.