AWAL(AN)
Pada tahun 2017 sekelompok individu yang bergabung dalam Pusat Kajian Bahasa Oseng menyelenggarakan seminar bahasa di Banyuwangi. Dihadiri anggota Dewan Perwakilan Daerah, Emilia Contessa, putra (alm) Hasan Ali (penulis Kamus Bahasa Using-Indonesia), isu utama dalam seminar ini adalah gugatan terhadap penggunaan istilah Using oleh kalangan akademisi yang dianggap melenceng dari istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Menurut Qowim, ketua lembaga tersebut, penulisan yang benar adalah Oseng. Tak pelak lagi, isu tersebut memancing tanggapan dari sebagian budayawan serta peneliti dan penggiat kebahasaan yang sudah bersepakat bahwa bahasa lokal warisan Blambangan di Banyuwangi adalah Using, sebagaimana dipromosikan oleh pemerintah Kabupaten Banyuwangi sejak era Orde Baru hingga saat ini.Â
Bagi pihak yang kontra, kengototan menggunakan Oseng harusnya dibuktikan dengan kerja-kerja penelitian atau akademis yang sudah dipublikasikan, bukan hanya sekedar asumsi-asumsi tanpa didukung hasil analisis mendalam. Polemik lisan terkait penamaan Osing, Oseng, ataukah Using ini memang tidak sampai melebar menjadi pertikaian diskursif berkepanjangan di antara kedua pihak.Â
Namun, dari peristiwa itu, sebenarnya terdapat permasalahan yang lebih complicated. Bahwa identitas kebahasaan yang selama ini dimapankan melalui usaha pemerintah kabupaten, akademisi, budayawan, dan seniman dalam nama Using ternyata masih menyimpan ketidaksetujuan yang tidak sesederhana dari apa yang tampak di permukaan.
Apabila ditelisik lagi, usaha untuk membakukan bahasa Using sudah dimulai sejak awal Orde Baru. Pada era 1970-an dan 1980-an, usaha pemerintah kabupaten untuk mengkampanyekan bahasa dan identitas Using diperluas melalui beragam kegiatan, termasuk lagu-lagu kendang-kempul, sehingga banyak warga mulai mengenal dan menggunakan istilah tersebut (Arps, 2009).Â
Dalam catatanan Sariono dkk (2010) usaha penyebarluasan bahasa dan identitas Using itu dilakukan pula dengan membuat beberapa acara berbahasa Using di Radio Khusus Pemerintah Daerah (RKPD) di mana beberapa sastrawan dan budayawan diberikan keleluasaan untuk mengasuh acara-acara tersebut. Pelan tapi pasti, masyarakat keturunan Blambangan semakin biasa dengan sebutan Using karena massifnya program yang dirancang pemerintah kabupaten.Â
Pada tahun 1996, Bupati Purnomo Sidiq, menerbitkan SK Bupati Nomor 428 tahun 1996 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Buku-buku Materi Bahasa Using sebagai Kurikulum Muatan Lokal pada Pendidikan Dasar di Kabupaten Banyuwangi. Pada awal 1997, uji coba untuk menjadikan bahasa Using sebagai muatan lokal dilaksanakan di 3 sekolah dasar di Kecamatan Banyuwangi, Rogojampi, dan Kabat, sebagai basis komunitas Using (Setiawan, Tallapessy, & Subaharianto 2017a).Â
Pada awalnya tidak kurang dari 10 sekolah di tiga kecamatan yang menerapkan pembelajaran bahasa Using dan berlanjut hampir di tujuh kecamatan dengan jumlah 210 sekolah dasar yang menerapkannya. Pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan memang tidak langsung menerapkan untuk seluruh sekolah di Banyuwangi karena banyak sekolah sempat menolak memasukkan bahasa Using dalam muatan lokal, khususnya sekolah dari daerah yang etnis Jawa dan Maduranya lebih mendominasi.Â
Muncul persepsi bahwa kebijakan ini akan menjadikan para siswa non-Using diwajibkan menggunakan bahasa Using dalam kehidupan sehari-hari, padahal tujuannya hanya sekedar mengenalkan. Lambat laun kebijakan ini bisa berkembang ke sekolah lainnya.
Legitimasi bahasa ini tidaklah berdiri sendiri karena bersamaan dengan penguatan identitas etnis dan budaya Using yang disponsori oleh rezim negara Orde Baru. Gandrung sebagai kesenian khas misalnya diperkuat melalui berdirinya banyak sanggar. Ritual-ritual dalam masyarakat Using diselenggarakan secara meriah.Â