Industri musik pop-etnis seperti kendang kempul berkembang pesat. Para budayawan yang dekat dengan Pendopo menjadi juru bicara tentang kekayaan bahasa dan budaya Using. Semua itu membentuk dan semakin memperkuat kesadaran akan komunalisme dan solidaritas Using di Banyuwangi.
Kondisi tersebut semakin memuncak pasca Reformasi atau era 2000-an. Masing-masing rezim, dari Samsul Hadi, Ratna Ani Lestari, hingga Abdullah Azwar Anas memiliki karakteristik dalam memosisikan bahasa dan budaya Using. Rezim Samsul, misalnya, dengan cerdas menginkorporasi bahasa dan budaya Using sebagai instrumen politik dalam memperkuat kekuasaan (Setiawan, Tallapessy, & Subaharianto 2017b).
Pada zaman Anas, Using menjadi kekuatan kreatif yang dikomodifikasi untuk kepentingan industri pariwisata berdimensi nasional dan internasional (Setiawan, Tallapessy, & Subaharianto 2017c). Artinya, soal bahasa yang menjadi kekuatan identitas Using, kita tidak bisa semata-mata membacanya sebagai alat komunikasi, alih-alih, terdapat kompleksitas kepentingan yang berhubungan dengan rezim negara maupun para aktor kultural di Banyuwangi.
Menarik kiranya melihat bagaimana kompleksitas kepentingan penetapan bahasa Using sebagai salah satu penguat identitas lokal di Banyuwangi yang berlangsung sejak era Orde Baru hingga saat ini. Permasalahan utama tersebut bisa dikembangkan menjadi beberapa sub-permasalahan.
Pertama, bagaimana kondisi historis dan pemerintahan ketika bahasa dan identitas Using ditetapkan sebagai identitas dominan di Banyuwangi. Kedua, kepentingan apa yang melatari kebijakan pemerintah di era Orde Baru terkait bahasa Using. Ketiga, bagaimana usaha yang dilakukan pemerintah dari era Orde Baru hingga saat ini untuk memperkuat posisi bahasa Using di tengah-tengah masyarakat.
Keempat, bagaimana kepentingan politik dan budaya yang dimainkan melalui penguatan Using di masa pasca Reformasi. Kelima, bagaimana respons tokoh adat, seniman, dan masyarakat—baik Using maupun non-Using—terkait kebijakan penggunaan bahasa Using?
Untuk membahas permasalahan-permasalahan tersebut, saya menggunakan teori payung antropolinguistik. Dalam antropolinguistik, tindak dan praktik kebahasaan dalam sebuah komunitas, masyarakat, dan bangsa dipahami sebagai instrumen terpenting untuk memasuki kompleksitas budaya yang berlangsung dalam masyarakat, dari masa lalu hingga masa kini (Duranti, 1997; Duranti [ed], 2004; Ahearn, 2012; Salzmann, Stanlaw, & Adachi, 2012; Hymes, 1983).
Penentuan sebuah bahasa yang digunakan dalam komunitas, masyarakat, atau bangsa serta implikasinya dalam tindakan kebahasaan dan kehidupan sosial, kultural, ekonomi, dan politik tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ideologis dan politik yang terikat dengan konteks zaman (Kroskrity, 2004; Dirven, Frank, & Ilie [ed], 2001; Dirven, Hawkins, & Sandikcioglu, 2001; Mair [ed], 2003; Mann, 2007; Mertz, 2007).
Kebijakan bahasa tidak bisa dipandang semata-mata sebagai persoalan kebahasaan, tetapi, lebih dari itu, memiliki dimensi ideologis dan politik di mana kepentingan pihak-pihak tertentu dinegosiasikan sebagai kesadaran komunal melalui praktik kebahasaan. Dalam proses tersebut sangat mungkin muncul konflik-konflik sosial, kultural, ekonomi, dan politik yang dibesarkan melalui isu-isu kebahasaan, khususnya dalam latar masyarakat multikultural.
Bahasa, baik dalam level nasional maupun lokal, memiliki fungsi strategis dalam ranah identitas dan politik. Bahasa menjadi bagian ‘agama sekuler’ yang mengikat masyarakat, memromosikan kohesi internal, menyediakan identitas etnis dan nasional, dan memapankan batasan-batasan efektif antara “dalam-kelompok” dan “luar-kelompok” (Fishman dikutip dalam Schmid,2001: 9).
Dalam konteks politik, bahasa merupakan variabel penting dalam relasi kuasa antara kelompok dominan dan subordinat. Tidak mengherankan Chomsky mengakatan bahwa “permasalahan bahasa pada dasarnya adalah permasalahan kekuasaan” (Schmid, ibid). Nichols (2006) menunjukkan bahwa keberagaman linguistik bisa menjadi hambatan untuk sentralisasi kekuasaan.