Mohon tunggu...
Deby
Deby Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional

Saya adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional di salah satu Perguruan Tinggi Swasta di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat terkait Imigrasi Era Kepemimpinan Donald Trump (2017-2019)

30 Maret 2024   20:51 Diperbarui: 30 Maret 2024   20:55 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.independent.co.uk/topic/america-first

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Selama empat tahun masa jabatannya di Amerika Serikat (AS), Trump membuat langkah-langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk tindakan eksekutif imigrasi, seperti memberlakukan 472 perubahan administratif yang membongkar dan merekonstruksi banyak elemen dalam sistem imigrasi di AS. Perlindungan kemanusiaan sangat berkurang, perbatasan AS-Meksiko menjadi lebih tertutup, penegakan imigrasi tampak lebih acak dan imigrasi legal menjadi tidak terjangkau bagi banyak orang. Semua ini dicapai hampir secara eksklusif oleh cabang eksekutif dengan proklamasi presiden dan perintah eksekutif, panduan kebijakan departemen dan ratusan penyesuaian teknis kecil.

Prioritas awal kepemimpinan Trump setelah menjalankan kampanye presiden yang menawarkan kebijakan imigrasi yang tidak konvensional termasuk pembangunan tembok di sepanjang perbatasan selatan yang dibayar oleh Meksiko serta moratorium sementara Muslim yang memasuki AS. Dari pendukung maupun penentang Trump bertanya-tanya terkait kebijakan imigrasi apa yang akan ditangani terlebih dahulu.

Pada 21 November 2016, Trump merilis pesan video yang merangkum enam prioritas pemerintahannya dalam 100 hari pertama. Terkait kebijakan imigrasi, Trump mengatakan bahwa dirinya akan mengarahkan Department of Labor untuk menyelidiki semua penyalahgunaan program visa yang melemahkan pekerja Amerika. Trump secara terpisah menawarkan sepuluh tindakan kebijakan yang akan diambil untuk menangani reformasi imigrasi di situs resmi transisinya.

Kebijakan-kebijakan populis yang dibuat Trump dianggap mengancam keamanan dan stabilitas AS karena telah bertindak secara unilateral serta mengancam kerja sama dengan Eropa maupun dunia internasional. Seperti Perancis yang menyatakan persatuan Eropa menghadapi Trump dan mempertahankan nilai-nilai demokrasi. Negara-negara sekutu AS di Eropa khawatir jika Trump menutup untuk para pengungsi dan imigran maka mereka akan kembali menargetkan Eropa dan membebani perekonomian benua tersebut.

Menurutnya, imigran yang datang ke AS dan orang-orang yang mendukungnya dinilai sebagai pengganggu atau kelompok yang ke nantinya bisa atau mampu mengambil lapangan pekerjaan di AS, sehingga hal tersebut membuat bertambahnya jumlah pengangguran untuk penduduk asli AS. Dalam konteks ini, Trump beranggapan bahwa dengan sistem pengetatan keimigrasian maka akan membuat tingkat pengangguran menurun di AS. Kebijakan Trump ini juga sebagai respon atas kebijakan Presiden sebelumnya, Barack Obama yang menerima pengungsi sebanyak 12.000 orang asal Suriah pada tahun 2015 (Yuliantoro dkk., 2017: 200).

 Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah 'Bagaimana kebijakan luar negeri AS terkait imigrasi di era kepemimpinan Donald Trump?'.

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari tulisan ini adalah agar dapat mengetahui kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait imigrasi di era kepemimpinan Donald Trump.

 

Kerangka Teori

- Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan Luar Negeri menurut K.J. Holsti merupakan tindakan atau gagasan yang dirancang untuk memecahkan masalah atau membuat perubahan dalam suatu lingkungan. Holsti juga menjelaskan beberapa faktor-faktor yang melatarbelakangi dalam pembuatan kebijakan luar negeri, yaitu kebutuhan keamanan dan kondisi sosial ekonomi, karakter geografis, faktor birokrasi, atribut nasional dan struktur pemerintahan. Selanjutnya, menurut K.J. Holsti, dua tujuan yang lebih dominan dalam sebuah negara yakni, tujuan jangka menengah dan jangka panjang. Tujuan jangka menengah adalah meningkatkan prestise sebuah negara dalam sistem, indikator ini dinilai berdasarkan teknologi, industri, bantuan dana dan militer. Sedangkan pada jangka panjang adalah rencana, impian dan pandangan mengenai organisasi politik atau ideologi terakhir dalam sistem internasional. Ideologi tersebut adalah aturan yang mengatur tindakan negara dalam sistem internasional.

Menurut Campbell (1990: 263), kebijakan luar negeri berhubungan dengan semua perbedaan, praktik diferensiasi yang menjadikan objek sebagai benda asing dalam proses berurusan dengannya. Sementara menurut Cohen dan Harris (1975:383), kebijakan luar negeri merupakan seperangkat tujuan, arahan atau niat yang dirumuskan oleh orang-orang yang memiliki otoritas atau berada dalam posisi resmi, ditujukan pada beberapa aktor atau kondisi di luar lingkungan kedaulatan negara bangsa yang bertujuan untuk memengaruhi target dengan cara yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

Kemudian Rosenau (1969: 167) menjelaskan tujuan dari kebijakan luar negeri yang sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dapat dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi untuk masa yang akan datang. Setidaknya terdapat lima landasan dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS yaitu external sources, societal sources, governmental sources, role sources dan individual sources.

Kemudian, Rosenau juga menambahkan bahwa tujuan jangka panjang adalah untuk perdamaian, keamanan dan kekuasaan. Namun, kebijakan luar negeri sendiri perlu melewati beberapa pertimbangan penting. Disebutkan juga beberapa hal mengenai bagaimana sebuah kebijakan luar negeri itu diimplementasikan. Pertama, adalah kedaulatan dan keutuhan territorial. Kedua, dalam hal pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, maka suatu negara berusaha mencari pendonor dan investor asing agar mau untuk menanamkan saham dalam negaranya. Ketiga, kepentingan nasional berupa penyebaran demokrasi dan hak asasi manusia khususnya bagi negara AS. Keempat adalah kemanan nasional dan regional.

Berdasarkan dari definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya mencakup tujuan dan arahan atau niat, tetapi juga praktik diferensiasi yang menjadikan objek dari pihak lain sebagai pihak asing.

Dalam tulisan ini, penulis juga menggunakan rational actor model yang melihat bahwa negara dapat dilihat sebagai kesatuan aktor yang melakukan usaha untuk dapat memaksimalkan keuntungan yang akan mereka dapatkan dengan menggunakan kebijakan luar negeri yang rasional dalam tatanan sistem internasional. Aktor rasional dalam hal ini menjadi pengambil keputusan yang memiliki peran sangat penting, seperti memaksimalkan benefit dan meniminalkan cost, kemudian juga menentukan alternatif terbaik yang dapat dilakukan melalui kebijakan yang dikeluarkan untuk negaranya. Dalam hal ini, Presiden Trump sebagai aktor pengambil keputusan dalam pembuatan kebijakan luar negeri AS dan memiliki pertimbangannya melalui kebijakan yang dibuat untuk negaranya.

- Kepentingan Nasional

Dalam kaitannya dengan pembuatan kebijakan luar negeri, Hudson (2013:121) melihat bahwa identitas nasional dapat membentuk motivasi domestik dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Motivasi domestik tersebut juga dikenal sebagai kepentingan nasional. Secara khusus, pengaruh ideologi dan kepentingan nasional dalam perumusan kebijakan luar negeri dapat ditemukan melalui analisis berbagai faktor yang memengaruhi proses tersebut dengan meneliti sifat alami suatu ideologi; kepentingan yang dipertaruhkan dalam kebijakan luar negeri; sistem politik internasional; dan proses pembuatan kebijakan (Levi, 1970:30). Dengan meneliti faktor-faktor tersebut dapat dibuktikan adanya alasan keunggulan pengaruh kepentingan dalam perumusan kebijakan pada suatu negara.

- Keamanan Nasional

Secara tradisional, keamanan nasional fokus pada perlindungan fisik terhadap teritorial suatu negara (dan bangsa) dari serangan militer oleh negara lain. Fokus ini yang terelfleksi dalam pernyataan “inherent right of individual or collective self-defence” pada pasal 51 Piagam PBB. Namun demikian, perhatian terhadap keamanan nasional juga terdiversifikasi yang merefleksikan perhatian yang lebih kontemporer dan akut sehingga memberikan ancaman yang lebih kepada individu dan kelompok. Sebagai akibat maka bahasa keamanan dapat menjadikan justifikasi negara untuk keluar dari kewajiban internasionalnya dalam hal perlindungan terhadap individu dan hak asasi manusianya (Nasu, 2011).

Menurut Berkowitz, keamanan nasional sangat bermanfaat didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman pihak luar. Konsep ini berkembang lebih banyak di AS paska PD II yang awalnya hanya berfokus kepada kemampuan militer, kemudian berkembang pada berbagai hal yang yang bersifat non-militer.

Pada abad ini, keamanan nasional diintepretasikan oleh negara sebagai sesuatu yang telah dikonstruksikan, termasuk di dalamnya memasukkan konsep mengenai kepentingan politik dan ekonomi. Pada masa kepemimpinan Presiden Obama, konsep ini dipromosikan ke seluruh dunia. Lebih mengkhawatirkan, konsep ini kemudian secara terang-terangan disebut sebagai sebuah prioritas bagi keamanan nasional AS untuk melindungi kepentingannya sekutu-sekutunya. Kemudian AS dapat membuat justifikasi dalam membatasi hak asasi individu, seperti nilai-nilai konstitusional dari para sekutunya yang terancam. Ruang lingkup yang luas mengenai intepretasi ini menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hukum HAM internasional.

Dua identitas utama AS, yaitu exemplar exceptionalism dan missionary exceptionalism. Exemplar exceptionalism merujuk pada AS sebagai tempat yang bebas dari kesalahan-kesalahan dunia (khususnya Eropa) baik dalam bidang sosial, politik, maupun ekonomi (Greene, 1993: 58). Sedangkan missionary exceptionalism merujuk pada AS yang menjalankan manifest destiny, imperialis, internasionalis, dan “leader of the free world” (McCrisken, 2002: 63). Apabila ditranslasikan menjadi bentuk kebijakan luar negeri, kedua paham eksepsionalisme ini mendorong AS ke arah yang benar-benar berbeda. Bila exemplar exceptionalism mendorong AS untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang lebih isolasionis dengan hanya memfokuskan pada dirinya sendiri, missionary exceptionalism lebih menekankan pada bagaimana Amerika Serikat harus menjadi actor internasional dan menginspirasi dunia dengan habits of democracy-nya (Kagan, 1998: 27). 

PEMBAHASAN

U.S. Immigrants

Populasi kelahiran asing di AS mencapai rekor 44,8 juta pada tahun 2018. Sejak 1965, ketika undang-undang imigrasi AS menggantikan sistem kuota nasional, jumlah imigran yang tinggal di AS meningkat lebih dari empat kali lipat. Imigran yang mencapai 13,7% dari populasi AS, hampir tiga kali lipat (4,8%) pada tahun 1970. Namun, pangsa imigran saat ini tetap di bawah rekor. AS memiliki lebih banyak imigran daripada negara lain mana pun di dunia. Saat ini, lebih dari 40 juta orang yang tinggal di AS lahir di negara lain, terhitung sekitar seperlima dari migran dunia. Populasi imigran juga sangat beragam, dengan hampir setiap negara di dunia terwakili di antara imigran AS. Sebagian besar imigran (77%) berada di negara itu secara legal, sementara hampir seperempatnya tidak sah atau ilegal.

Pada tahun 2017, sekitar 27% imigran adalah penduduk tetap dan 5% adalah penduduk sementara, 23% lainnya dari semua imigran adalah imigran ilegal. Dari tahun 1990 hingga 2007, populasi imigran illegal meningkat lebih dari tiga kali lipat – dari 3,5 juta menjadi rekor tertinggi 12,2 juta pada tahun 2007. Pada tahun 2017, jumlah tersebut telah menurun sebesar 1,7 juta, atau 14%. Terdapat 10,5 juta imigran ilegal di AS pada tahun 2017, terhitung 3,2% dari populasi negara. Penurunan populasi imigran illegal sebagian besar disebabkan oleh penurunan jumlah dari Meksiko sebagaimana kelompok imigran ilegal terbesar di AS. Antara tahun 2007 dan 2017, kelompok ini berkurang 2 juta. Sementara itu, terjadi peningkatan jumlah dari Amerika Tengah dan Asia.

Sumber: Key findings about U.S. immigrants
Sumber: Key findings about U.S. immigrants

 

Asal usul imigran di AS

Meksiko, Cina, dan India termasuk di antara tempat kelahiran imigran teratas di AS. Meksiko adalah negara asal teratas populasi imigran di AS. Pada tahun 2018, sekitar 11,2 juta imigran yang tinggal di AS berasal dari sana, terhitung 25% dari semua imigran AS. Kelompok asal terbesar berikutnya adalah dari Cina (6%), India (6%), Filipina (4%) dan El Salvador (3%).

Berdasarkan wilayah kelahiran, gabungan imigran dari Asia menyumbang 28% dari semua imigran, hampir sama dengan jumlah imigran dari Meksiko (25%). Wilayah lain membuat bagian yang lebih kecil: Eropa, Kanada, dan Amerika Utara lainnya (13%), Karibia (10%), Amerika Tengah (8%), Amerika Selatan (7%), Timur Tengah dan Afrika Utara (4%) dan Afrika sub-Sahara (5%).

Sumber: Key findings about U.S. immigrants
Sumber: Key findings about U.S. immigrants

Pada tahun 2018, sekitar 337.000 imigran dideportasi dari AS, angka tersebut naik sejak tahun 2017. Secara keseluruhan, pemerintahan Obama mendeportasi sekitar 3 juta imigran antara 2009 dan 2016, jumlah yang jauh lebih tinggi daripada 2 juta imigran yang dideportasi oleh pemerintahan Bush antara 2001 dan 2008. Pada 2017, pemerintahan Trump mendeportasi 295.000 imigran, jumlah terendah sejak 2006.

Imigran yang dihukum karena kejahatan merupakan kurang dari setengah jumlah deportasi pada tahun 2018, tahun terakhir di mana statistik berdasarkan status kriminal tersedia. Dari 337.000 imigran yang dideportasi pada tahun 2018, sekitar 44% memiliki hukuman pidana dan 56% tidak dihukum karena kejahatan. Dari tahun 2001 hingga 2018, mayoritas (60%) imigran yang dideportasi belum dihukum karena kejahatan.

 

Kerangka Kerja “America First

Pada masa kampanye-nya, Trump dikenal dengan slogan “Make America Great Again” yang disampaikan secara langsung kepada masyarakat AS. Slogan yang menggambarkan visi Trump sebagai kandidat dari Republican Party berupaya membawa AS kembali pada masa kejayaan melalui kebijakan yang berbasis kerangka kerja “America First”.

Trump memfokuskan beberapa kebijakan luar negeri yang menurutnya ideal bagi AS, sesuai dengan slogan kampanyenya yang bertujuan untuk membuat Amerika kembali disegani di kancah politik dunia. Trump kemudian mengatakan bahwa ia akan mengaplikasikan “America First” dalam kebijakan luar negerinya (Beckwith, 2016). “America First” yang dimaksud Trump adalah dengan memprioritaskan warga dan keamanan AS. Trump mengatakan bahwa warga AS menjadi prioritas di dalam setiap keputusan kebijakan luar negeri ketika dia kelak menjadi presiden (Milbank, 2016).

Kemunculan Trump yang memenangkan pemilu Presiden AS dapat dijelaskan dari sisi internal Republican Party dan strategi kampanye Trump. Dari segi internal partai, terlihat kemunculan Trump adalah sebagai akibat dari tanggapan pemilih terhadap retorika yang dibawa Trump, yaitu retorika tentang kita-lawan-mereka. Kegagalan orang dalam Republican Party untuk bersatu mengusung seorang kandidat juga membuka pintu kesempatan bagi Trump. Selain itu, meningkatnya ketakutan terhadap ancaman nyata maupun yang dibayangkan, serta insiden terorisme di dalam dan luar negeri menjadi bahan bakar untuk kampanye Trump. 

Kepentingan Nasional Amerika Serikat

Sebagai kelanjutan dari munculnya persepsi tentang adanya ancaman lawan, muncul motivasi domestik berupa kepentingan nasional. Diskursus utama yang dibawakan oleh Trump yaitu America First dan keamanan nasional AS. Diskursus America First berfokus pada gagasan-gagasan tentang keutamaan kepentingan rakyat Amerika. Sedangkan diskursus keamanan nasional berkaitan dengan ancaman yang dipersepsikan Trump di perbatasan Selatan AS.

- Diskursus “America First

Diskursus “America First” tidak hanya mencakup kepentingan rakyat AS, namun juga kepentingan AS sebagai negara-bangsa. Misalnya diskursus terkait lapangan pekerjaan yang disampaikan Trump setelah terpilih menjadi presiden. Mengutip pernyataan Trump tentang imigran ilegal dari Meksiko yaitu “They’re taking our jobs. They’re taking our manufacturing jobs. They’re taking our money. They’re killing us.”. Melalui pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa narasi yang berusaha dibangun oleh Trump adalah lapangan pekerjaan yang ada di AS diambil oleh para imigran ilegal. Narasi yang menggambarkan persepsi Trump dalam melihat ancaman bagi ketersediaan lapangan pekerjaan. Kemudian, menanggapi persepsi ancaman tersebut, Trump membawa agenda utama untuk melindungi para pekerja AS. Hal ini dapat dilihat pada dua cuitan dalam akun Twitter-nya yang menyatakan “Buy American & hire American are the principles at the core of my agenda, which is: JOBS, JOBS, JOBS! Thank you @exxonmobil.”. Sementara pada cuitan kedua “Time to start building in our country, with American workers & with American iron, aluminum & steel. It is time to put #AmericaFirst”. Dua cuitan tersebut secara tidak langsung juga menyatakan bahwa sudah saatnya untuk menempatkan Amerika sebagai prioritas utama dalam pengambilan kebijakan.

- Diskursus Keamanan Nasional

Melalui cuitannya, Trump menyampaikan persepsinya terhadap ancaman bagi keamanan nasional. Hal tersebut dapat dilihat pada cuitan Trump pada 31 Juli 2018 yang berbunyi:

Illegal immigration is a top National Security problem. After decades of playing games, with the whole World laughing at the stupidity of our immigration laws, and with Democrats thinking that Open Borders, large scale Crime, and abolishing ICE is good for them, we must get smart and finally do what must be done for the Safety and Security of our Country!”.

Terdapat tiga poin penting yang disampaikan oleh Trump. Pertama, Trump memandang bahwa masalah keamanan nasional paling penting yang sedang dihadapi AS adalah imigrasi ilegal. Kedua, Trump mempersepsikan bahwa dunia internasional telah menertawakan ‘kebodohan’ hukum imigrasi AS. Persepsi tersebut disampaikan untuk ‘merendahkan’ hukum imigrasi AS dengan memunculkan asumsi bahwa terdapat kesalahan dalam hukum tersebut. Ketiga, Trump mempersuasi dan menekankan bahwa AS harus segera melakukan yang seharusnya dilakukan untuk keselamatan dan keamanan AS.

Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat Era Kepemimpinan Donald Trump

Seperti yang dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, kebijakan imigrasi era kepemimpinan Trump merupakan bagian dari janji politik masa kampanye pada pemilu 2016 yakni “America First”. Hal ini merupakan kebijakan populis nasionalistik untuk memproteksi kepentingan AS dari segala bentuk ancaman. Dalam hal ini, dibawah kepemimpinan Trump menempuh cara unilateralisme, yaitu bertindak secara sepihak demi kepentingannya. Kebijakan ini merupakan perlawanan terhadap kemapanan pada isu-isu globalisasi, perdagangan bebas, dan imigrasi yang merupakan konsensus elite politik sebelumnya namun tidak memuaskan publik AS. Menurut Trump, secara ekonomi kesempatan kerja warga AS telah diserobot oleh imigran dan warga negara AS telah menjadi target aksi terorisme.

10 Tindakan Kebijakan Trump terkait Imigrasi 

Trump menguraikan sepuluh tindakan kebijakan yang ingin diambil untuk menangani undang-undang imigrasi selama masa kepresidenannya. Kesepuluh tindakan tersebut adalah:

1. Bangun tembok di sepanjang perbatasan selatan;

2. Akhiri program tangkap dan lepas;

3. Tidak ada toleransi bagi penjahat yang tinggal di AS tanpa izin resmi;

4. Blokir pendanaan untuk yurisdiksi suaka;

5. Membatalkan perintah eksekutif yang tidak konstitusional dan menegakkan hukum imigrasi yang ada;

6. Menangguhkan visa untuk individu dari negara-negara di mana penyaringan yang memadai tidak dapat dilakukan;

7. Memastikan bahwa negara asing menahan warganya yang dideportasi dari AS;

8. Lengkapi sistem pelacakan masuk-keluar biometrik;

9. Mengakhiri pekerjaan dan tunjangan bagi individu yang tinggal di negara tersebut tanpa izin resmi; dan

10. Reformasi peraturan imigrasi untuk memberi manfaat bagi negara dan angkatan kerjanya.

Major events and policy positions of the Trump administration and the 115th Congress on immigration

  • 25 Januari 2018: Administrasi Trump merilis kerangka kerja awal untuk rencana imigrasi yang akan memungkinkan sebanyak 1,8 juta orang yang dibawa ke AS tanpa izin resmi sebagai anak-anak kewarganegaraan AS dengan imbalan $25 miliar dalam keamanan perbatasan, termasuk tembok perbatasan, dan perubahan lain pada sistem imigrasi.
  • 31 Januari 2018: Administrasi Trump mengumumkan proses baru untuk aplikasi suaka. Trump mengatakan akan kembali ke proses peninjauan aplikasi suaka terbaru, alih-alih urutan penerimaannya.
  • 15 Februari 2018: Senat menolak empat proposal reformasi imigrasi. Senat mulai memberikan suara pada serangkaian RUU imigrasi yang bertujuan untuk menemukan perbaikan legislatif untuk program Deferred Action for Childhood Arrivals (DACA) yang kedaluwarsa dan langkah-langkah keamanan perbatasan. Semua tindakan gagal untuk mendapatkan dukungan yang cukup untuk perjalanan. 
  • 26 Februari 2018: SCOTUS menolak permintaan pemerintahan Trump untuk meninjau kasus DACA. Mahkamah Agung AS (SCOTUS) menolak permintaan pemerintahan Trump untuk segera meninjau putusan pengadilan distrik AS yang memblokir sementara perintah pemerintah pada September 2017 yang mengakhiri program DACA. Pengadilan distrik mengeluarkan perintah pendahuluan pada 13 Februari 2018, dan pemerintahan Trump mengajukan banding langsung ke Mahkamah Agung daripada ke pengadilan banding keliling. Mahkamah Agung menolak perintah tersebut tanpa prasangka, yang berarti bahwa administrasi dapat mengajukan banding lagi setelah pengadilan banding wilayah memiliki kesempatan untuk mempertimbangkan kasus tersebut. Di bawah perintah pemerintahan Trump September, program DACA seharusnya berakhir pada 5 Maret 2018. Penolakan Mahkamah Agung untuk mendengar banding membuat keputusan pengadilan distrik memblokir resesi itu untuk saat ini. Hakim federal di San Francisco dan New York mengeluarkan perintah awal yang mengharuskan pemerintahan Trump untuk terus memperbarui izin DACA. Sementara kasus-kasus terhadap pemerintahan Trump berjalan melalui pengadilan, penerima DACA dapat terus memperbarui izin mereka untuk tinggal, bekerja, dan bersekolah di AS. Izin tersebut dikeluarkan untuk periode dua tahun. Tanpa perintah, penerima DACA akan kehilangan manfaat mereka setelah izin individu mereka berakhir setelah tanggal 5 Maret 2018, tanggal akhir program yang dinyatakan.
  • 27 Februari 2018: Hakim federal mengatur administrasi tidak secara tidak benar mengabaikan peraturan untuk konstruksi dinding perbatasan. Hakim Distrik AS Gonzalo Curiel memutuskan mendukung pemerintahan Trump dalam kasus yang diajukan oleh negara bagian California mengenai pengabaian peraturan lingkungan untuk pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko. Jaksa Agung California Xavier Becerra (D) berargumen bahwa Departemen Keamanan Dalam Negeri AS secara tidak benar mengabaikan peraturan lingkungan dan imigrasi, termasuk Undang-Undang Kebijakan Lingkungan Nasional, untuk mempercepat pembangunan tembok tersebut. Hakim Curiel memihak administrasi Trump, menulis bahwa dia tidak memiliki “keraguan konstitusional yang serius” tentang penggunaan keringanan oleh administrasi.
  • 6 Maret 2018: DOJ mengajukan gugatan terhadap undang-undang imigrasi California. Departemen Kehakiman AS (DOJ) mengajukan gugatan terhadap Negara Bagian California, Gubernur California Jerry Brown, dan Jaksa Agung California Xavier Becerra karena mengesahkan tiga undang-undang negara bagian—Assembly Bill 450, Senate Bill 54, dan RUU Majelis 103—yang menurut DOJ mencegah pejabat menegakkan hukum imigrasi federal. DOJ meminta hakim federal untuk memblokir penerapan undang-undang tersebut. Gugatan tersebut menargetkan undang-undang negara bagian California berikut:
    • California SB 54: Menurut DOJ, undang-undang "membatasi pejabat penegak hukum negara bagian dan lokal untuk memberikan informasi kepada otoritas imigrasi federal tentang tanggal rilis alien kriminal yang dapat dipindahkan yang berada dalam tahanan mereka. Orang asing kriminal ini dapat dikeluarkan dari Amerika Serikat Negara-negara bagian di bawah undang-undang imigrasi federal, SB 54 juga melanggar 8 USC 1373, undang-undang yang disahkan oleh Kongres, yang mempromosikan berbagi informasi terkait dengan penegakan imigrasi. Undang-undang negara bagian juga melarang pemindahan nyata orang asing kriminal ke tahanan federal, yang menciptakan lingkungan operasi yang berbahaya bagi agen ICE yang melakukan penangkapan dalam pengaturan non-penahanan."
    • California AB 450: Menurut DOJ, undang-undang "melarang pemberi kerja swasta untuk secara sukarela bekerja sama dengan pejabat imigrasi federal—termasuk pejabat yang melakukan upaya penegakan di tempat kerja dan operasi penegakan lainnya. Ini juga mengharuskan pemberi kerja swasta memberi tahu karyawan sebelumnya tentang kemungkinan inspeksi penegakan di tempat kerja. —meskipun undang-undang federal yang jelas telah ada selama kurang lebih tiga dekade yang tidak memiliki persyaratan seperti itu."
    • California AB 103: Menurut DOJ, undang-undang "memaksakan skema inspeksi dan peninjauan yang dijalankan negara bagian atas penahanan federal terhadap orang asing yang ditahan di fasilitas sesuai dengan kontrak federal. Ini termasuk peninjauan proses imigrasi dan keadaan di mana orang asing ditangkap, dan juga memerlukan akses ke catatan federal istimewa yang berada di bawah kendali ICE. Dengan undang-undang ini, California mencoba mengatur penahanan imigrasi federal, yang tidak dapat dilakukan di bawah Konstitusi.
  • 13 Maret 2018: Trump mengunjungi prototipe dinding perbatasan di California. Presiden Donald Trump pergi ke gurun pasir di luar San Diego, California untuk melihat tiruan tembok yang diusulkannya di sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Beberapa perusahaan konstruksi dari Alabama, Mississippi, Arizona, Maryland, dan Texas diberikan tawaran untuk membangun prototipe yang terbuat dari beton dan bahan lainnya.
  • 20 Maret 2018: Trump mengklaim kota-kota suaka menyimpan penjahat. Trump berbicara di meja bundar penegakan hukum dan mengomentari kota-kota suaka, dengan mengatakan, "Mereka menyebabkan banyak masalah bagi negara ini." Trump mengatakan bahwa imigran yang datang ke AS secara ilegal “pergi ke kota-kota suaka ketika mereka melihatnya; mereka pergi ke sana karena mereka merasa aman,” dan kemudian melakukan kejahatan.
  • 28 Maret 2018: Trump membagikan foto konstruksi di perbatasan AS-Meksiko. Trump men-tweet foto-foto situs konstruksi di Calexico, California, menulis bahwa itu adalah awal pembangunan di tembok yang diusulkannya di sepanjang perbatasan AS-Meksiko. Sekretaris Keamanan Dalam Negeri Kirstjen Nielsen membagikan tweet, menambahkan bahwa “tembok 30 kaki akan membantu mengamankan area dekat Calexico, CA.” Pejabat Patroli Perbatasan di California mengatakan bahwa konstruksi yang terlihat dalam tweet Presiden Trump telah direncanakan sejak 2009.
  • 2 April 2018: Departemen Kehakiman mengumumkan kuota untuk hakim imigrasi. Departemen Kehakiman AS mengumumkan kuota untuk hakim imigrasi yang bertujuan untuk mempersingkat tumpukan kasus imigrasi. Kuota tersebut mengharuskan hakim untuk menutup 700 kasus per tahun. Para pengkritik kebijakan baru berpendapat bahwa sistem kuota akan mencegah terdakwa memperoleh cukup bukti untuk mendukung kasus mereka.
  • 4 April 2018: Trump menandatangani memorandum untuk mengerahkan pasukan ke perbatasan AS-Meksiko. Trump menandatangani memorandum untuk mengerahkan pasukan Garda Nasional ke perbatasan AS-Meksiko untuk memerangi "lonjakan drastis aktivitas ilegal di perbatasan selatan." Memorandum tersebut menyatakan, "Kombinasi obat-obatan terlarang, aktivitas geng berbahaya, dan imigrasi ilegal yang luas tidak hanya mengancam keselamatan kita tetapi juga merusak supremasi hukum. Situasi di perbatasan kini telah mencapai titik krisis. Pelanggaran hukum yang berlanjut di perbatasan selatan kita pada dasarnya tidak sesuai dengan keselamatan, keamanan, dan kedaulatan rakyat Amerika. Pemerintahan saya tidak punya pilihan selain bertindak."
  •  24 April 2018: Hakim memutuskan administrasi Trump harus terus menerima aplikasi DACA baru. Hakim Distrik AS John Bates memutuskan bahwa pemerintahan Trump harus terus menerima aplikasi baru dari individu yang mencari keuntungan di bawah program DACA. Putusan sebelumnya hanya mewajibkan administrasi untuk memproses permohonan perpanjangan. Perintah itu tidak segera berlaku. Pemerintahan Trump memiliki waktu 90 hari untuk menjelaskan keputusannya untuk mengakhiri DACA.
  • 1 Mei 2018: Texas dan enam negara bagian lainnya mengajukan gugatan untuk mengakhiri DACA. Texas dan enam negara bagian lainnya mengajukan gugatan terhadap pemerintahan Trump karena terus menjalankan program DACA. Negara bagian berpendapat bahwa DACA melanggar hukum dan mengharuskan mereka menghabiskan lebih banyak uang untuk perawatan kesehatan, penegakan hukum, dan pendidikan. Mereka juga berpendapat bahwa DACA telah mengakibatkan meningkatnya persaingan untuk pekerjaan di negara bagian mereka. Alabama, Arkansas, Louisiana, Nebraska, South Carolina, dan West Virginia bergabung dengan Texas dalam mengajukan gugatan di Pengadilan Distrik AS untuk Distrik Selatan Texas.
  • 7 Mei 2018: Administrasi Trump mengumumkan akan menuntut orang tua yang melintasi perbatasan dengan anak-anak mereka. Jaksa Agung Jeff Sessions mengumumkan bahwa pemerintahan Trump akan menuntut orang tua yang melintasi perbatasan AS secara ilegal dengan anak-anak mereka. Kebijakan tersebut menyerukan agar orang tua dipisahkan dari anak-anak mereka, sambil menunggu penyelesaian kasus mereka. Kebijakan tersebut menyerukan agar anak-anak ditempatkan di tempat penampungan atau bersama keluarga. Kebijakan itu berlaku bagi mereka yang melintasi perbatasan secara ilegal, bukan mereka yang meminta suaka di pelabuhan masuk. Mereka yang tertangkap melintasi perbatasan secara ilegal akan tetap diizinkan untuk mengajukan suaka.
  • 11 Juni 2018: Sesi mengatakan individu yang menjadi korban kejahatan pribadi tidak memenuhi syarat untuk suaka.
  • Jaksa Agung Jeff Sessions mengumumkan bahwa individu yang menjadi korban kejahatan pribadi, termasuk kekerasan dalam rumah tangga dan geng, di negara asal mereka tidak akan lagi secara otomatis memenuhi syarat untuk suaka di AS Sessions mengatakan dalam sebuah pernyataan, “Imigrasi bangsa kita undang-undang memberikan suaka untuk diberikan kepada individu yang telah dianiaya, atau yang memiliki ketakutan yang beralasan akan penganiayaan, karena keanggotaan mereka dalam 'kelompok sosial tertentu,' tetapi sebagian besar korban kejahatan pribadi tidak sesuai dengan definisi ini— tidak peduli seberapa keji dan tercela kejahatan yang dilakukan terhadap mereka.”
    • 19 Desember 2018: Hakim memblokir kebijakan suaka. Pada 19 Desember 2018, Hakim Emmet Sullivan menyebut kebijakan suaka pemerintahan Trump “sewenang-wenang” dan “berubah-ubah,” dan memutuskan mendukung 12 orang dewasa dan anak-anak yang menentang kebijakan tersebut. Orang-orang tersebut mengaku telah dilecehkan secara seksual, diculik, dan dipukuli di negara asal mereka dan mencari suaka di Amerika Serikat.
  • 20 Juni 2018: Trump menandatangani perintah eksekutif yang membahas pemisahan anak-anak dari orang tua yang melintasi perbatasan secara ilegal. Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengarahkan DHS untuk menyatukan keluarga yang ditahan. Perintah itu juga meminta Departemen Pertahanan AS untuk membantu menyediakan perumahan bagi keluarga ketika pusat-pusat penahanan dalam kapasitas.
  • 26 Oktober 2018: Pemerintahan Trump akan mengirim pasukan ke perbatasan AS-Meksiko. Menteri Pertahanan James Mattis menyetujui permintaan dari DHS untuk mengirim tambahan anggota militer ke perbatasan barat daya untuk membantu agen patroli perbatasan dengan konvoi ribuan migran yang mencoba masuk. AS Pasukan tugas aktif disetujui selain 2.000 anggota Garda Nasional yang dikirim ke perbatasan AS-Meksiko pada April 2018. Pentagon mengatakan bahwa 5.200 tentara akan dikerahkan, dengan sekitar 1.800 di Texas, 1.700 di Arizona, dan 1.500 di California.
  • 30 Oktober 2018: Trump mengusulkan untuk mengakhiri kewarganegaraan hak kesulungan. Selama wawancara yang dirilis pada 30 Oktober 2018, Presiden Donald Trump mengatakan bahwa dia akan menandatangani perintah eksekutif untuk mengakhiri kewarganegaraan hak kelahiran, hak kewarganegaraan untuk bayi yang lahir di tanah AS untuk bukan warga negara dan individu yang tinggal di negara itu tanpa izin resmi.
  • 8 November 2018: Pengadilan Sirkuit Kesembilan memutuskan bahwa administrasi Trump tidak dapat mengakhiri DACA. Pengadilan Banding AS untuk Sirkuit Kesembilan menguatkan perintah awal terhadap upaya pemerintahan Trump untuk mengakhiri program DACA.
  • 9 November 2018: Trump mengeluarkan proklamasi presiden tentang suaka. Trump menandatangani proklamasi presiden yang melarang para migran yang memasuki AS tanpa izin resmi untuk meminta suaka. Proklamasi memberlakukan aturan yang diterbitkan oleh DHS dan Kehakiman yang menyatakan hanya migran yang memasuki negara itu melalui pelabuhan masuk yang sah yang dapat mengklaim suaka.
  • 20 Desember 2018: DHS mengumumkan beberapa migran akan dikirim kembali ke Meksiko untuk menunggu proses imigrasi. DHS mengumumkan bahwa individu yang mencoba memasuki AS tanpa izin resmi atau dokumentasi yang layak dapat dikembalikan ke Meksiko sambil menunggu proses imigrasi. DHS menggunakan Bagian 235(b)(2)(C) dari Undang-Undang Keimigrasian dan Kewarganegaraan dalam membuat perubahan kebijakan.
  • 21 Desember 2018: Trump menjanjikan penutupan pemerintah kecuali pendanaan tembok perbatasan dijamin. Trump mengumumkan bahwa pemerintah akan menutup kecuali pendanaan tembok perbatasan dimasukkan dalam resolusi berkelanjutan (CR) untuk mendanai pemerintah di luar tengah malam pada 22 Desember.
  • 8 Januari 2019: Trump membuat alasan untuk penghalang perbatasan dalam pidato yang disiarkan televisi; Kepemimpinan Demokrat menolak permintaan. Dalam pidato yang disiarkan televisi dari Kantor Oval pada 8 Januari 2019, Trump mengatakan bahwa ada krisis kemanusiaan dan keamanan di perbatasan selatan, dan dia meminta anggota Kongres untuk mengalokasikan $ 5,7 miliar untuk membangun tembok atau penghalang baja untuk melindungi bangsa. Trump mengatakan bahwa individu yang memasuki AS tanpa izin resmi dari perbatasan selatan membebani sumber daya publik dan menurunkan pekerjaan dan upah. Dia juga mengatakan bahwa beberapa obat dan penjahat memasuki negara itu melalui perbatasan selatan, merugikan orang Amerika.
  •  19 Januari 2019: Trump merilis rencana untuk mengamankan perbatasan dan mengakhiri penutupan Sebagian. Trump merilis rencananya untuk mengamankan perbatasan selatan dan mengakhiri penutupan sebagian pemerintah yang dimulai pada 22 Desember 2018. Trum mengatakan bahwa “Kepada setiap anggota Kongres: Keluarkan RUU yang mengakhiri krisis ini. Kepada setiap warga negara: Hubungi Kongres dan beri tahu mereka untuk akhirnya, setelah semua dekade ini, mengamankan perbatasan kita.
  • 3 Februari 2019: Administrasi Trump mengumumkan lebih banyak pasukan menuju ke perbatasan selatan. Departemen Pertahanan AS mengumumkan bahwa 3.700 anggota militer akan dikirim ke perbatasan selatan untuk membantu Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan dengan memasang kawat berduri di sepanjang perbatasan dan membantu operasi pengawasan. Sebelum pengerahan, sudah ada hampir 650 tentara di perbatasan.
  • 15 Februari 2019: Trump menandatangani RUU untuk mendanai bagian dari pemerintah dan penghalang perbatasan; menyatakan keadaan darurat. Trump menandatangani tagihan pengeluaran $328 miliar yang mencakup $1,375 miliar dalam pendanaan untuk penghalang di perbatasan selatan. Trump telah meminta $ 5,7 miliar dalam pendanaan dinding. Karena dia tidak mendapatkan jumlah yang diminta, dia mengumumkan keadaan darurat di perbatasan selatan dan mengarahkan $8,1 miliar untuk membangun tembok perbatasan.
  •  21 Februari 2020: SCOTUS mengizinkan aturan biaya publik berlaku. Mahkamah Agung Amerika Serikat memberikan suara 5-4 untuk mengizinkan aturan akhir Tidak Dapat Diterima atas Dasar-Dasar Tagihan Publik, juga dikenal sebagai aturan tagihan publik, mulai berlaku pada 24 Februari 2020. Praktik mempertimbangkan swasembada dalam proses imigrasi di Amerika Serikat sudah ada sebelum pemerintahan Trump.
  • 18 Juni 2020: Aturan SCOTUS DHS tidak mengikuti APA dengan benar saat berusaha mengakhiri DACA. Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan dalam Department of Homeland Security v. Regents of the University of California (DHS) bahwa DHS tidak mengikuti prosedur Undang-Undang Prosedur Administratif (APA) dengan benar ketika berusaha untuk mengakhiri program pada tahun 2017. Meskipun DHS memulai program pada tahun 2012 dengan memo yang tidak melalui proses pembuatan peraturan APA, keputusan pengadilan menyatakan bahwa DHS gagal memberikan analisis yang diperlukan dari semua faktor terkait yang terkait dengan penghentian program DACA. Pendapat mayoritas berpendapat bahwa itu membuat keputusan sewenang-wenang dan berubah-ubah di bawah APA. Pengadilan mengembalikan masalah tersebut ke DHS, yang dapat mencoba kembali untuk mengakhiri program dengan memberikan penjelasan yang lebih menyeluruh atas keputusannya.

Dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan imigrasi Trump menimbulkan reaksi penolakan baik dari dalam negeri maupun internasional. Kebijakan yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai bangsa Amerika yang meyakini negaranya sebagai tanah kebebasan dan harapan. Hal ini juga dianggap sebagai pengingkaran sejarah AS yang dibangun oleh kaum migran dan menempatkan AS sebagai negara yang tidak lagi mendukung demokrasi dan hak asasi manusia. Pemilihan ketujuh negara yakni Suriah, Iran, Irak, Yaman, Sudan, Somalia, dan Libya tersebut dipertanyakan karena sumber terorisme tidak hanya di tujuh negara tersebut. Dalam berbagai serangan teroris yang terjadi di AS, baik pada 11 September 2001 maupun sesudahnya, tak seorang pun dilakukan oleh imigran atau warga negara AS yang lahir dari keluarga yang berasal dari ketujuh negara tersebut.

Kebijakan Trump dinilai diskriminatif, bahkan rasialis dan membahayakan keutuhan AS. Jaksa Agung dari 16 negara bagian menilai putusan tersebut inkonstitusional dan bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan AS. Implementasi   kebijakan yang menimbulkan deportasi besar terhadap warga yang sesuai kriteria aturan tersebut, banyak keluarga akan terpecah, pariwisata AS akan menurun dan penerimaan dari sektor pendidikan berkurang dengan berkurangnya mahasiswa asing. Beberapa universitas menolak untuk mengungkapkan status keimigrasian para mahasiswanya untuk mencegah mereka dideportasi. Ratusan diplomat menyebarkan memo mengkritisi kebijakan Trump kepada pejabat tinggi Departemen Luar Negeri AS. Mereka menganggap kebijakan tersebut tidak efektif untuk melawan terorisme, merusak citra AS, hingga pada akhirnya mengancam perekonomian AS.

Dalam penelitiannya yang berjudul “Kecenderungan Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat di Era Pemerintahan Donald Trump”, Yohanes (2019: 11) berpendapat bahwa terdapat pergeseran identitas AS dari bangsa imigran menjadi bangsa nativis didorong oleh kemunculan ideologi nativisme di era kontemporer. Secara lebih rinci, argumen tersebut dapat dijelaskan melalui tiga tahapan proses. Pertama, nativisme merupakan konstruksi sejarah di AS. Kedua, Trump sebagai pembuat kebijakan luar negeri membawa diskursus tentang nativisme ke dalam politik kontemporer dengan retorika populisme. Ketiga, nativisme dan populisme yang berkembang di AS menandai pergeseran identitas menjadi bangsa nativis yang eksklusif; identitas yang kemudian memengaruhi kepentingan nasional hingga menghasilkan kebijakan migrasi AS yang restriktif. Melalui temuan tersebut, terdapat sebuah pemahaman tentang arti penting eksplanan identitas nasional dalam analisis kebijakan luar negeri.

Di bawah pemerintahan Trump, AS memiliki orientasi kebijakan luar negeri yang berbeda dibandingkan dengan Obama maupun Bush, dimana “America First” lebih mempromosikan nasionalisme AS dan cenderung anti-intervensionis. Apabila dilihat dari agenda-agenda yang disebutkan oleh pemerintah AS dalam “America First”, tampak bahwa AS sangat memprioritaskan keamanan nasionalnya dibandingkan dengan isu-isu lain.

PENUTUP

Slogan "America First" yang diusulkan mewakili ideologi Trump untuk memprioritaskan perlindungan warga negara dan kepentingan nasional AS, terutama dalam konteks keamanan nasional seperti masalah imigrasi dan terorisme. Di sisi lain, kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Trump akhirnya bergerak menuju unilateralisme atau fokus yang lebih besar pada masalah dalam negeri.
"America First" adalah kebijakan luar negeri AS yang diimplementasikan selama masa kepemimpinan Trump. Kebijakan ini menekankan perlindungan dan keamanan nasional AS dengan prinsip "Peace Through Strength", yang diyakini pemerintah AS dapat menciptakan dunia yang lebih aman dan stabil dengan konflik yang minimal.
Isu-isu imigrasi dan terorisme juga dianggap sebagai bagian dari keamanan nasional. AS sering menjadi tempat tujuan bagi imigran ilegal, seperti dari Meksiko, yang kemudian menimbulkan masalah sosial, atau kedatangan banyak pencari suaka dan pengungsi, terutama dari daerah konflik, yang dapat membawa ancaman keamanan. Meskipun imigran telah membentuk AS sebagai bangsa selama lebih dari empat ratus tahun, mereka telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi ekonomi, sosial, dan politik AS. Namun, kehadiran imigran juga menimbulkan masalah bagi penduduk asli AS, seperti persaingan dalam lapangan pekerjaan. Imigran ilegal dianggap sebagai ancaman bagi keamanan AS, termasuk perdagangan narkoba, perdagangan manusia, dan kekerasan lainnya.
Dalam kebijakan luar negeri "America First" terkait dengan imigrasi, kepentingan keamanan nasional AS, menurut klasifikasi gagasan K.J. Holsti tentang kepentingan nasional, termasuk dalam kategori jangka pendek, dengan fokus pada pengamanan wilayah, cyberspace, dan menjaga "Peace Through Strength" sebagai gaya hidup.

REFERENSI

Amaritasari, Indah. (2015). Keamanan Nasional dalam Konsep dan Standar Internasional. Jurnal Keamanan Nasional.1. 10.31599/jkn.v1i2.21

Anak A. B. Perwita & Yanyan M. Yani. (2012). “Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”. PT Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 53-66.

Andy Afinotan. (2014). “Decision Making in International Relations: A Theoretical Analysis”. Canadian Social Science Vol. 10 No. 5, hlm. 252-255

Berkowitz, Morton, and Bock, P.G, eds. (1965). American National Security. New York: Free Press.

Budiman, Abby. (2020). Key findings about U.S. immigrants. Pew Research Center. https://www.pewresearch.org/fact-tank/2020/08/20/key-findings-about-u-s-immigrants/

Eugene R. Wittkoff, Charless W dan James M. Scott. (2003). “American Foreign Policy: Sixth Edition”. United States Thomson Wadsworth, hlm. 16-19.

Federal policy on immigration, 2017 – 2020. https://ballotpedia.org/Federal_policy_on_immigration,_2017-2020#January_25.2C_2018:_Trump_administration_releases_initial_framework_for_immigration_plan

Greene, Jack. (1993). The Intellectual Construction of America: Exceptionalism and Identity from 1492–1800. Chapel Hill: University of North Carolina Press.

James N. Rosenau. (1969). “International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and Theory”. The Free Press New York, hlm. 167.

Joshua Goldstein, “International Relations”, (Longman New York: 1999), hlm. 147.

Kagan, Robert. (1998). The Benevolent Empire. Foreign Policy, No. 111, hlm. 24-35.

K.J. Holsti. (1983). International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice-Hall. hlm. 145 – 147.

K.J Holsti. (1988). “Politik Internasional, Kerangka Untuk Analisis, Jilid III (terjemahan M. Tahrir Azhari)”. Erlangga, hlm. 269.

MacWilliams, M.C. (2016). Who decides when the party doesn’t? Authoritarian voters and the rise of Donald Trump. PS: Political Science & Politics, 49(4), pp.716-721.

McCrisken, Trevor. (2002). Exceptionalism. Alexander DeConde et al. (eds.). Encyclopedia of American Foreign Policy, Vol. 2, 2nd ed. New York: Scribner.

MF Padmi, Z Yulianti. (2020). Kebijakan Imigrasi Presiden Trump Terhadap Masyarakat Imigran Di Amerika Serikat Tahun 2017-2018. GLOBAL INSIGHT JOURNAL. https://doi.org/10.52447/gij.v6i2.4763

Moons, Michelle. (2016). "Trump Update on Day 1 to 100 Plan and Transition Team Progress". Breitbart. https://www.breitbart.com/politics/2016/11/21/watch-trump-update-on-day-1-to-100-plan-and-transition-team-progress/

Natalia, Michelle. (2018). Kepentingan Keamanan Nasional Amerika Serikat dalam Kebijakan Luar Negeri “America First”. Sarjana thesis. Universitas Brawijaya.

Nasu, Hitoshi. (2011). The Expanded Conception of Security and International Law: Challenges to the UN Collective Security System. Amsterdam Law Forum. 3. 10.37974/ALF.190.

Pujayanti, Adirini. (2017).  KEBIJAKAN IMIGRASI PEMERINTAHAN PRESIDEN DONALD TRUMP. Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI. Vol. IX / No. 3. https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-IX-1-I-P3DI-Februari-2017-179.pdf

Schreckinger, Ben. (2015). Donald Trump storms Phoenix. Politico. https://www.politico.com/story/2015/07/donald-trump-storms-phoenix-119989

SPN Siregar. (2020). Pergeseran Kebijakan Amerika Serikat Pada Masa Pemerintahan Presiden Barack Obama Dan Presiden Donald Trump Terhadap Imigran Ilegal Di Perbatasan Amerika Serikat Dengan Meksiko. Skripsi. FISIP UIN. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/56285

 Taufik, T., & Pratiwi, S. (2021). American First: Kebijakan Donald Trump dalam Pembatasan Kaum Imigran ke Amerika Serikat. Intermestic: Journal of International Studies, 6(1), 221-241. doi:10.24198/intermestic.v6n1.11

William, Santoso. Y. (2019). Kecenderungan Kebijakan Imigrasi Amerika Serikat di Era Pemerintahan Donald Trump. Skripsi thesis. Universitas Airlangga. https://repository.unair.ac.id/87734/5/JURNAL_YOHANES%20WILLIAM%20SANTOSO_071511233048.pdf

Yuliantoro, N., Prabandari, A., & Agussalim, D. (2017). Pemilihan Presiden Tahun 2016 dan Politik Luar Negeri Amerika Serikat. Jurnal Hubungan Internasional, 5(2), 193-209. doi:https://doi.org/10.18196/hi.5297

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun