Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melukis Suara Kenangan

3 Februari 2022   00:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   11:56 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pade mencari-cari sejenak sebelum berseru kepadaku: "Coba senter ke sini dulu!"

Aku bergegas ke tempat Pade berjongkok dan menyorot senter ponselku ke tangannya. Ada secercah tumpul dari kaleng logam persegi, yang segera diselingi oleh kilau tajam hijau setetes air.

"Ah...akhirnya!" seru Pade, berbalik melihat ke arahku. Dia tersenyum, dan aku balas tersenyum.

"Hujan su mo turun," katanya.

Dia menyesuaikan kakinya untuk mendapatkan daya ungkit yang lebih baik agar bisa menarik kaleng harta dengan mudah. Pade meneruskan kaleng kepadaku dan aku mencengkeramnya di bawah lenganku saat dia berdiri.

"Ayo tong bale ke rumah," katanya. "Ada cerita sedikit di dalam situ, ko pasti suka." Tetesan hujan jatuh ke tutup kaleng harta, saat aku membersihkan kotoran darinya. Kaleng tersebut adalah wadah biskuit tua.

Kami bergegas kembali melewati bebatuan saat hujan semakin deras. Aku memberikan kaleng itu kepada Pade dan kami berdua berdiri di depan sungai sejenak, saat rintik hujan menambahkan warna baru pada kanvas yang ada.

Malam ini akan menjadi yang terakhir kalinya kami di sungai ini sebagai pemilik hutan ini, dan kami ingin merekamnya sebanyak mungkin. Cahaya bulan, warna dan suara, udara, dan rintik hujan lembut yang menembus semuanya... momen ini akan terukir dalam ingatanku untuk waktu yang sangat lama.

Akhirnya hujan menjadi agak terlalu deras. Aku memimpin, dengan senter ponsel di tangan, kami berjalan kembali ke rumah. Setelah mencapai sekitar tiga perempat perjalanan, angin mengamuk dan hujan mulai mereda.

Kami terlihat seperti orang dewasa yang berduka atas akhir sebuah era saat berlari menembus hujan dan tertawa seperti anak kecil. Kami melepaskan diri dari hutan dan masuk ke lapangan berumput di belakang rumah. Pade berhenti dan menatap ke langit hujan, mata terpejam, menggenggam erat kapsul waktunya.

Guntur merah marun bergemuruh di kejauhan saat aku melambat, terengah-engah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun