Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melukis Suara Kenangan

3 Februari 2022   00:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   11:56 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku melangkah maju untuk melihat kertas yang dipegang Pade. Sulit untuk melihat dalam kegelapan, tetapi kertas itu tampak seperti peta.

"Pade ada kubur satu barang di sini. Rencananya Pade gale kalo su mo pindah dari tempat ni."

APA????!!!

Pade merasakan keterkejutanku.
"Pade su jual tanah ni minggu lalu, tapi Pade minta waktu satu bulan untuk angkat barang ke kota. Pinggang yang su sakit-sakit, trus tambah setan spanggal di otak ni.... Pade pikir....ini de pu waktu untuk tong pindah ke kota. Katanya dong su buka Pitza Hat di kota ka? Pade belum pernah makan itu jadi, skalian mo coba."

Aku tidak yakin perasaan apa yang melandaku selanjutnya. Rasanya sedikit seperti kelegaan sedih, bercampur dengan nostalgia, kecemasan dan harapan. Kombinasi adrenalin dan kedamaian yang sangat sulit untuk dipahami. Terasa sangat berantakan. Aku tahu tanah ini akan dijual, dan ingin Pade yang membuat keputusan ini, namun sepertinya masih terlalu dini.

"Harta karun apa itu?" tanyaku, masih mencoba memproses.

"Foto," kata Pade. "Mungkin su ada yang gale trus tambah emas juga di sana, tapi yang jelas, lebih seperti kapsul waktu yang di Nasional Jeograpik daripada harta karun bajak laut." Pade menikmati penjelasannya Itu.

"sip kapten jek sperow, jadi sekarang tong ke arah mana?"

Pade mengangkat senter ponselnya di atas peta, sehingga aku bisa melihat petanya yang digambar secara acak dengan jelas.

Ada beberapa landmark di atasnya, tetapi sulit untuk mengetahui posisi kami di dalam peta itu, atau di mana harta itu berada. Tampaknya berada di suatu tempat di dekat sungai.

"Kayaknya de pu arah ni sudah yang ko mo pigi," kata Pade pelan. Dia menatapku dengan senyum lembut dan penuh kasih sayang. Aku kenal betul tatapan itu, pengakuan kerentanan yang langka dari Pade, tepat seperti yang aku butuhkan saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun