"Ayo tong cari, dekat saja itu." Kataku.
Tidak jauh. Hanya beberapa menit menjelajahi pepohonan, tetesan air hijau limau mulai terdengar oleh sinestesia-ku.
Begitu bisa mendengar suara air, tidak lama kemudian kami sudah berdiri di tepi sungai. Batuan mendominasi sungai -- batu-batu besar membentuk aliran air, kerikil halus di dasar sungai. Hasilnya adalah nada-nada yang mengikuti aliran air, nada yang lebih tebal saat sungai semakin dalam.
Jangkrik dan katak berkicau dengan warna merah yang berbeda-beda. Angin sepoi-sepoi berdesir di antara pepohonan. Menjadikan pemandangan seperti kanvas indah dengan warna-warni memukau.
Kami berdiri di sana, menyerap semuanya. Aku bahkan tidak menyadari kalau kami telah mematikan lampu ponsel. Udaranya sejuk dan segar, dan rumah sakit terasa seperti satu juta kilometer jauhnya.Â
Untuk sesaat sepertinya kami bakal berlama-lama di sana, tetapi suara lembut Pade akhirnya membatalkannya, memercikkan warna ungu yang menghijau dan memerah marun karena tercampur warna pada kanvas sungai.
"Kayaknya di sana, di bawah pohon itu." Aku melongo untuk menunjuk ke sebuah pohon tua yang bengkok di tepi seberang.
Awan cukup tebal sekarang, tetapi mata kami mulai beradaptasi dengan sedikit cahaya bulan yang berhasil lolos ke permukaan hutan.
Pohon tersebut adalah pohon kecil tapi kuat, dengan kulit kayu yang tebal dan kasar, mengingatkanku pada kayu yang mungkin digunakan penyihir untuk membuat sapunya.
Aku sudah pernah melihat pohon ini, mungkin seribu kali, saat bermain di sungai selama bertahun-tahun. Tidak pernah terpikir olehku kalau ada sesuatu yang mungkin terkubur di bawahnya. Waktu masih kanak-kanak, aku suka menyeberangi sungai. Sekarang, di dunia suram awal dua puluhan, aktivitas ini jauh kurang menarik.
Batu-batu itu besar, kering, dan licin, dan sebagian besar cukup datar sehingga tidak sulit untuk menyeberang. Kami mencapai pohon dan Pade langsung menuju ke akar yang sangat berbelit-belit, tersembunyi di balik batang pohon yang terbungkus di balik batu.