Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melukis Suara Kenangan

3 Februari 2022   00:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   11:56 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara Pade John adalah warna favoritku: ungu beludru. Sayangnya, suaraku hijau suram bagi Pade, yang selalu dia ingatkan jika aku terlalu banyak bicara saat menemukannya merokok.

"kalo Pade mo liat hijau banyak begini, Pade pasti su masuk hutan," katanya dengan wajah puas.

Kami berdua dianugerahi sinestesia. Ketika mendengar suara, selalu ada warna tertentu yang melekat pada suara tersebut. Alih-alih hanya mendengar, kami bisa melihat suara dalam bentuk warna. Meskipun begitu, warna yang dilihat aku dan Pade lihat berbeda satu sama lain.

Mantra kwek kwek bebek terlihat Toska bagiku, tetapi terdengar ungu kecoklatan di mata paman. Gemerincing kunci berwarna merah berani di mataku, oranye terang bagi Pade.

Tentu saja, masing-masing penampakan warna suara itu tak ada yang salah di mata masing-masing kami, karena menurut penjelasan dokter tidak ada pola warna khusus pada setiap orang yang diberkati sinestesia.

Malam itu langit terang, kami sedang duduk di sebuah bukit di perkebunan kami, menyaksikan pertunjukan bintang di malam Januari.

Ada beberapa bintang terlihat lebih besar, yang bisa dijadikan fokus pandangan dan percakapan kami; Akuila, Orion, Canis Minor, dan Polaris sejauh yang kuingat. Paman bercerita mengenai bentuk bintang dan fungsinya bagi orang-orang jaman dulu, yang menggunakannya untuk menebak iklim sampai navigasi.

Polaris yang paling terngiang di kepalaku. Mungkin karena doaku akhir-akhir ini agar Pade bisa pulang seutuhnya ke rumah sehabis operasinya lusa. Kata Pade, Polaris selalu berada di kutub Utara, dan tak pernah berubah posisi, sehingga sering digunakan pelaut sebagai penunjuk arah pulang.

Pade akan pergi ke kota besok dan lusa menjalani operasi untuk mengangkat tumor di otaknya.

Dengan gaya bercandanya, Pade mendorong para dokter untuk juga menghilangkan ingatan tentang mantan istrinya dan menggantinya dengan kecakapan musik.

Aku menambahkan, jika mereka dapat menghentikannya makan bawang putih mentah dan hisap rokok, aku akan sangat berterima kasih.

Tapi yang paling diwanti-wanti adalah agar para dokter meninggalkan 'kekuatan supernya': kecerdasannya melucu dan musik yang penuh warna.

Aku tidak berpikir sinestesianya akan berisiko, tetapi cukup tahu mengapa dia cemas. Jika aku sendiri kehilangannya, aku tak akan tahu bagaimana mengatasinya, akan terasa sekelabu apa dunia ini?

Membawa beberapa makanan ringan, kami bersantai di udara malam, dan melukis kenangan dengan suara kami. Lalu tenggelam dalam keheningan, dan hanya menyerap atmosfer. Itu adalah malam yang menyenangkan. 

Meskipun hujan akan turun, sepertinya masih lama. Saat mengamati cakrawala, aku melihat burung hantu di tiang pagar, membentuk siluet di lapangan. Aku menunjuk ke sana.

"Pade tahu to, kalo burung hantu tra bakicau," kataku sambil menatap burung hantu itu sambil mengunyah dendeng rusa dengan linglung.
"tapi kalo dong batariak, kuning neon. Cantik skali kalo liat malam-malam begini." Seolah diberi isyarat, burung hantu itu lepas landas dengan memekik.

Pade berbalik menghadapku. "Kuning? Itu merah muda."

Aku pura-pura khawatir. "Merah muda? Pade pu tumor otak su tambah parah itu." Aku tersenyum saat Pade tertawa ringan, warna favoritku mengalir dari mulutnya.

Kami duduk kembali dalam keheningan yang kurang nyaman, mengamati bintang-bintang, diselingi kicauan jangkrik yang kemerahan. 

"Pade penasaran kenapa dong tra pernah bakicau ..." gumam Pade setelah beberapa saat. "padahal dong pantas dapa puji deng biru banyak-banyak."

Aku menatap pamanku, sedikit meringis di wajahnya saat dia merenungkan pita suara burung hantu. Ekspresinya berubah marah, matanya terfokus jauh ke kejauhan. Biru adalah warna favoritnya, dan kebun kami adalah kanvas favoritnya.

Kebun menyediakan pemandangan suara yang dipenuhi gemerisik dan kicauan yang selalu kami nikmati. Meskipun tidak berani menanyakannya, aku curiga ini adalah terakhir kalinya kami berada di kebun. 

Kombinasi tagihan medis, pindah ke kota untuk berobat, dan usia Pade... kebun, rumah, beserta hutan pasti akan segera dijual, dan jika tidak ada remisi spontan, istana kesayangan kami ini akan dijual sebelum Pade menyelesaikan perawatan atau sembuh dari tumor.

Dan rasanya sia-sia duduk di atas bukit dan mengeluh tentang burung hantu. Seindah itu, tapi kelihatannya belum ada cukup suara untuk membuatnya terkesan malam ini.

"Pade mo tong jalan-jalan ka trada?" Aku bertanya.

Pade menoleh padaku. "Sebentar lagi gelap!" katanya dengan sarkasme yang sangat familiar. Kami hampir tidak bisa melihat wajah satu sama lain di malam yang gelap.

"Ayo, tong ke kali (sungai)," aku bersikeras. "Trus dengar katak deng air." Aku mulai berharap untuk lebih melihat suara ungu Pade, dan tidak hanya bercanda dengannya tentang warna di sungai. Kenangan perjalanan kebun binatang pada hari hujan dan perjalanan ke rumah katak, dan lelucon Pade tentang hari biru yang indah, membuatku mengira suara katak biru di matanya.  

"Yah ampuuun!" seru Pade.

"Apa?" Aku menegakkan kepala dan melihat Pade memeriksa kakinya. "Pade kenapa?"

"Kanker barusan menjalar ke Pade pu kaki, Pade su trabisa jalan lagi kapa," kata Pade, lalu menatapku sambil tersenyum.

"Ah...Pade ni paling macam apa saja," gerutuku. Aku sedikit bingung mengapa Pade begitu enggan. Menurutku jalan-jalan adalah cara yang bagus untuk menghabiskan malam ini sebelum bulan-bulan ketidakpastian dan udara rumah sakit. Setidaknya memotret satu kenangan terakhir yang bagus tentang istana kami ini. Tetapi sepertinya paman tidak sependapat dengan pemikiranku itu, dan aku terkejut melihat betapa hal itu sangat menggangguku.

Aku mulai menyadari bahwa malam ini bukan hanya tentang Pade. Operasi Pade tidak akan menyenangkan atau mudah bagiku juga. Jika operasi tidak berhasil, atau kanker tidak sembuh, aku akan menghabiskan waktu berbulan-bulan di bangsal rumah sakit, menyaksikan Pade perlahan-lahan mati, bunyi bip peralatan menambahkan warna merah muda dan kuning pucat ke tempat yang suasananya sudah suram.

Aku tidak menginginkan semua itu. Pasti akan sangat tidak menyenangkan dan aku bahkan tidak bisa menikmati malam terakhir yang layak  untuk menjadi kenangan indah sebagai penghibur bagi malam-malam suram ke depan.

Aku menarik napas. Aku sedang egois. Pade yang merawatku dari bayi sedang sekarat, dan aku malah memikirkan ketidaknyamananku. Malam ini bukan hanya tentang aku, aku tahu itu, tetapi malam ini juga merupakan bagian dari ceritaku.

Aku ingin mengingat malam ini dengan nada cerah. Ini adalah hutan tempat aku dibesarkan,  tempat Pade membesarkanku dan mengajariku seperti anaknya sendiri; istana tempatku belajar mengemudi semua kendaraan yang mampuku kendarai; menembak, menombak, dan menangkap ikan dan hewan buruan; hutan ini adalah tempatku mendapatkan hampir semua kemampuan vital untuk bertahan hidup; hutan ini yang membentuk siapa aku sekarang! Aku ingin menjelajahinya malam ini untuk terakhir kalinya.

"Oke sudah, kalo begitu sa pi jalan-jalan sendiri, " kataku singkat. Aku berdiri. "Sa jalan dulu, Pade."

"oke anak, jang pulang lat (larut). Ko bawa hape to?"
"Iyo, Pade." Itu adalah percakapan yang efisien, tanpa emosi dan tidak berpura-pura.

Aku berjalan menuruni bukit, bahkan tidak repot-repot menyalakan senter ponselku. Terhentak menuruni bukit sepertinya hanya membuatku marah, hingga saat mencapai tepi hutan nanti, aku ingin memecahkan sesuatu.

Tapi amarahku memaksaku melakukannya sebelum sampai di sana. Aku melemparkan sebatang ranting ke pohon. Dan kemudian melemparkan satu lagi. Aku berjalan menelusuri hutan, mengambil tongkat lain dan menggunakannya seperti parang tumpul untuk menembus cabang dan tanaman merambat.

Kanker takupas (brengsek).

Aku tahu sungai itu akan menenangkanku. Air terdengar hijau limau, yang merupakan gangguan abadiku. Seharusnya biru, bukan hijau bodoh ini. Rasanya tidak adil. Tapi suaranya menenangkan, makanya aku sering pergi ke sungai saat masih kecil. Semoga suaranya akan menjadi kenangan yang bagus.

Aku terus berjalan. Anak sungai itu tidak jauh, tetapi aku dengan keras kepala menghindari jalan setapak yang agak terjal dan itu artinya aku harus memutar jauh. Yang ternyata menjadi hal yang baik, karena detak jantungku perlahan melambat, mengikuti tekanan darah yang menjadi sedikit lebih masuk akal. Gundahku perlahan menghilang mengikuti semilir angin yang menyeduh kesejukan di kulitku.

Aku melihat ke langit melalui celah pepohonan -- hampir semua bintang hilang sekarang, tersembunyi di balik awan gelap. Burung-burung akan mencari perlindungan sekarang. Aku memikirkan kembali burung hantu di kebun tadi, dan pekikannya, membuatku berpikir tentang pterodactyl yang terbang tinggi di atas hutan Jurasik.

Aku berhenti, bersandar di pohon untuk mengatur napas. Semak belukar sudah tidak ada ke depannya, jadi aku tidak lagi membutuhkan tongkat. Aku membuangnya ke samping dan menarik napas dalam-dalam.

Aku tidak menyalahkan Pade, tentu saja. Tidak diragukan lagi, saat ini, masa depan lebih menakutkan baginya daripada bagiku.

Pasti Pade punya lebih banyak pikiran yang mengalihkan perhatiannya untuk tidak menjadikan malam ini sebagai pengalaman yang sempurna bagi kami. Semua ini pasti membuatnya lebih frustrasi daripada aku sekarang.

Aku memikirkan hal ini untuk beberapa saat, bersandar di pohon dan menenangkan diri di udara malam. Aku yakin sungai itu dekat, tetapi daya tarik untuk pergi ke sana sendirian tidak terlalu kuat sekarang, aku sudah sedikit tenang.

Aku hendak berbalik ketika mendengar gemerisik kemerahan di belakangku dan untuk sesaat, aku lupa kalau sedang berada di dunia nyata. Jantungku berdegup kencang dan tiba-tiba aku benar-benar takut akan diterkam dinosaurus!

Pikiranku berputar tak karuan, dan benar-benar membayangkan seekor binatang mencabik-cabikku. Sebaliknya, aku melihat bentuk yang sangat mirip dengan Pade.

"Rrrrrraugh!" Dia menggeram, meskipun lebih mirip panda yang dirajam daripada apa pun yang menakutkan.

Aku merasa sedikit agak konyol. "Malam Pade." sapaku sambil tersenyum.

"Pade minta maaf... setan kecil (kanker) di Pade pu kepala ni bikin Pade stres tra jelas." kata Pade.

Aku mengangguk. Dia tahu aku mengerti. Mulutku terbuka, namun sebelum bendungan air di mataku pecah dan suaraku keluar meminta maaf, Pade sengaja lebih dulu mengeluarkan secarik kertas.

"Pade ketemu ini di rumah tadi pagi. Trus mo singgah ke sini sebelum ke kota besok, tapi karna ko su di sini, lebih baik tong gale barang itu sekarang. Sebelum hujan turun."

Aku melangkah maju untuk melihat kertas yang dipegang Pade. Sulit untuk melihat dalam kegelapan, tetapi kertas itu tampak seperti peta.

"Pade ada kubur satu barang di sini. Rencananya Pade gale kalo su mo pindah dari tempat ni."

APA????!!!

Pade merasakan keterkejutanku.
"Pade su jual tanah ni minggu lalu, tapi Pade minta waktu satu bulan untuk angkat barang ke kota. Pinggang yang su sakit-sakit, trus tambah setan spanggal di otak ni.... Pade pikir....ini de pu waktu untuk tong pindah ke kota. Katanya dong su buka Pitza Hat di kota ka? Pade belum pernah makan itu jadi, skalian mo coba."

Aku tidak yakin perasaan apa yang melandaku selanjutnya. Rasanya sedikit seperti kelegaan sedih, bercampur dengan nostalgia, kecemasan dan harapan. Kombinasi adrenalin dan kedamaian yang sangat sulit untuk dipahami. Terasa sangat berantakan. Aku tahu tanah ini akan dijual, dan ingin Pade yang membuat keputusan ini, namun sepertinya masih terlalu dini.

"Harta karun apa itu?" tanyaku, masih mencoba memproses.

"Foto," kata Pade. "Mungkin su ada yang gale trus tambah emas juga di sana, tapi yang jelas, lebih seperti kapsul waktu yang di Nasional Jeograpik daripada harta karun bajak laut." Pade menikmati penjelasannya Itu.

"sip kapten jek sperow, jadi sekarang tong ke arah mana?"

Pade mengangkat senter ponselnya di atas peta, sehingga aku bisa melihat petanya yang digambar secara acak dengan jelas.

Ada beberapa landmark di atasnya, tetapi sulit untuk mengetahui posisi kami di dalam peta itu, atau di mana harta itu berada. Tampaknya berada di suatu tempat di dekat sungai.

"Kayaknya de pu arah ni sudah yang ko mo pigi," kata Pade pelan. Dia menatapku dengan senyum lembut dan penuh kasih sayang. Aku kenal betul tatapan itu, pengakuan kerentanan yang langka dari Pade, tepat seperti yang aku butuhkan saat ini.

"Ayo tong cari, dekat saja itu." Kataku.

Tidak jauh. Hanya beberapa menit menjelajahi pepohonan, tetesan air hijau limau mulai terdengar oleh sinestesia-ku.

Begitu bisa mendengar suara air, tidak lama kemudian kami sudah berdiri di tepi sungai. Batuan mendominasi sungai -- batu-batu besar membentuk aliran air, kerikil halus di dasar sungai. Hasilnya adalah nada-nada yang mengikuti aliran air, nada yang lebih tebal saat sungai semakin dalam.

Jangkrik dan katak berkicau dengan warna merah yang berbeda-beda. Angin sepoi-sepoi berdesir di antara pepohonan. Menjadikan pemandangan seperti kanvas indah dengan warna-warni memukau.

Kami berdiri di sana, menyerap semuanya. Aku bahkan tidak menyadari kalau kami telah mematikan lampu ponsel. Udaranya sejuk dan segar, dan rumah sakit terasa seperti satu juta kilometer jauhnya. 

Untuk sesaat sepertinya kami bakal berlama-lama di sana, tetapi suara lembut Pade akhirnya membatalkannya, memercikkan warna ungu yang menghijau dan memerah marun karena tercampur warna pada kanvas sungai.

"Kayaknya di sana, di bawah pohon itu." Aku melongo untuk menunjuk ke sebuah pohon tua yang bengkok di tepi seberang.

Awan cukup tebal sekarang, tetapi mata kami mulai beradaptasi dengan sedikit cahaya bulan yang berhasil lolos ke permukaan hutan.

Pohon tersebut adalah pohon kecil tapi kuat, dengan kulit kayu yang tebal dan kasar, mengingatkanku pada kayu yang mungkin digunakan penyihir untuk membuat sapunya.

Aku sudah pernah melihat pohon ini, mungkin seribu kali, saat bermain di sungai selama bertahun-tahun. Tidak pernah terpikir olehku kalau ada sesuatu yang mungkin terkubur di bawahnya. Waktu masih kanak-kanak, aku suka menyeberangi sungai. Sekarang, di dunia suram awal dua puluhan, aktivitas ini jauh kurang menarik.

Batu-batu itu besar, kering, dan licin, dan sebagian besar cukup datar sehingga tidak sulit untuk menyeberang. Kami mencapai pohon dan Pade langsung menuju ke akar yang sangat berbelit-belit, tersembunyi di balik batang pohon yang terbungkus di balik batu.

Pade mencari-cari sejenak sebelum berseru kepadaku: "Coba senter ke sini dulu!"

Aku bergegas ke tempat Pade berjongkok dan menyorot senter ponselku ke tangannya. Ada secercah tumpul dari kaleng logam persegi, yang segera diselingi oleh kilau tajam hijau setetes air.

"Ah...akhirnya!" seru Pade, berbalik melihat ke arahku. Dia tersenyum, dan aku balas tersenyum.

"Hujan su mo turun," katanya.

Dia menyesuaikan kakinya untuk mendapatkan daya ungkit yang lebih baik agar bisa menarik kaleng harta dengan mudah. Pade meneruskan kaleng kepadaku dan aku mencengkeramnya di bawah lenganku saat dia berdiri.

"Ayo tong bale ke rumah," katanya. "Ada cerita sedikit di dalam situ, ko pasti suka." Tetesan hujan jatuh ke tutup kaleng harta, saat aku membersihkan kotoran darinya. Kaleng tersebut adalah wadah biskuit tua.

Kami bergegas kembali melewati bebatuan saat hujan semakin deras. Aku memberikan kaleng itu kepada Pade dan kami berdua berdiri di depan sungai sejenak, saat rintik hujan menambahkan warna baru pada kanvas yang ada.

Malam ini akan menjadi yang terakhir kalinya kami di sungai ini sebagai pemilik hutan ini, dan kami ingin merekamnya sebanyak mungkin. Cahaya bulan, warna dan suara, udara, dan rintik hujan lembut yang menembus semuanya... momen ini akan terukir dalam ingatanku untuk waktu yang sangat lama.

Akhirnya hujan menjadi agak terlalu deras. Aku memimpin, dengan senter ponsel di tangan, kami berjalan kembali ke rumah. Setelah mencapai sekitar tiga perempat perjalanan, angin mengamuk dan hujan mulai mereda.

Kami terlihat seperti orang dewasa yang berduka atas akhir sebuah era saat berlari menembus hujan dan tertawa seperti anak kecil. Kami melepaskan diri dari hutan dan masuk ke lapangan berumput di belakang rumah. Pade berhenti dan menatap ke langit hujan, mata terpejam, menggenggam erat kapsul waktunya.

Guntur merah marun bergemuruh di kejauhan saat aku melambat, terengah-engah.

"Wuyyuuuuuuhh!" Pade berteriak, lengannya terentang.

Aku menyeringai, dan tidak bisa menahan diri untuk untuk ikut berteriak. Mungkin satu atau dua air mata bergabung dengan tetesan air hujan yang mengalir di wajahku. Pade pantas mendapatkan semua ini. Aku juga.

Kelegaan meluncur bersama angin dan hujan. Kami tetap di tengah hujan sampai terlalu dingin, dan masuk ke dalam rumah lalu mengeringkan diri dengan handuk.

Kemudian kami mengambil bobo (minol lokal) dan duduk di teras kayu. Pade sedang membuka kaleng dan plastik yang melindungi foto-foto itu. Setelahnya aku mendengarkan Pade menceritakan kisah di balik setiap foto: foto rumah, pondok kebun, proyek kolam ikan lele yang macet, rumah pohon yang diterbangkan badai.

Pade dengan lembut menjalin anekdot bersama-sama dari waktunya di istana tercinta saat aku duduk mendengarkan. Mendengarkan suara ungu beludru Pade. Mendengarkan gemerisik foto dan ketukan kayu Pade yang bersemangat untuk menekankan ceritanya. Mendengarkan suara hujan merah muda ruby di atap seng, diselingi dengan merah marun guntur.

Dalam beberapa keadaan lain, warna-warna tersebut akan menjadi bermacam-macam warna kusam yang acak, sebaliknya warna yang dalam dan tebal kali ini terasa hangat dan nyaman.

Aku memejamkan mata dan membiarkannya menyelimutiku seperti selimut.

Tamat. 

Ket: pade = bapa ade, panggilan kepada adik laki-laki ayah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun