Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melukis Suara Kenangan

3 Februari 2022   00:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   11:56 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tidak menginginkan semua itu. Pasti akan sangat tidak menyenangkan dan aku bahkan tidak bisa menikmati malam terakhir yang layak  untuk menjadi kenangan indah sebagai penghibur bagi malam-malam suram ke depan.

Aku menarik napas. Aku sedang egois. Pade yang merawatku dari bayi sedang sekarat, dan aku malah memikirkan ketidaknyamananku. Malam ini bukan hanya tentang aku, aku tahu itu, tetapi malam ini juga merupakan bagian dari ceritaku.

Aku ingin mengingat malam ini dengan nada cerah. Ini adalah hutan tempat aku dibesarkan,  tempat Pade membesarkanku dan mengajariku seperti anaknya sendiri; istana tempatku belajar mengemudi semua kendaraan yang mampuku kendarai; menembak, menombak, dan menangkap ikan dan hewan buruan; hutan ini adalah tempatku mendapatkan hampir semua kemampuan vital untuk bertahan hidup; hutan ini yang membentuk siapa aku sekarang! Aku ingin menjelajahinya malam ini untuk terakhir kalinya.

"Oke sudah, kalo begitu sa pi jalan-jalan sendiri, " kataku singkat. Aku berdiri. "Sa jalan dulu, Pade."

"oke anak, jang pulang lat (larut). Ko bawa hape to?"
"Iyo, Pade." Itu adalah percakapan yang efisien, tanpa emosi dan tidak berpura-pura.

Aku berjalan menuruni bukit, bahkan tidak repot-repot menyalakan senter ponselku. Terhentak menuruni bukit sepertinya hanya membuatku marah, hingga saat mencapai tepi hutan nanti, aku ingin memecahkan sesuatu.

Tapi amarahku memaksaku melakukannya sebelum sampai di sana. Aku melemparkan sebatang ranting ke pohon. Dan kemudian melemparkan satu lagi. Aku berjalan menelusuri hutan, mengambil tongkat lain dan menggunakannya seperti parang tumpul untuk menembus cabang dan tanaman merambat.

Kanker takupas (brengsek).

Aku tahu sungai itu akan menenangkanku. Air terdengar hijau limau, yang merupakan gangguan abadiku. Seharusnya biru, bukan hijau bodoh ini. Rasanya tidak adil. Tapi suaranya menenangkan, makanya aku sering pergi ke sungai saat masih kecil. Semoga suaranya akan menjadi kenangan yang bagus.

Aku terus berjalan. Anak sungai itu tidak jauh, tetapi aku dengan keras kepala menghindari jalan setapak yang agak terjal dan itu artinya aku harus memutar jauh. Yang ternyata menjadi hal yang baik, karena detak jantungku perlahan melambat, mengikuti tekanan darah yang menjadi sedikit lebih masuk akal. Gundahku perlahan menghilang mengikuti semilir angin yang menyeduh kesejukan di kulitku.

Aku melihat ke langit melalui celah pepohonan -- hampir semua bintang hilang sekarang, tersembunyi di balik awan gelap. Burung-burung akan mencari perlindungan sekarang. Aku memikirkan kembali burung hantu di kebun tadi, dan pekikannya, membuatku berpikir tentang pterodactyl yang terbang tinggi di atas hutan Jurasik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun