METODOLOGI PENELITIAN
Penulis menggunakan metode deskriptif kepustakaan masalah perjumpaan antara Injil dan kebudayaan menjadi pergumulan orang Kristen di sepanjang sejarah. Bagaimana mentransformasikan Injil itu kepada kebudayaan yang sudah dikuasai dosa dan iblis tersebut. Trnasformasi itu tidak hanya menyangkut masalah budaya, tetapi menyangkut manusianya sebagai pencipta kebu-dayaan . Oleh sebab itu trasformasi kultural yang dilakukan Allah melalui inkarnasi Yesus Kristus menggiring manusia kepada suatu proses berbalik secara eksistensial, yaitu menuntut manusia mengubah orientasi kehidupannya secara total. Perlunya pertobatan budaya sehingga lahir budaya baru dari orang orang yang telah dibaharui oleh Kristus
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara antropologis, apapun bentuknya konsepsi-konsepsi tersebut bersumber dari penghayatan terhadap kuasa transenden, yang diyakini hadir melalui peristiwa-peristiwa yang dialami. Anggapan manusia atas adanya kenyataan lain di luar dirinya dimanifestasikan dalam simbol-simbol, baik ritual maupun sosial yang dipraktekkan dalam kehidupannya secara turun temurun. Pemahaman yang telah dimiliki itu dijadikan modal untuk membawa Injil dalam konteks alam berfikir Jawa.
Jika pemahaman kepercayaan tentang Tuhan oleh etnis Jawa dipercayai sedemikian rupa perlu dijelaskan bahwa Allah itu adalah suatu Pribadi yang nyata, yang menciptakan : jagad raya ( jagad gede= makrokosmos ) dan yang menciptakan manusia (jagad cilik= mikrokosmos). Allah yang menciptakan manusia itulah yang bertanggungjawab terhadap ciptaanNya. Kepercayaan Jawa yang bercorak dinamistik– animistik, mengakui adanya kuasa yang tak berpribadi dan berpribadi, maupun kepercayaan yang bercorak kosmik-monistik hanya mengakui realitas kosmos tidak memahami adanya Tuhan secara definitif. Oleh sebab itu tidak ada hubungan secara interpersonal dengan kuasa yang diakuinya sebagai YANG BERKUASA diluar dirinya. Antara sesuatu yang dianggap transenden dan manusia tidak ada campur tangan interpersonal dalam dinamisme dan animisme, jika terjadi campur tangan dari kuasa di luar manusia, itu sifatnya kesewenang-wenangan, bukan campur tangan interpersonal. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dimengerti semata-mata sebagai kententuan alam.
Selamat atau tidak selamat merupakan peristiwa yang semata-mata berkaitan kesejahteraan hidup sekarang. Dosa sulit ditemukan dalam pandangan kepercayaan Jawa, sebab alam berfikir dinamistik-animistik sama sekali tidak ada pengertian dosa sebagai penyebab penderitaan manusia. Yang ada adalah usaha manusia untuk menghidarkan diri dari “ tulak balak” yang terdapat pada benda-benda, hewan atau kekuatan roh-roh halus disekitar manusia ( demit ). Dalam pengertian kosmis-monistik, dosa dianggap sebagai yang tidak lagi memperhatikan ketentuan siklus kosmos; akibat pelanggaran itu menimbulkan kesengsaraan. Jadi arti selamat menurut kepercayaan Jawa adalah kelangsungan hidup dengan penuh kesejahteraan dan rasa damai. Mereka diselamatkan kalau mereka tidak kena musibah/bencana yang menimbulkan kesengsaraan hidup.Dalam Kehidupan Jemaat yang memiliki latar belakang etnis Jawa ada indikasi diantara mereka masih terikat pada konsepsi lama, misalnya arti keselamatan sebagaimana diajarkan dalam Alkitab masih kabur, akibatnya penghayatan akan keselamatan itu juga mengambang, abstrak dan tidak dapat dimengerti, akibatnya mereka cenderung kembali pada tindakan kongkret yang dapat dimengerti secara indrawi yang berakar pada alam kepercayaan Jawa.. Relasi personal dengan Allah belum dihayati secara mendalam, sehingga spiritualitas dalam kehidupan terasa kering. Praksis agamawi seperti slametan, sunatan, tingkeban, ruwatan, midodareni, tindakan ritual lainnya masih tampak dalam kehidupan jemaat. Sikap hidup yang mengutamakan keluhuran budi dan kepasrahan terhadap ketentuan yang berada di luar jangkauan nalar manusia( ketentuan alam) masih terserap dalam kepribadian orang Jawa. Dalam pandangan hidup orang Jawa keluruhan budi disertai pengembangan cinta kasih universal merupakan sesuatu yang dicita-citakan. Dengan budi luhur itu dicapailah manusia utama, yang dapat memberikan kesejahteraan baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.. Kepasrahan diri yang diungkapkan melalui berbagai istilah dan sikap hidup berorientasi kepada daya alami sebagai kuasa penentu. Bagaimanakah Injil dan PWG bagi etnis Jawa yang mempunyai wordview sedemikian rupa ?
Tanpa disadari bahwa dalam praktek penginjilan, karena kurang mengerti/dibekali dengan pemahaman terhadap budaya setempat akibatnya justru menghambat Injil untuk mereka. Tidak kecuali terhadap etnis Jawa yang memiliki budaya yang begitu unik. Akibatnya tidak banyak etnis Jawa yang “memiliki pengaruh” mau menerima Injil. Kalau toh ada yang menerima Injil mereka adalah dari kalangan orang kebanyakan.
Oleh sebab itu dalam penginjilan terhadap etnis Jawa dan pembinaannya perlu menterjemahkan Injil dan bentuk-bentuk penjabarannya dalam jalinan masyarakat, yang diungkapkan dalam konteks Jawa tanpa mencabut dari akar budaya serta pengertian yang telah di terima dengan memberi : Form and Meaning yang baru, artinya bagaimanakah orang Jawa yang menjadi Kristen tanpa kehilangan identitasnya sebagai orang Jawa yang bercorak kolektif, gotong royong, mempertahankan unggah-ungguh ( tata krama) dst., bukan individual yang terpisah dengan komunitasnya lalu di cap sebagai “londo ireng / ora lumrah uwong”.
Membina mereka yang telah menerima Jesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, bahwa Injil menawarkan perlindungan satu-satunya, yaitu Allah sendiri ( yang selama ini dipercayai sebagai : Sangkan paraning dumadi. Jika mereka sebelumnya meyakini adanya relasi antara jagad cilik dengan jagad gede, ternyata setelah mengetahui dirinya sebagai ciptaan Allah yang segambar dengan dia, Allah ingin mengadakan hubungan /relasi dengan manusia, kemudian manusia berserah diri dan memiliki rasa aman, dan memiliki kepastian hidup dan pegangan yang handal dan memiliki kepastian selamat dalam Yesus Kristus sebagai sang Pencipta jagad cilik dan jagad gede ini.
Kepasrahan ( sumarah/ wus titiwanci dll ) kemudian bila seseorang telah menerima Injil terjadilah pemulihan relasi yang benar dengan Allah, antar Khalik dan makluk, antara Pelindung dengan yang dilindungi, dengan relasi yang penuh penyerahan diri kepada Allah selaku Pelindung. Kepasrahan ini bukan berarti takdir/fatalisme , tetapi kesanggupan untuk menghadapi segala kenyatakaan hidup dalam relasinya dengan Allah.