PELAYANAN INJIL DAN PEMBINAAN WARGA GEREJA (PWG) TERHADAP KOMUNITAS BUDAYA JAWA
David Ming
Abdi Gusti Theological College
Email;davidmingming3@gmail.com
ABSTRAK
Alam berfikir dan hidup orang Jawa tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan yang melatarbelakanginya. Ada dua corak lapisan dasar dalam kepercayaan orang Jawa, yaitu : bersifat dinamistik-animistik dan yang bersifat kosmik monistik. Dua corak itu tertimbun oleh lapisan-lapisan yang diwarnai pengaruh agama-agama pendatang. Lapisan dasar itu tidak pernah lenyap. Sebenarnya kepercayaan asli itu dapat berkembang, tetapi kerena pemeluknya masih buta aksara, sehingga hanya konsepsi religius yang berakar dalam sunubari masyarakat Jawa. Pada saat perjumpaannya dengan agama pendatang tidak terjadi penggabungan atau pencampuradukan konsepsi secara esensial, juga tidak terjadi penghancuran/peleburan konsepsi asli kepercayaan Jawa. Tetapi lebih permisif kepercayaan asli yang terbuka menerima, mengadopsi dan menggunakan terminologi agama pendatang. Ternyata agama pendatang dan kebudayaan pendatang itu dalam proses perjumpaannya dengan lapisan dasar kepercayaan Jawa, terjadilah bentuk baru( kompromis) yang secara bebas menggunakan terminologi yang mewarnai perkembangan pengertiannya, tentang kepercayaan tersebut Misalnya istilah ; Allah, Sang Hyang, Dewa, Bethara , Hong Milaheng ,dll Sekalipun dalam lapisan dasar kepercayaan Jawa belum tersistematisasikan, melalui karya ilmiah ini akan mencoba melacaknya, lalu kemudian bagaimana menemukan jalan untuk memberitakan Injil dan membina kepada mereka yang telah memiliki latar belakang word viev sedemikian rupa. Oleh sebab itu kontekstualisasi tidak hanya sekedar alat atau strategi pekabaran Injil, tetapi juga sebagi alat pencarian bersama makna Injil dalam bentuk penjabarannya dalam jalinan hidup masyarakat secara holistik, sebab kontekstualisasi lebih terkait dengan masalah soteriologi. Karena itu penulis karya ini memberikan jawaban solusi terhadap masalah bagaimana Injil dapat diterjemahkan dan iman Kristen diungkapkan dalam konteks hidup seorang Jawa tanpa dirinya tercabut dari akar budaya serta warisan yang telah diterima, sehingga orang Jawa menjadi Kristen tanpa kehilangan kejawaannya.
Kata kunci: Pelayanan Injil, Pembinaan Warga Gereja, Lomunitas, Budaya Jawa
ABSTRACT
The nature of Javanese thought and life cannot be separated from the beliefs that lie behind it. There are two basic layer features in Javanese belief, namely: dynamic-animistic and cosmic-monistic in nature. The two features are buried by layers colored by the influences of immigrant religions. That base layer never disappears. Actually, this original belief can develop, but because the adherents are still illiterate, so that only a religious conception is rooted in the sunubari of Javanese society. At the time of his encounter with immigrant religions, there was no essential amalgamation or mixing of conceptions, nor was there any destruction / fusion of the original conceptions of Javanese beliefs. However, it is more permissive to the original belief that is open to accepting, adopting and using the terminology of foreign religion. It turns out that the immigrant religion and the immigrant culture in the process of meeting the basic layers of Javanese belief, a new form (compromise) occurs which freely uses terminology that colors the development of its meaning, for example the term; Allah, Sang Hyang, Dewa, Bethara, Hong Milaheng, etc. Even though the basic layer of Javanese belief has not been systematized, through this scientific work we will try to trace it, then how to find a way to preach the gospel and build it up to those who already have such a background in word viev likeness. Therefore contextualization is not only a tool or strategy for evangelism, but also as a means of searching together for the meaning of the Gospel in the form of its elaboration in the holistic fabric of people's lives, because contextualization is more related to soteriological issues. Therefore the author of this work provides a solution to the problem of how the Bible can be translated and Christian faith is expressed in the context of a Javanese life without being deprived of the cultural roots and inheritance that has been received, so that the Javanese become Christians without losing their Javanese nature.
Keywords: Gospel Service, Community Development, Community, Javanese Culture
PENDAHULUAN
Antropologi adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang pandangan Timur terhadap kehidupan ini. Manfaat memahami disiplin ilmu tersebut untuk mengetahui tingkah laku (behavioral science) yang mengamati secara total orang dan kelompoknya, yaitu kerjanya, ritualnya, pola membesarkan anak, seni, musik, agama, politik, organisasi masyarakat.( Punawan, 2002:3)
Paper ini dibatasi hanya pada kepercayaan etnis Jawa yang tinggal di P.Jawa
Tidak dapat dipungkiri bahwa kenyataannya masyarakat Jawa telah memiliki akar budaya yang lengkap dengan kepercayaan dan pandangan hidup dalam alam pikiranya sendiri. Masayarakat Jawa adalah komunitas yang tinggal dan hidup di sebagian besar pulau Jawa, utamanya di Tawa Tengah dan Jawa Timur, minus masyarakat Madura yang tinggal di P. Madura dan sekitar pantai utara Jawa Timur. Sedangkan di Jawa Barat dihuni 97 % etnis Sunda; yang sisanya adalah etnis campuran
Bahasan ini akan mencoba untuk menguak kepercayaan Jawa dengan segala ritualnya. Untuk itu akan di teliti, konsepsi tentang Tuhan, manusia, alam semesta dan relasi ketiganya serta konsepsi tentang hidup dan kehidupan. Diharapkan setelah memahami hal itu, kita dapat mengupayakan bagaimana caranya Injil dapat dimengerti dan diterima mereka, sehingga mereka juga menjadi ahli waris kerajaan Allah.
METODOLOGI PENELITIAN
Penulis menggunakan metode deskriptif kepustakaan masalah perjumpaan antara Injil dan kebudayaan menjadi pergumulan orang Kristen di sepanjang sejarah. Bagaimana mentransformasikan Injil itu kepada kebudayaan yang sudah dikuasai dosa dan iblis tersebut. Trnasformasi itu tidak hanya menyangkut masalah budaya, tetapi menyangkut manusianya sebagai pencipta kebu-dayaan . Oleh sebab itu trasformasi kultural yang dilakukan Allah melalui inkarnasi Yesus Kristus menggiring manusia kepada suatu proses berbalik secara eksistensial, yaitu menuntut manusia mengubah orientasi kehidupannya secara total. Perlunya pertobatan budaya sehingga lahir budaya baru dari orang orang yang telah dibaharui oleh Kristus
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara antropologis, apapun bentuknya konsepsi-konsepsi tersebut bersumber dari penghayatan terhadap kuasa transenden, yang diyakini hadir melalui peristiwa-peristiwa yang dialami. Anggapan manusia atas adanya kenyataan lain di luar dirinya dimanifestasikan dalam simbol-simbol, baik ritual maupun sosial yang dipraktekkan dalam kehidupannya secara turun temurun. Pemahaman yang telah dimiliki itu dijadikan modal untuk membawa Injil dalam konteks alam berfikir Jawa.
Jika pemahaman kepercayaan tentang Tuhan oleh etnis Jawa dipercayai sedemikian rupa perlu dijelaskan bahwa Allah itu adalah suatu Pribadi yang nyata, yang menciptakan : jagad raya ( jagad gede= makrokosmos ) dan yang menciptakan manusia (jagad cilik= mikrokosmos). Allah yang menciptakan manusia itulah yang bertanggungjawab terhadap ciptaanNya. Kepercayaan Jawa yang bercorak dinamistik– animistik, mengakui adanya kuasa yang tak berpribadi dan berpribadi, maupun kepercayaan yang bercorak kosmik-monistik hanya mengakui realitas kosmos tidak memahami adanya Tuhan secara definitif. Oleh sebab itu tidak ada hubungan secara interpersonal dengan kuasa yang diakuinya sebagai YANG BERKUASA diluar dirinya. Antara sesuatu yang dianggap transenden dan manusia tidak ada campur tangan interpersonal dalam dinamisme dan animisme, jika terjadi campur tangan dari kuasa di luar manusia, itu sifatnya kesewenang-wenangan, bukan campur tangan interpersonal. Peristiwa-peristiwa yang terjadi dimengerti semata-mata sebagai kententuan alam.
Selamat atau tidak selamat merupakan peristiwa yang semata-mata berkaitan kesejahteraan hidup sekarang. Dosa sulit ditemukan dalam pandangan kepercayaan Jawa, sebab alam berfikir dinamistik-animistik sama sekali tidak ada pengertian dosa sebagai penyebab penderitaan manusia. Yang ada adalah usaha manusia untuk menghidarkan diri dari “ tulak balak” yang terdapat pada benda-benda, hewan atau kekuatan roh-roh halus disekitar manusia ( demit ). Dalam pengertian kosmis-monistik, dosa dianggap sebagai yang tidak lagi memperhatikan ketentuan siklus kosmos; akibat pelanggaran itu menimbulkan kesengsaraan. Jadi arti selamat menurut kepercayaan Jawa adalah kelangsungan hidup dengan penuh kesejahteraan dan rasa damai. Mereka diselamatkan kalau mereka tidak kena musibah/bencana yang menimbulkan kesengsaraan hidup.Dalam Kehidupan Jemaat yang memiliki latar belakang etnis Jawa ada indikasi diantara mereka masih terikat pada konsepsi lama, misalnya arti keselamatan sebagaimana diajarkan dalam Alkitab masih kabur, akibatnya penghayatan akan keselamatan itu juga mengambang, abstrak dan tidak dapat dimengerti, akibatnya mereka cenderung kembali pada tindakan kongkret yang dapat dimengerti secara indrawi yang berakar pada alam kepercayaan Jawa.. Relasi personal dengan Allah belum dihayati secara mendalam, sehingga spiritualitas dalam kehidupan terasa kering. Praksis agamawi seperti slametan, sunatan, tingkeban, ruwatan, midodareni, tindakan ritual lainnya masih tampak dalam kehidupan jemaat. Sikap hidup yang mengutamakan keluhuran budi dan kepasrahan terhadap ketentuan yang berada di luar jangkauan nalar manusia( ketentuan alam) masih terserap dalam kepribadian orang Jawa. Dalam pandangan hidup orang Jawa keluruhan budi disertai pengembangan cinta kasih universal merupakan sesuatu yang dicita-citakan. Dengan budi luhur itu dicapailah manusia utama, yang dapat memberikan kesejahteraan baik bagi dirinya maupun bagi lingkungannya.. Kepasrahan diri yang diungkapkan melalui berbagai istilah dan sikap hidup berorientasi kepada daya alami sebagai kuasa penentu. Bagaimanakah Injil dan PWG bagi etnis Jawa yang mempunyai wordview sedemikian rupa ?
Tanpa disadari bahwa dalam praktek penginjilan, karena kurang mengerti/dibekali dengan pemahaman terhadap budaya setempat akibatnya justru menghambat Injil untuk mereka. Tidak kecuali terhadap etnis Jawa yang memiliki budaya yang begitu unik. Akibatnya tidak banyak etnis Jawa yang “memiliki pengaruh” mau menerima Injil. Kalau toh ada yang menerima Injil mereka adalah dari kalangan orang kebanyakan.
Oleh sebab itu dalam penginjilan terhadap etnis Jawa dan pembinaannya perlu menterjemahkan Injil dan bentuk-bentuk penjabarannya dalam jalinan masyarakat, yang diungkapkan dalam konteks Jawa tanpa mencabut dari akar budaya serta pengertian yang telah di terima dengan memberi : Form and Meaning yang baru, artinya bagaimanakah orang Jawa yang menjadi Kristen tanpa kehilangan identitasnya sebagai orang Jawa yang bercorak kolektif, gotong royong, mempertahankan unggah-ungguh ( tata krama) dst., bukan individual yang terpisah dengan komunitasnya lalu di cap sebagai “londo ireng / ora lumrah uwong”.
Membina mereka yang telah menerima Jesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, bahwa Injil menawarkan perlindungan satu-satunya, yaitu Allah sendiri ( yang selama ini dipercayai sebagai : Sangkan paraning dumadi. Jika mereka sebelumnya meyakini adanya relasi antara jagad cilik dengan jagad gede, ternyata setelah mengetahui dirinya sebagai ciptaan Allah yang segambar dengan dia, Allah ingin mengadakan hubungan /relasi dengan manusia, kemudian manusia berserah diri dan memiliki rasa aman, dan memiliki kepastian hidup dan pegangan yang handal dan memiliki kepastian selamat dalam Yesus Kristus sebagai sang Pencipta jagad cilik dan jagad gede ini.
Kepasrahan ( sumarah/ wus titiwanci dll ) kemudian bila seseorang telah menerima Injil terjadilah pemulihan relasi yang benar dengan Allah, antar Khalik dan makluk, antara Pelindung dengan yang dilindungi, dengan relasi yang penuh penyerahan diri kepada Allah selaku Pelindung. Kepasrahan ini bukan berarti takdir/fatalisme , tetapi kesanggupan untuk menghadapi segala kenyatakaan hidup dalam relasinya dengan Allah.
Jadi kehidupan manusia tidak tergantung pada kapan ia lahir( hari,pasaran, bulan/ neptune dino); tetapi semua adalah baik ( Yermia 29:11-13 ).
Oleh sebab itu, alam pikir Jawa perlu diperhitungkan agar terjadi /terbangun hubungan yang baik antara nilai-nilai luhur yang sudah dimiliki kemudian di transformasikan lewat mediasi yang tidak memihak tetapi memberi kesempatan dalam proses pemunculan budaya Jawa yang baru atau Injil yang berbusana Jawa. Jika secara jujur dicermati bahwa ternyata ada-nilai-nilai positif dari budaya Jawa jika dikawinkan dengan Injil akan melahirkan suatu bentuk budaya Injil yang njawani dan Jawa yang Injili. Bagaimana bentuk “ bayi budaya baru itu” masih dalam kandungan pemikiran/digumuli.
Misalnya dalam hal sunat, memberi nama seorang bayi yang lahir, tingkeban, menikah, slametan dst, diberi meaning yang baru berdasarkan kontekstual, komunitas itu berada. Membina mereka yang telah memiliki budaya sedemikian rupa, maka sebagai pekabar
Berita Baik ( Injil), perlu memahanmi dang mengerti bahwa: Kristus yang menciptakan segala kebudayaan manusia. Kebudyaan manusia itu telah terkontaminasi dengan dosa dengan segala manifestasinya. Sehingga kebudayaan itu telah di bumbui dan dibaluti dengan kuasa iblis { kuasa kegelapan ), akibatnya tidak satu kebudayaan yang masih murni. Kritus telah berkenanan untuk datang kedalam budaya manusia untuk membaharui dan mentransformasikannya ke arah yang lebih bernilai, sehingga manusia dihargai dan dikembalikan kepada citranya sebagai gambar Allah.
Kristus berkuasa untuk membahrui dan menyucikan kebudayaan, sebab Dia di atas kebudayaan manusia yang ada. Pembaharuan oleh inkarnasi Allah dalam diri Yesus Kristus terjadi secara dinamis dan dialektis, bertolak dari konteks kehidupan manusiawi menuju ke arah perwujudan kebenaran Allah di bunmi. Di situlah terjadi simbiosis transkontektual yang berlangsung di bawah pimpinan Allah sendiri ke arah lahirnya kebudayaan baru, kebudayaan dalam lingkup ketaatan kepada Allah. Untuk itu, kebudayaan harus dipandang sebagai wujud paling kongkret kreativitas dan kemampuan manusia untuk mengembangkan pikiran dan akal budinya ( budi dayanya ),yang telah dianugerahkan Allah semenjak diciptakan. Namun tidak dapat disangkal dosa telah merasuk dan merusak kehidupan manusia. Akibatnya di dalam pola hidup atau kebudayaan manusia dikuasai dosa dan iblis.. Oleh sebab itu yang perlu ditolak bukanlah pola hidup atau kebudayaan manusia tetap dosa dan iblis yang berada di dalamnya. Sedangkan pola hidup dan kebudayaan itu sendiri diperbaharui dan dibenahi melalui kuasa Kristus sehinga terbebas dari ikatan dosa dan iblis
Dengan demikian kalau pola berpikir dan kebudayaan Jawa diperhitungkan secara positif, sesungguhnya Injil Yesus Krisrus akan lebih terhayati dan nilai-nilai kekristenan akan bertumbuh subur di tengah-tengah masyarakat Jawa.. Hal itu bukan karena sikap sinkritistik, tetapi karena banyak aspek dalam tata nilai kehidupan masyarakat Jawa sejajar dengan nilai-nilai kekristenan. Pertobatan tidak berarti meninggalkan kebudayaannya sendiri dan menerima kebudayaan lain (Barat/ Londo ) tetapi mengubah pola kehidupannya untuk taat kepada Yesus Kristus dalam kebudayaannya sendiri.
Contoh upacara slametan dapat dimaknai doa ucapan syukur; bersih desa dimaknai unduh-unduh sebagai korban syukur, untuk memuliakan Tuhan dengan hasil panen atau usaha; ngapurancang dimaknai sebagai sikap taat kepada Tuhan; sesaji dimaknai sebagai doa syafaat; tumpengan dimaknai pengorbanan Kristus di gunung Golgota masih banyak ditemukan diantara praktek kehidupan mereka. Termasuk dalam memaknai hari dan tanggal lahir seseorang serta sifat dan karakter seseorang. Dimaknainya berdasarkan pengertian temperamen. Nasib seseorang tidak bergantung pada kapan dan dimana mereka dilahirkan tetapi semuanya bergantung pada Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu yang telah menetapkan berdasarkan otoritasnya (sebagaimana dijelaskan dalam Epesus 1 :4-6).
Konsepsi Tuhan Dalam Kepercayaan Jawa
Istilah kepercayaan Jawa ini tidak dimaksudkan dengan “ aliran kepercayaan”, tetapi lebih ditujukan kepada apa yang dipercayai oleh etnis Jawa. Kepercayaan asli etnis Jawa, adalah animistis, dinamistis, spiritistis. Hal ini selalu dibangun ketika seseorang mulai belajar di bangku sekolah T K sampai Perguruan Tinggi
Kenyataan yang dapat diamati bahwa etnis Jawa, mempercayai adanya Tuhan (Gusti/ Pangeran) dengan sebutan : “ Ingkang paring gesang, Ingkang murbeng jagad; Ingkang murbeng dumadi, itulah nama/istilah untuk menyebutkan adanya Tuhan.
Selain itu mereka menyebut Tuhan sebagai : Ingkang Moho Suci, Ingkang Moho Asih/Moho Welas, Moho Kawoso, Sangkan paraning dumadi/tumitah
Konsep Tuhan tersebut, dimengerti sebagai pemberi hidup dan berkuasa terhadap jagad raya ini yang penuh dengan belas kasihan kepada manusia, tetapi Tuhan tetap dimengerti sebagai yang maha jauh, transendent, seperti diungkapkan dalam kalimat :” Gusti Allah iku adoh tanpo wangenan, cedak tanpo senggolan”
Selanjutnya manusia hanya “ pasrah dan sumarah, narimo ing pandum, manusia tidak bisa membelokkan apa yang sudah digariskan Tuhan, manusia sadremo nglakoni.
Kalaupun kemudian diberi istilah dengan nama baru, misalnya meminjam istilah Budha : Batara , Hyang Widi Wasa, Dewa/Dewi dll., namun konsep asli kepercayaan Jawa tetap tidak hilang Konsep asli kepercayaan Tuhan itu diyakini sebagai: daya kosmos, manusia menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta dan turut berpartisipasi dalam keteraturannya. Jika mangalami musibah berarti, terdapat gangguan dengan daya kosmos tersebut, maka mereka perlu “memberi sesaji” kepada yang “mbaurekso”sebagai kekuatan kosmis, agar tidak kena tulah/kutuk/musibah, misalnya : bencana alam, pageblug dan sakit-penyakit dll.
Konsepsi Jawa Tentang Manusia
Konsepsi Jawa tentang manusia bersifat dualistik: jiwa dan rogo wadag ( jiwa dan tubuh ). Rogo wadag terdiri dari : geni, bumi, angin dan air. Itu sebabnya manusia mengandung empat jenis nafsu: yaitu : amarah, aluamah, supiyah dan mutmoinah.
Sejak manusia itu dilahirkan membawa karateristik alami yang ditentukan oleh kekuatan makrokosmos(jagad gede),sebab manusia itu adalah mikrokosmos ( jagad cilik) bagian dari makrokosmos. Dalam jadag gede ada jagad cilik, sehingga manusia ditentukan oleh kosmos. Watak dasar seorang bayi ditentukan oleh siklus alam yang meliputi :hari kelahirannya, neptune dino , wuku, bulan dan tahun.
Watak bayi berdasarkan hari kelahirannya
Senen : lakuning lintang (berperilaku bintang); segala lakunya baik ( samyo )
Selasa: lakuning rembulan ( berperilaku bulan) : tidak mudah percaya ( sujono)
Rabu : lakuning bumi(berperilaku bumi) :teguh, dapat diandalkan(sembodo)
Kamis : lakuning geni( berperilaku api ); sentimental ( suroso )
Jumat : lakuning pandhita( berperilaku pendeta) : halus budi (suci)
Sabtu : lakuning angin (berperilaku angin): manja (kasumbang)
Minggu : lakuning srengenge(berperilaku matahari): tidak terus terang ( samudono ).
Disamping itu masih percaya adanya neptune dino lan pasaran (perhitungan hari dan pasaran ) yaitu :
Hari Neptu Pasaran Neptu
_____________________________________________________
Senin( Senen=Soma) : 4 Kliwon/kasih : 8
Selasa( Seloso=Anggoro) : 3 Legi/manis : 5
Rabu (Rebo = Buda ) : 7 Paing/ jenar : 9
Kamis( Kemis= Respati ) : 8 Pon/palguno : 7
Jumat( Jemuah= Sukro ) : 6 Wage/cemengan: 4
Sabtu ( Setu= Tumpak ) : 9
Minggu( Akad= Radite ) : 5
Disamping itu, masih ada perhitungan watak pada hari pasaran kelahiran, yaitu ;
Kliwon : awatak micoro, artinya pandai berbicara
Legi : awatak mengku, artinya berwatak lapang hati
Paing : awatak melikan, artinya suka mengingini milik orang
Pon : awatak pamer, artinya suka memamerkan harta miliknya
Wage : awatak kakonaten, artinya berkeras hati
Perhitungan ini digunakan untuk penyelarasan dengan kosmik, hari bulan, tahun:
Contoh : Widuri, lahir : Sabtu Pahing; Perhitungannya : Sabtu= 9; Paing = 9, jumlah = 18; setelah dikurangi 7 atau kelipatnnya 14, maka diperoleh sisa 4; Angka 4 memiliki watak dasar : “ sumur sinobo “ artinya orang tersebut selalu mendapat keberuntungan
Contoh lain: Tomy, lahir : Senen Wage = Senen 4; Wage =4, setelah dijumlah= 8; kemudian dikurangi angka 7; sisa 1, angka 1 memiliki watak dasar wasesa segoro, artinya memiliki wawasan luas. Oleh sebab itu manusia harus meyelaraskan diri dengan segala ketentuan kosmos, baik bersifat statis (sifat api/panas, air/dingin),maupun yang bersifat dinamis sebagai peredaran (musim, bulan, tahun). Bukti bahwa mereka itu terikat oleh kosmos antara lain: terungkap dengan kata-kata : “ wus titi wanci” ( sudah tiba waktunya; “ durung mangsane “ (belum waktunya ); wus winates ( sudah dibatasi); wus garise ( sudah ditakdirkan )
Kepasrahan diri terhadap siklus alam ini masih “ lekat dalam sikap hidup orang Jawa“. Sebab pandangan hidup mereka, bahwa keharusan hidup manusia yang utama adalah merangkaikan dan menyelaraskan diri dengan peredaran kosmos dan senantiasa menjaga hubungan yang harmonis. Keharmonisan itu diwujudkan dalam semboyan : “tata tentrem, gemah ripah karta raharjo, subur sarwo tinandur, murah sarwo tinuku’ murah sandang murah pangan”, becik katitik olo ketoro; lan kalis ing nir sambi kolo
Jika terjadi penyimpangan terhadap tertib kosmos akan menimbulkan ketidak seimbang-an atau disharmoni, dalam keseluruhan tata tertib kosmos, akan mengakibatkan goncangan, malapetaka, bencana, dll.
Seperti bencana banjir di Jakarta, Situbondo,Pati, Juwana, bulan Januari-Februari 2002 . diyakini oleh mereka karena terjadi disharmoni antara makro kosmos dan mikro kosmos ( jagad gede dan jagad cilik )
Kepercayaan terhadap daya gaib alam ini mampu bertahan dalam kepercayaan masyarakat Jawa, bukan hanya dikalangan rakyat jelata/marginal, tetapi juga masih mendarah daging pada orang terpelajar/bangsawan, bahkan para petinggi negara sekalipun. Meskipun kekuatan gaib itu tidak dapat diterangkan dengan nalar manusia, tetapi merupakan misteri yang membuat orang Jawa berpikir bahwa disamping kekuatan yang kongkret, masih terdapat kekuatan yang ajaib di luar batas jangkauan logika manusia. Selanjutnya mereka mempercayai sistem perhitungan hari kelahiran dengan cara bila dijumlahkan antara hari pasaran, kemudian dikurangi dengan angka tujuh atau kelipatannya, maka sisa pengurangan tersebut mengindikasikan watak seseorang. Oleh sebab itu jika :
Sisa 0 : disebut lebu katiup angin, pemboros, sering dirugikan
Sisa 1 : disebut waseso segoro, berwawasan luas,
Sisa 2 : disebut tunggak semi, jiwanya tidak terkendali
Sisa 3 : disebut satriyo wibowo, selalu mendapat keberuntungan
Sisa 4 : disebut sumur sinobo, senang menolong sesama
Sisa 5 : disebut satriya wirang, sering kena fitnah
Sisa 6 : disebut bumi kapetak, hemat dan hatinya tertutup
Perhitungan mengenai sifat,watak, keberuntungan, pekerjaan dst, selalu dikaitkan dengan siklus alam yang terlihat melalui hari, pasaran, wuku, bulan, tahun dan windu dst.
Perhitungan yang diakui oleh para leluhur orang Jawa ini sebenarnya bertolak dari apa yang mereka alami sungguh-sungguh dan mereka percayai kebenarannya; selanjutnya dijadikan acuan bagi masyarakat dalam segala peri kehidupannya. Hal ini merupakan kebenaran empiris yang berpusat pada “anthroposentris” bukan “theosentris”.
Konsepsi Tentang Kehidupan Dan Hidup
Konsepsi hidup etnis Jawa, berasal dari jatining dhat, hening atau uwang-uwung (kekosongan tanpa batas dan brsifat mutlak). Hal itu merupakan pengakuan terhadap keberadaan sesuatu yang transenden yang memanisfestasikan diri dalam realitas kosmos.
Tetapi kuasa transendent itu bukan sebagai pribadi. Realitas hidup satu-satunya yang di yakini adalah kosmos dengan segala ketentuannya. Hidup manusia merupakan realitias alam lahiriah(nyata), sekalipun tidak disertai penjelasan mengenai ontologisnya. Jadi asal kehidupan itu tidak dipersoalkan. Alam nyata itu bersifat indrawi tidak mempunyai daya untuk bertindak sendiri, tetapi tergantung pada kekuatan-kekuatan alam yang bersifat halus yang berasal dari realitas yang tidak kelihatan. Alam batin itu merupakan kenyataan sebenarnya dan memiliki kekuatan yang menentukan hidup manusia.
Dalam taraf ini seluruh kenyataan alam semesta akan tertampilkan dalam dirinya. Batas antara hidup dan mati tidak lagi mutlak, sebab mereka meyakini “bahwa dalam kehidupan ini ada kematian dan dalam kematian ada kehidupan”( mati sajroning urip, urip sajroning mati ).
Dalam tahapan ini manusia dapat mengatakan bahwa :
Tuhan adalah aku dan aku adalah Tuhan, sesungguhnya tidak ada Tuhan selain aku.
Hidup manusia dibusanai oleh perlengkapan kosmos yang mempersatukan dirinya dengan makrokosmos ( jagad gede) Keberadaan manusia tersusun oleh empat anasir alam yang mencerminkan empat macam nafsu atau watak yang terdapat dalam diri manusia. Ke empat anasir itu adalah :
1. Anasir geni ( agni )= api, bearsal dari matahari, memancarkan nafsu amarah, yang diidenttikkan dengan darah merah. Jika nafsu amarah ini tidak terkendali orang ini mudah “ mengamuk/brangasan “
2. Anasir bumi, masuk kedalam manusia lewat tanaman yang dimakan, memancarkan nafsu “aluamah “ jika tidak terkendalikan manusia bisa berwatak rakus, serakah menindas orang lain.
3. Anasir angin, berasal dari swasono ( suasana) di udara, memancarakan nafsu supiyah yang terujud dalam nafas manusia, lewat mencium bau-baun yang dapat nmenimbulkan nafsu birahi. Jika nafsu ini tidak terkendali akan muncul tindakan yang tidak senonoh, seperti perilaku binatang. .
4. Anasir banyu ( air), berasal dari air yang diminum manusia, ia memancarkan nafsu mutmoinah, yang diidentikan dengan warna yang terdapat dalam tubuh manusia yang berupa cairan putih. Mutmoinah ini lah yang memampukan manusia untuk dapat ber- fikir dan keinginan yang gaib. Sifat dan watak dasar manusia ini ditentukan oleh anasir yang dominan dalam diri orang itu. Tetapi pada hakekatnya ke empat sifat watak dasar itu ada dalam setiap diri manusia.
Pelayanan injil dan pembinaan jemaat (pwg) yang berlatar belakang budaya jawa dengan kepercayaanya.
Kepercayaan Jawa adalah kepercayaan yang bersifat non-teistik.
Sifat itu meliputi kepercayaan yang bercorak dinamisme dan animisme maupun yang bercorak kosmik-monistik. Keyakinan kepada kuasa transenden memang ada, tetapi bersifat agnostik tanpa pengenalan personal. (Band Kis 17:23-28 ).
Pengakuan terhadap kuasa yang mengatasi manusia dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Pertama, kepercayaan kepada kuasa-kuasa yang tidak mengatur jalan hidup manusia, tetapi kuasa-kuasa itu dapat menimbulkan bencana. Usaha-usaha untuk menghindari dari benturan dengan kuasa itu, mereka mengadakan upacara ritual tertentu dengan memberi sesaji. Kedua, pengakuan terhadap daya kosmik yang menentukan kehidupan manusia, sebab manusia adalah bagian dari realitas kosmos.
Kepercayaan Jawa tidak mempersoalkan asal-usul kehidupan, walaupun tetap mengakui adanya kuasa transenden yang mengatasi dirinya. Kuasa tersebut tidak dikenal dalam hubungan personal. Penekanan utama adalah realitas hidup saat ini, harmonis atau dis-harmonis dengan kosmos dengan segala konsekwensinya. Dalam realitas batin segenap kosmos tercakup dalamnya. Itu sebabya dicari manunggaling kawulo Gusti ( jagad cilik pada jagad agung.) Mencermati corak kehidupan masyarakat, sistem nilai, konsepsi-konsepsi alam berfikir dan kepercayaan asli etnis Jawa, kemudian diupayakan bagaimana membawa Injil di tengah-tengah masyarakat Jawa yang sudah terbangun word view sekian lamanya/turun temurun sampai saat ini. Bagaimana melaksanakan Pembinaan Warga Gereja ( PWG) kepada mereka yang memiliki latar belakang etnis Jawa
KESIMPULAN
1. Aspek sosio-antropologis,
Masyarakat Jawa bercorak kolektetif tradisional, individu adalah bagian dari masyarakat terikat oleh segenap aspek kehidupan komunitasnya, yaitu norma, tata nilai, pola hidup, kepercayaan, kebudayaan dan pola pikirnya. Setiap individu berusaha mempertahankan kesatuannya dalam masyarakat, tradisi turun temurun, adat- istiadat, tata krama ( unggah-ungguh ), slametan, gotong – royang tetap di pertahankan ( dipepetri).
2. Aspek sosio-kultural,
Masyarakat Jawa ditandai dengan prinsip hidup rukun ( rukun agawe santoso, crah agawe bubrah), harmonis, tenggang rasa, tepo sliro, ewuh-pakewuh. Dengan sikap seperti ini, kehidupan dalam masyarakat sedapat mungkin dihindari dari konflik, baik secara terbuka maupun tertutup. Jika terjadi perbedaaan pendapat diselesiakan dengan: musyawarah dalam suasana kekeluargaan dengan motto : nglurug tanpo, bolo menang tanpo ngasorake (win-win solution) . Ojo rumongso biso, nanging biso rumongso. Keseimbangan dan keselarasan dengan keseluruhan tata alam semesta merupakan jiwa bagi ritme kehidupan harmonis, yang mengalir silih berganti dalam perjalanan waktu/musim.
3. Aspek sosio- religius,
Masyarakat Jawa berciri animistik dan dinamistik,mitologis, monistik. Tidak ada batas nyata antara dunia gaib dan dunia nyata, tetapi terdapat dasar-dasar spiritual yang kuat. Sebagai bagian dari kosmos manusia dapat dimungkinkan menyatu dengan kekuatan kosmik, oleh sebab itu segala perilaku yang ditempuh akan membawa manusia untuk menyatu dengan jagad agung. Sehingga dapat dicapai apa yang disebut sampurnaning urip (kesempurnaan hidup) sebagai manusia sejati. Olah batin dan tarak broto merupakan perbuatan/laku untuk mencapai manusia sejati, disamping itu tidak mencampuri urusan liyan ( orang lain, tidak pendendam, tidak berbuat jahil methakil, tidak menuruti hawa nafsu, tetapi meneng/diam agar jernih hatinya). Disitu nampak penghayatan spiritual yang melibatkan segenap eksistensi manusia secara totalitas kehidupannya. Melihat kenyataannya bahwa kepercayaan yang telah dimiliki diantara mereka, maka agar tidak mencabut dari akar budaya mereka, maka upaya memberitakan Injil kepada mereka dan pembinaan selanjutnya perlu diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Daniel,J.
1992, Teologi Lintas Budaya, BPK Gunung Mulia Jakarta
Berg, C.
1974, Penulisan Sejarah Jawa, Bhatara, Jakarta
Campbel- Nelson, John ( ed)
1995 Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual, Persetia Jakarta
David J. et all.,
1995, Kontekstualisasi, Makna, Metode dan Model, BPK Gunung Mulia, Jakarta
Fore, William, F.
1999, Injil dan Kebudayaan, BPK Gunung Mulia , Jakarta.
Greetz, Clifford,
1981, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Pustaka Jaya, Jakarta,
Hartono Chris (ed)
1995, Perjumpaan Gereja di Indonesia dengan Dunianya yang sedang Berubah
Persetia, Jakarta.
Hadikoesoemo, R.M. Soenandar
1985, Pawukon, Ilmu Perbintangan Jawa di dalam Aksara dan Ramalan Nasib
dalam Kebudayaan Jawa, Dijen Kebudayaan Depdikbud. Yogyakarta
Herusatoto, Budiono
1987, Simbolisme dalam Budaya Jawa, PT Hanindita, Yogyakarta
Murniatmo, Gatut
1986, Folklor Lisan dalam Kehidupan Orang Jawa, di dalam Aspek Kebudayaan
Jawa, Dinas Depdikbud., Yogyakarta.
Noorsena, R.M. Bambang,
1992, Antara Bayangan dan Kenyataan, Yayasan Andi, Yogyakarta.
Subagya, Rahmat,
1981, Agama Asli Indonesia. Sinar Harapan dan Cipta Loka Caraka, Jakarta
Tenibemas, Purnawan,
2002, Cultural Antropology for Mission, Materi Kuliah, KPPK, Bandung
Zoetmulder,S.J.
1985 Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang pandang, Djambatan, Jakarta
____________
1990, Manunggaling Kawulo lan Gusti,: Panteisme dan Monisme Gramedia,
Jakarta.
Wiryamartana, at all
1989. Pemahaman Kebatinan Jawa dalam hidup rohani Kristen, Kanisius,
Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H