Mohon tunggu...
Danu Supriyati
Danu Supriyati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Penulis pernah menempuh pendidikan jurusan Fisika. Dia menerbitkan buku solo Pesona Fisika, Gus Ghufron, Dongeng Semua Tentang Didu, Pantun Slenco, dan antologi baik puisi maupun cerpen. Semoga tulisannya dapat bermanfaat bagi pembaca. Jejak tulisannya dapat dibaca di https://linktr.ee/danusupriyati07

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Mengejar Jodoh Juleha (9)

14 Mei 2024   12:53 Diperbarui: 14 Mei 2024   13:05 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Pernikahan Wika sudah di depan mata. Calon pengantin perempuan sedang dirias oleh Abang Joe. Juleha melihat kakaknya begitu manglingi.

"Ane bingung nih, Wik. Kenapa kamu jadi binti Atmojo? Bukannya bapakmu itu Abang Akim, ya?"

Abang Joe bertanya dengan nada kemayu, sementara Juleha melotot ke arah perias. Gadis yang sedang dirias oleh asisten Bang Joe tidak ingin mood kakaknya rusak gara-gara pertanyaan yang sensitif.

"Anu, Bang. Emang bapak kandungku Pak Atmojo," Wika menjawab santai.

"Oh, artinya Bang Akim dapat jendes?"

"Huum."

"Wah! Tapi, hebat banget Bang Akim. Abis ngawinin jendes terus dapetin periwin."

Kelakar Bang Joe mengundang tawa orang yang berada di kamar rias termasuk Juleha.

"Jul, kapan nyusul mbakyumu kawin?"

Nah, kena juga Juleha disenggol oleh perias friendly.

"Penginnya besuk pagi langsung akad, Bang."

"So tunggu apa lagi?"

"Tunggu ada calonnya."

Mulut Bang Joe mangap, seperti hendak memberi nasihat, tetapi seseorang memberi tahu bahwa penghulu sudah hadir.

Suasana jadi tegang, perias dan sang asisten sibuk membereskan make up. Wika yang telah selesai dituntun ke tempat akad. Juleha pun mendampingi kakaknya dengan sumringah. Dia melihat emak sibuk mengabadikan langkahnya dengan kamera ponsel. 

"Pasti buat ajang promosi dah diri ini," ujar Juleha dalam hati.

Juleha mendadak haru saat melihat bapak dan Pak Atmojo telah duduk bersisihan. Bagaimanapun dua lelaki tersebut berperan penting dalam kehidupan kakaknya. Kini, mereka bersatu untuk mengantarkan sang putri ke gerbang rumah tangga. Bapak dengan tulus menyerahkan perwalian kepada Pak Atmojo, sementara dia cukup menjadi saksi nikah.

Proses akad nikah berlangsung khidmat, Wika telah resmi menjadi istri dari Bayu Purnomo. Acara pun dilanjutkan dengan resepsi yang meriah.

"Leha, lihat tuh Nita disana! Sudah bawa anak dua, hidupnya juga bahagia."

Perkataan emak mengusik Juleha yang tengah minum dawet. 

"Mak tenang aja. Besuk, aku bikinkan cucu yang lebih dari itu."

"Omdo nggak nih?"

"Astaghfirullah, Mak. Maunya aku jawab gimana?"

"Buktikan kalau kamu bisa dapat jodoh secepatnya, paham?"

Demi kelezatan dawet, Juleha mengiyakan permintaan emak lalu beranjak ke meja snack yang lain.

"Kapan giliranmu kawin, Ha?" tanya salah seorang tetangga.

"Nunggu durian tanpa duri, Lek."

"Gak sah pileh lakik, eling umur. Makin alum makin susah laku."

"Iya, Jul. Dijodohin juga rapopo kan tresno jalaran soko kulino."

Niat lari dari tekanan emak justru masuk ke mulut semak belukar. Juleha melipir tipis ke arah dapur, berharap di sana lebih aman dari ledekan tetangga.

"Bentar lagi Bang Akim due gawe tuh ngawinin Jukeha. Secara dia cuma jadi saksi di nikahannya Wika," seloroh seseorang yang sedang mencuci wajan.

"Kasian ya, Yuk. Padahal, dia yang mbesarin Wika. Dia kliatan sedih loh tadi."

"Sayangnya Juleha pilih-pilih makanya susah dapet laki."

"Yang penting jangan kek emaknya aja jadi felakor."

Hati Juleha mendidih hingga tanpa sadar menggebrak meja yang terletak di pinggir kulkas. Wajah-wajah tetangga mendadak pias saat menyadari keberadaan Juleha. 

"Sudah puas nggibahin keluargaku, Bude? Kalau nggak paham sejarah nggak usah sok tau. Kena kutuk tau rasa!

Setelah meluapkan rasa dongkolnya, Juleha pergi dengan wajah ditekuk karena kesal.

"Semua gara-gara emak! Coba kalau nggak ngributin jodoh, nggak bakal kaum julidin ikutan riweh!" Juleha terus menggerutu.

***

Semenjak Wika menikah, Juleha merasa semesta ikut mencemooh nasibnya. Bagaimana tidak? Banyak tetangga yang menikahkan anak, artinya dia semakin ditekan oleh emak untuk segera mengail jodoh. 

"Emangnya laki-laki kek ikan, Mak?"

"Nggak cuma kek ikan, koceng juga, Leha! Begitu dikasih umpan juga langsung caplok! Hap!"

"Nah, jodoh nggak usah diuber. Jangan sampai kejadian Wika terulang lagi," tegur bapak.

"Beda kepala beda nasib, Bang. Juleha terlalu ayem jadi perawan. Padahal, yang grade di bawah dia udah laku lama."

"Hadeh, Mak. Kalau belum waktunya masa aku harus tantrum."

"Makanya usaha, Ha! Usaha!"

Diam dan kabur adalah pilihan paling bijak yang dipilih oleh Juleha sebelum omelan emak makin berkembang biak. Bapak pun kembali menyibukkan diri dengan tanaman bonsainya.

"Anak sama bapak nggak ada bedanya," omel emak dengan nada kesal.

***

Terhitung sudah ada empat undangan pernikahan di kampung sejak Wika menikah. Setiap kali kondangan, Juleha harus tebal muka karena diledek masih betah jomlo. Akan tetapi, dia tetap saja cuek bebek menanggapi kelakar para tetangganya. Kali ini, dia harus kondangan di kampung tetangga.

"Kenapa nggak emak saja, sih?"

"Emak mau ikut bapak ke pabrik pengalengan ikan. Bisa baheyong kalau emak nggak ikut soalnya emaknya Wika bisa ambil semua laba yang kita peroleh."

"Masa aku yang kondangan mulu. Nggak asyik kali, Mak. Mana ikut rombongan bude-bude rempong."

"Sekalian promosi, Ha. Siapa tahu nyangkut jodoh lantaran berkah kondangan, kan?"

Adu opini dengan emak harus kalah karena aturannya memang begitu. Emak selalu benar, jika emak salah maka ingat aturan sebelumnya.

"Juleha! Dengarkan kalau emak sedang ngomong! Kondangannya sambil berdoa biar dekat jodoh."

"Ya, beres."

Akhirnya, emak dan bapak berangkat ke pabrik pengalengan ikan. Juleha justru kembali rebahan sambil mendengarkan musik, tetapi harus terusik karena ada suara ketukan pintu disertai salam.

"Nduk Jule, siap-siap! Sebentar lagi kita berangkat."

"Sekarang ya, Bude?"

"Ya, buruan mandi."

Bude Atmi yang telah memakai gamis merah pamit pulang dan Juleha pun segera spa. Maksudnya separuh hati untuk mandi pagi. Biasanya kalau sedang mager, dia memang pengikut aliran mandi satu kali di sore hari. Mandi kilat, sat set, ganti baju, pasang jilbab, berkaca sebentar, dan finish. Dia menuju rumah Bude Atmi setelah memastikan semua pintu rumah terkunci.

"Bude ganti gamis lagi? Perasaan tadi warnanya merah, deh."

"Terlalu jreng, Nduk Jule. Kalau yang ini cukup kalem, kan?"

Juleha memindai gamis warna hijau lumut lalu memberi anggukan sempurna sebagai tanda sepakat dengan pendapat Bude Atmi. Dia sendiri cukup memakai setelan kekinian, sepatu kets, dan tas slempang. Namun, dia kembali terkejut ketika Bude Atmi keluar dari kamar dan telah berganti gamis dengan warna coklat susu.

"Mending yang ini saja ya, Nduk Jule? Lebih smooth dan tidak gerah."

"Ya, bolehlah."

"Eh, yakin?"

"Ya, Bude. Biyangnya yakin, deh. Ini udah cucok meong."

Wanita setengah baya itu terlihat puas lalu segera merias wajahnya. Juleha hanya melongo saat melihat Bude Atmi begitu terampil mengaplikasikan berbagai warna make up. Bahkan, alisnya tampak simetri meski hanya diukur dengan penggaris bayangan.

Juleha jenuh karena terlalu lama menunggu, sementara Bude Atmi masih belum kelar juga hingga pasukan tetangganya berdatangan. Mereka pun asyik ngobrol sambil membenarkan make up dan jilbab di ruang tamu.

Di tengah keriuhan peserta kondangan, Juleha kembali dibuat takjub. Fashion show yang dipertontonkan Bude Atmi sangat sempurna. Kali ini, dia meyakinkan diri sudah fix dengan gamis warna grey. 

Juleha terkekeh saat para tetangga yang sudah berstatus ibu tersebut lebih heboh dari yang punya acara. Mereka pun berangkat menuju tempat resepsi setelah kompat update status.

Namun, tenda resepsi sudah overload sehingga rombongan Juleha harus rela berdesak-desakan di antara sisa hujan semalam yang memberi sumbangan tanah becek. Hampir semua tamu perempuan menyingkap gamis, dress atau roknya. Alas kaki mereka pun berbalut fla dari tanah basah. 

Juleha melihat para tetangga yang sudah all out harus bertempur dengan gerah, peluh, dan bau parfum yang campur aduk. Kini, setelan gamis dan jilbab milik mereka yang konon harganya ratusan ribu tidak ubahnya seperti lap untuk mengeringkan keringat. Pelajaran lain yang dipetik oleh Juleha setiap kondangan adalah wajib gibah sambil makan. Bahkan, acara rumpi tidak kelar-kelar hingga adzan dzuhur berkumandang.

Tanpa mengurangi rasa hormat, Juleha kabur dari zona emak-emak rempong lalu mampir dulu ke kang cilok. Maklum, dia gagal makan enak karena berekspektasi makan rendang apa daya yang terambil hanyalah tiga potong lengkuas. Ya, salam

*Bersambung*

***Cerita adalah hasil karya asli dari penulis Danu Supriyati***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun