Mohon tunggu...
Danthy Margareth
Danthy Margareth Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa-Biasa Saja

Dunia dalam Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pahlawan Senja

20 Agustus 2020   12:45 Diperbarui: 20 Agustus 2020   14:55 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami sebaya, mungkin. Aku sendiri tak ingat kapan persisnya diriku lahir. Hanya bayang-bayang ngangon kerbau di kampung bersama mamak yang melekat di ingatanku. Juga kenangan mandi dan memancing ikan pora-pora di Danau Toba. Kampungku memang terletak di jantung danau indah itu, nama daerahnya Garoga. Ah, sudah seperti apa rupanya sekarang aku pun tak tahu. Aku rindu sekali pada kampung halamanku.

Sudah bertahun-tahun aku tak pulang kampung. Mamak meninggalkanku di depan pintu panti asuhan saat kami merantau ke Jakarta, bersama sebuah koper butut tua. Mamak bilang, ia hanya mau ke warung nasi buat beli makan siang kami. Aku disuruhnya menunggu menjaga koper itu. Akan tetapi, hingga kini mamak tak kunjung datang menjemputku. Namun hatiku tetap berharap dan menanti, suatu saat mamak menampakkan batang hidungnya dan membawaku pulang.

Aku sangat menyayangi mamak, meski tangannya ringan untuk membuat sekujur tubuhku lebam biru. Mamak selalu memujiku sebagai anak yang  kuat karena sejak di dalam kandungan, aku tahan digempur obat-obat. Hanya sepasang kakiku saja yang tak selamat. Mamak juga ibu yang hebat. Ia merawatku seorang diri, bapakku tak jelas rimbanya. Pernah sekali kutanya tentang bapak, tapi mata mamak malah membesar, urat-uratnya menonjol keluar.

"Jangan lagi kau tanyakan itu. Aku tak tahu yang mana Bapakmu."

Satu-satunya pengobat rindu adalah sebuah liontin emas yang kutemukan di koper tua. Ada foto mamak di dalam bandul hati kalung itu. Kuingat mamak memakainya setiap ada hajatan di kampung dulu. Liontin itu cocok sekali di lehernya, membuatnya semakin terlihat menawan. Entah kenapa kalung itu bisa ada di koper butut itu, mungkin mamak lupa mengambilnya. Liontin emas itu akan kujaga sepenuh hati, sampai di hari nanti kami dipertemukan kembali. Namun sebelum tiba saat itu, aku harus jadi penyanyi terkenal. Biar mamak bangga dan tak malu lagi mengakuiku sebagai anaknya.

Tak terasa cakrawala mulai bergurat jingga. Senja telah datang. Di pinggir kali kunikmati kilaunya melebur di permukaan air yang hitam. Sinarnya bak pelita yang menerangi kegelapan. Kali yang jorok dan kumal menjadi indah berseri-seri. Ah, pemandangan inilah yang kusuka, menyiratkan harapan di dalam kesesakan.

Sepanjang hari ini serupiah pun belum kukantongi. Malahan keluar uang demi gorengan untuk Abisai. Sejak pagi anak itu belum makan, aku tak tega melihatnya. Namun aku juga tak mungkin pulang dengan tangan hampa. Kasihan anak-anak di panti. Kubayangkan wajah-wajah mungil penuh harap berbaris di pintu menanti kami. Mereka butuh sebungkus nasi untuk membunuh rasa nyeri di perut yang belum terisi.

Panti asuhan kami sangatlah sederhana-tidak, miskin tepatnya. Letaknya di pinggir kali dengan sekotak jamban di atasnya. Hembusan angin seringkali menerbangkan aroma busuk air kali hingga masuk ke dalam kamar kami. Saat musim hujan, tak hanya bau busuk yang datang. Air kali menguap, menggenangi lantai panti bersama gumpalan-gumpalan cokelat tinja manusia.

Tak banyak yang dapat dilakukan oleh pengurus panti. Mereka kesulitan mendapat pendonor untuk membiayai perawatan panti kami. Katanya, donatur lebih banyak mengalirkan dana ke panti-panti besar.

Kuayunkan tubuh ke depan dengan menghentakkan kedua tangan di jalan. Jari-jari tanganku yang kecil mengapit sepasang sandal jepit. Begitulah caraku berjalan. Orang-orang memandangiku dengan heran seperti bertemu mahluk jadi-jadian. Namun tatapan mereka tak kuhiraukan. Kasihan mereka, tak terbiasa melihat orang lain yang berbeda. Langkahku terhenti saat melintas di depan jembatan tua. Kupanggil Abisai.

"Abisai!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun