Ia bilang, kami sama-sama terbuat dari debu tanah. Nafas kami berembus ke angkasa yang sama. Sayalah kakinya, dialah mata saya. Kami satu tubuh. Jiwa kami berpadu, di bawah atap yang sama. Jadi pantang memalingkan wajah sebagai saudara. Dan tak ada yang lebih besar dari kasih nyawa bagi saudaranya. Kalimat-kalimat itu menjelajahi isi kepala saya. Menabuh gendang telinga di setiap syaraf otaknya. Membangunkan ingatan jeritan pilu berdarah sepuluh tahun lalu.
Jakarta, 2007
"Hidup ini adalah kesempatan … “
Suara tenor Lamhot diselingi tiupan harmonika seakan menggoncang seisi bus kota. Getaran tenggorokannya membuat bulu-bulu kuduk berdiri semua. Bus sebesar itu terasa menciut bak kulit jeruk yang kisut. Seharusnya ia berada di panggung yang megah dengan setelan jas mewah. Bukan menemplok di leher saya macam lampu teplok, apalagi di dalam bus kota reyot berdinding kaleng macam ini.
Para penumpang bersorak saat lagunya diakhiri. Suara tepuk tangan dan siulan riuh berganti. Lantai kasar bus bergoyang-goyang menggelitik kaki saya yang telanjang. Lamhot mulai besar rasa, bersikap bak cacing kepanasan. Tubuhnya membungkuk ke segala sisi hingga kepala kami beradu berkali-kali. Ia seakan lupa kalau kawannya seorang tuna netra yang setengah mati menahan berat tubuhnya, di tengah-tengah laju bus kota yang kencang macam dikejar-kejar setan.
Kaki saya mulai oleng. Mimpi buruk pun terjadi. Pengemudi bus menginjak rem tiba-tiba, mengeluarkan suara berdecit nyaring yang meluluhlantakkan keseimbangan saya. Dalam hitungan detik, saya dan Lamhot terjerembab bersama teriakan para penumpang. Rasa panik mendera. Tangan saya meraba-raba. Saya bernapas lega tatkala Lamhot meletakkannya ke dalam genggaman saya.
"Ini tongkatmu, Kawan. Kau tak apa-apa?"
Belum sempat saya menjawab, sopir bus teriak mengumpat. Sumpah serapah berikut nama-nama penghuni kebun binatang disembur dari mulutnya. Saya dan Lamhot jadi sasaran kemarahan.
"Gara-gara kalian bernyanyi, aku jadi tak konsentrasi. Hampir saja aku menabrak dan kita semua mati. Turun kalian!" bentaknya gusar.
Lamhot menarik tangan saya. "Ayo, cepat."
"Tapi kita belum minta uang," protes saya.